Kesejahteraan hewan rupanya belum menjadi sebuah isu penting di Indonesia. Itu terbukti dari laporan Asia for Animals Coalition pada tahun 2021 yang menempatkan negara ini pada peringkat pertama penghasil konten penyiksaan hewan di internet.
Dari sebanyak 5.480 video yang berhasil didokumentasikan, kumpulan organisasi pemerhati kesejahteraan hewan di Asia tersebut menemukan ada 1.626 diantaranya yang diproduksi di Indonesia. Kemudian, 1.569 video diunggah dari negara ini. Tragisnya, selisih antara Indonesia dengan negara di posisi kedua, Amerika Serikat, sangat besar yaitu lebih dari video.
Videos by VICE
Ada sejumlah hewan yang menjadi obyek penyiksaan demi mendapatkan popularitas seperti kucing dan anjing. Tetapi, ada juga binatang-binatang liar mulai dari beruang sampai kuda. Status sebagai hewan langka pun tak membuat makaka luput sebagai target penyiksaan.
Di Indonesia, khususnya, jumlah video tentang berang-berang sebagai binatang peliharaan meningkat drastis antara 2016 hingga 2018. Orang-orang yang menonton konten itu memperlihatkan keinginan untuk memeliharanya, padahal berang-berang tidak bisa dikategorikan sebagai hewan domestik mengingat mereka harus tinggal di habitat khusus serta membutuhkan makanan tertentu.
“Munculnya ungkapan seperti ‘Aku mau satu ekor’ di kolom komentar dari video-video [berang-berang] berbahasa Inggris, meski tidak secara tegas memperlihatkan niat betulan, mengesankan bahwa video-video tersebut bisa jadi mendorong permintaan diantara para penonton dan pengikut mereka,” demikian pernyataan peneliti yang dikutip laporan tersebut.
Salah satu yang digarisbawahi oleh Asia for Animals adalah mengapa konten yang mewajarkan penyiksaan binatang bisa tersebar luas. Kebijakan YouTube, misalnya, tidak secara khusus mengatur tentang video yang merugikan hewan sehingga para pembuatnya tetap bisa mengunggah dan, pada saat bersamaan, meraih pundi-pundi rupiah dengan jumlah fantastis.
Organisasi itu mengaku sudah menyurati YouTube untuk mengingatkan pentingnya aturan soal konten penyiksaan hewan, tetapi sayangnya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pengawasan video-video yang diunggah pembuat konten ternyata dilakukan oleh mesin dan kecerdasan buatan.
“Ketika kecerdasan buatan gagal, platform media sosial itu tampaknya sangat bergantung kepada laporan-laporan pengguna untuk mendeteksi konten yang melanggar kebijakan-kebijakan mereka,” kata Asia for Animals. “Mekanisme-mekanisme untuk melaporkan konten penyiksaan hewan seringkali sulit untuk dinavigasi, dan tindakan yang berasal dari laporan pengguna terlihat jarang.”
Bentuk penyiksaan yang jarang dibahas adalah menjadikan binatang sebagai obyek hiburan. Dalam laporan itu, dari keseluruhan konten, ada 14,3 persen atau 781 diantaranya yang menampilkan binatang-binatang sebagai alat hiburan. Di Indonesia, video berisi adegan topeng monyet sangat populer padahal spesies tersebut mengalami pelatihan brutal agar bisa memperagakan beragam gaya di depan para penonton.
Penyiksaan lain yang lolos dari pengawasan platform media sosial besar seperti Instagram adalah perburuan binatang. Para pemburu mengesankan aktivitas tersebut normal dan menyenangkan, bahkan menjadikan hewan target sebagai piala atas kerja keras mereka.
Asia for Animals menemukan ada lebih dari 2.000 video dengan tema perburuan binatang. Mayoritas diburu dengan memakai senjata, disusul oleh anjing dan perangkap. Salah satu yang paling terkenal adalah video anjing sedang bergelut nyawa dengan leopard di mana dia kemudian mati.
“Video-video tersebut sering mempertontonkan kematian, penderitaan ekstrem dan metode-metode perangkap yang legal maupun ilegal serta pembunuhan binatang—kadang-kadang jenis yang terancam punah dan/atau secara hukum dilindungi,” demikian kata organisasi itu.