Penelitian: Membully Diri Sendiri Jadi Cara Remaja Dapat Perhatian

Penelitian terbaru dari Florida Atlanti University (FAU) merupakan kajian ilmiah pertama yang menyigi serius kebiasaan menyakiti diri sendiri via Internet, dinamai ‘digital self-harm,’ atau ‘self-trolling.’

Seperti namanya, digital self-trolling adalah kegiatan nge-troll diri sendiri. Caranya semisal mengunggah, menyebar, dan mengirim ejekan atau bully-an yang dikirim ke diri sendiri. Harapannya, sang korban bisa kelihatan kena bully massal di internet. Penelitian tersebut, dimuat di Journal of Adolescent Health, menunjukkan fenomena baru bully diri sendiri sedang menjamur dan bisa dinggap sebagai cara para pelakunya minta tolong. Data yang didapat memang baru dari AS, tapi besar kemungkinan remaja berbagai negara sudah melakukan kebiasaan serupa.

Menurut riset yang dilakukan dalam penelitian ini, “6 persen pelajar pernah secara anonim mengunggah gambar atau tulisan menyakitkan bagi diri mereka sendiri di internet. Peluang pelajar pria melaporkan fenomena ini ternyata lebih besar dibanding perempuan (tepatnya 7,1 persen dibanding 5,3 persen).”

Di antara semua pelajar yang pernah membully diri sendiri, sebagin responden mengaku hanya sekali melakukannya. Sepertiga lainnya merundung diri sendiri beberapa kali. Sementara 13,2 persen responden mengaku “terlalu sering” membully diri mereka sendiri.

“Fenomena seseorang membully dirinya sendiri pertama kali jadi perhatian setelah Hannah Smith, bocah perempuan 14 tahun yang bunuh diri pada 2013. Kejadian tragis itu terjadi setelah Hannah mengirim pesan-pesan menyakitkan pada dirinya sendiri lewat media sosial,” ujar peneliti utama Professor Sameer Hinduja dari School of Criminology and Criminal Justice, FAU.

“Kami sadar kami harus meneliti hal ini secara empiris. Saya malah kaget ketika disuguhi fakta bahwa satu dari 20 siswa SMP dan SMA pernah membully dirinya sendiri di internet. temuan ini mengagetkan meski saya sudah mempelajari cyberbullying selama 15 tahun.”

Data kualitatif dari penelitian ini membeberkan bila sebenarnya mereka melakoni digital self-harm sangat menantikan respon dari orang lain. Para siswa yang menjadi responden mengatakan bahwa membully diri sendiri adalah sebentuk kelakar atau setidaknya cara mencari perhatian. Sebaliknya, kebanyakan responden perempuan mengaku bahwa digital self-harm adalah opsi yang mereka pilih ketika sedang mengalami depresi dan tekan menerima tekanan emosi.

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 5.593 siswa SMP dan SMA berusia antara 12 sampai 17 tahun. Ternyata, umur dan latar belakang ras tak mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam kegiatan membully diri sendiri tapi beberapa faktor lainnya sangat mempengaruhi para siswa untuk melakoni digital self-harm.

“Remaja yang merasa dirinya tidak heteroseksual cenderung lebih gampang membully diri sendiri. Tambahan lagi, kemungkinan korban cyberbullying melakukan self-trolling 12 kali lebih tinggi daripada mereka yang bukan korban cyberbullying. Responden yang mengaku pernah menggunakan obat-obatan terlarang, menderita gejala depresi atau sebelumnya pernah membully sendiri punya kemungkinan tinggi melakukan digital self-harm.”

Setelah mengkaji kesimpulan penelitian tersebut, Hinduja menggarisbawahi hubungan erat antara kecenderungan menyakiti diri, depresi dan resiko bunuh diri. “Jadi, seperti kebiasaan menyakiti diri secara fisik dan depresi, kita harus menyelidii kemungkinan munculnya kebiasaan membully diri sendiri di internet sebelum insiden bunuh diri,” katanya.

“Kita harus menahan diri menyalahkan para pembully karena dalam beberapa kasus target dan pembully ternyata satu individu yang sama.”