News

Penelitian Skala Massif Buktikan Vaksin Campak Tak Memicu Autisme

Vaksin campak terbukti secara ilmiah tidak menyebabkan autisme.

Penelitian skala massif yang dilaksanakan di Denmark dan terbit pekan lalu menampilkan bukti paling meyakinkan bahwa orang tua seharusnya tidak takut vaksinasi. Penelitian ini juga menggambarkan peningkatan kasus campak mulai mengkhawatirkan di seluruh dunia, akibat ketakutan mengada-ada yang disebarkan kaum antivaksin. Kaum antivaksin sering menyitir artikel penelitian “ilmiah” lama bahwa vaksin campak bisa memicu autisme (dan penelitian itu sudah diakui secara universal oleh komunitas ilmiah keliru).

Penelitian anyar ini menegaskan tak ada hubungan apapun antara vaksinasi campak dengan peningkatan risiko autisme. Sebaliknya, lebih banyak kasus autisme diidap atau berkaitan dengan anak-anak yang tidak pernah divaksinasi, demikian kesimpulan para peneliti yang diketuai ahli epidemiologi Anders Hviid dari Lembaga Staten Serum, Copenhagen.

Videos by VICE

Studi tersebut, terbit di Jurnal Annals of Internal Medicine, mengumpulkan data populasi vaksinasi, diagnosa, dan riwayat keluarga secara massif, melibatkan 657.461 anak yang lahir di Denmark sepanjang kurun 1999 sampai akhir 2010. Di antara anak-anak itu, 6.517 darinya didiagnosa mengidap autisme selama periode penelitian.

Para peneliti tidak berhasil menemukan peningkatan risiko autisme antara anak-anak yang menerima vaksin. Anak-anak yang menerima vaksin campak, penyakit gondok, dan rubella (MMR) disinyalir 7 persen lebih aman terhadap autisme dibandingkan anak-anak yang tidak divaksinasi. Anak-anak yang sama sekali tidak menerima vaksinasi justru berpeluang 17 persen lebih bersar terkait dengan autisme.

Seperti yang ditunjukkan penelitian-penelitian lainnya, ini penyebab orang tua yang cenderung tidak memvaksinasi anak-anak mereka setelah menunjukkan gejala autisme. Ini meningkatkan risiko anak autistik menderita penyakit-penyakit yang dapat dicegah vaksin, layaknya campak.

“Penelitian kami mendukung gagasan bahwa vaksinasi MMR tidak meningkatkan risiko autisme,” seperti dikutip dari keterangan tertulis tim peneliti. “Kami percaya hasil penemuan kami dapat menenteramkan hati orang skeptis dan memberi data yang dapat diandalkan.”

Akibat maraknya hoax antivaksin, persebaran penyakit campak di banyak negara meningkat. Bahkan Amerika Serikat, negara terkaya di bumi, mengalami wabah campak terburuk selama 20 tahun terakhir di Negara Bagian Washington. Banyak ortu menolak memvaksinasi anaknya, gara-gara percaya vaksin tersebut bisa membuat anaknya menderita autisme.

Orang tua dan kelompok yang menolak vaksinasi terus mengutip sebuah laporan keliru dari 1998 yang mengaitkan vaksin sebagai pemicu autisme. Penulis penelitian tersebut, Andrew Wakefield, kini tidak diperbolehkan berpraktik dan telah menjadi aktivis anti-vaksinasi terkemuka.

“Kendati banyak studi selanjutnya yang tidak menemukan asosiasi antara vaksin MMR dan autisme, keprihatinan publik terkait tautan potensial antara vaksin MMR dan penderitaan autisme terus bertahan,” seperti ditulis peneliti dari Emory University dalam sebuah kolom opini.

Studi ini juga mendukung penemuan riset sebelumnya mengenai autisme: Anak-anak dengan saudara autistik lebih cenderung juga didiagnosis mengidap autisme. Anak laki-laki juga cenderung lebih besar mengalami autisme. Kendati begitu, peneliti dari Denmark memastikan bahkan di antara anak-anak yang memiliki faktor risiko lebih tinggi, suntkan vaksin campak tidak mengubah apapun.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News