Jarum jam menunjuk angka enam sore lewat sedikit, tatkala suara tembakan tiba-tiba pecah sore itu di lokasi pengeboran minyak PT Sarana Gas Trembul, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Anggota Brimob Brigadir Muhadi, yang sedang menuntaskan hajat di kamar mandi, kaget bukan kepalang.
Buru-buru dia keluar kamar mandi dan mengecek asal suara tembakan. Dia berpikir telah terjadi baku tembak di lokasi pengeboran. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Videos by VICE
Begitu sampai di sumber suara, Muhadi terperanjat. Tubuh dua rekannya, Budi Wibowo dan Supriyono, tergolek bersimbah darah. Keduanya tak lagi bernyawa. Tubuh mereka tertembus peluru. Kedua rekannya tersebut tengah melaksanakan tugas jaga. Pikirannya berkecamuk. Belum sempat menyelidiki apa yang terjadi, dirinya disuruh pergi meninggalkan lokasi oleh salah satu rekannya Bambang Tejo yang berdiri di dekat dua jasad rekannya.
Muhadi menuruti saran Tejo. Dia buru-buru pergi meninggalkan lokasi. Selang beberapa menit kemudian kembali terdengar bunyi tembakan lagi. Kali ini peluru menembus kepala Bambang Tejo. Ia tewas dengan senjatanya sendiri, sebuah senapan serbu AK 101. Polisi belum menemukan motif penembakan tersebut. Polisi menduga insiden tersebut dipicu masalah personal.
Insiden polisi menembak polisi bukan kali ini terjadi. Pada 2014, AKBP Pamudji tewas di tangan bawahannya setelah diduga terlibat cekcok, entah karena masalah personal atau beban pekerjaan.
Kasus penembakan dan bunuh diri di kalangan anggota kepolisian berulang kali terjadi lima tahun belakangan, memunculkan wacana untuk meregulasi pemakaian senjata yang lebih ketat serta perlunya konseling psikologi rutin bagi anggota korps Bhayangkari.
Ironisnya, baru pada akhir 2016 Polri tergerak untuk melakukan pembinaan psikologi menyusul meningkatnya angka bunuh diri sepanjang tahun tersebut. Pada 2016 tercatat 13 personel kepolisian tewas bunuh diri. Namun gagasan ini belum sempat diimplementasikan menyeluruh. Mantan polisi sekaligus pengajar ilmu kepolisian, Bambang Widodo Umar, tidak yakin, kalaupun ada, konseling tersedia merata di semua markas kepolisian negara ini.
“Selama ini Polri hanya mengutamakan kesehatan jasmani,” ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia. “Konseling psikologi secara rutin itu perlu. Selama ini belum ada konseling dari psikolog.”
Lingkungan kerja yang keras dan tanggung jawab yang berat membuat anggota polisi rentan terhadap gangguan mental. Dokter spesialis kejiwaan Lidya Heryanto konseling psikologi amat perlu dilakukan karena beban berat yang dipikul. Lidya mengatakan bahwa anggota kepolisian dituntut menjadi sosok kuat dan tangguh di segala situasi, namun tentu saja di fase tertentu mereka bisa mencapai titik terendah yang bisa berakibat fatal ketika terpicu masalah.
“Ada trigger yang menyebabkan anggota polisi mengambil tindakan tersebut,” ujar Lidya. “Masalah mereka juga sama dengan kita. Bisa saja itu faktor kesejahteraan atau hubungan antar manusia.”
Menurut Lidya karena adanya tuntutan sebagai sosok yang tangguh membuat mereka enggan menceritakan masalah kepada orang sekitar dan memilih memecahkan masalahnya sendiri. Sehingga ketika mereka merasa burnout mereka bisa saja mengambil tindakan ekstrem, apalagi mereka yang dilengkapi dengan senjata.
Ketika beban mental yang dialami anggota polisi tersebut tak bisa ditolerir, hal tersebut bisa berdampak tak cuma pada dirinya namun pada orang sekitar, seperti pada kasus anggota polisi menembak istrinya sendiri yang terjadi Maret 2016. Lidya juga menganggap bahwa pembinaan psikologi tidak akan berhasil tanpa adanya peraturan ketat soal penggunaan senjata api.
Namun apakah hal tersebut efektif menekan penyalahgunaan senjata api di kalangan personel Polri?
Pemakaian senjata api diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 dan No. 8 tahun 2009. Dalam peraturan tersebut disebutkan penggunaan senjata hanya diboleh dilakukan sebagai upaya terakhir, berdasarkan asas legalitas dan proporsionalitas.
Tingginya kasus penembakan termasuk bunuh diri di kalangan kepolisian mulai sekarang patut dikaji memiliki hubungan dengan mudahnya akses terhadap senjata api. Karena begitu pula yang dialami oleh negara lain yang peredaran senjatanya jauh lebih banyak. Dalam sebuah penelitian American Journal of Public Health, sebanyak 32.000 kematian karena senjata api terjadi sepanjang tahun di Amerika, 60 persennya adalah bunuh diri.
Selama ini prosedur pemberian senjata meliputi psikotes, latihan menembak dan tes administratif. Boy Rafli Amar dikutip CNN Indonesia mengatakan anggota polisi harus mengajukan izin penggunaan senjata api kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Izin ini tidak mencakup konseling, sesudah maupun sebelum pemakaian. Di Inggris maupun AS, polisi wajib menemui psikolog bila sampai harus melepaskan tembakan saat bertugas, lebih-lebih kalau telah menembak seseorang.
Tak ada data pasti berapa banyak senjata api yang diberikan kepada anggota kepolisian Indonesia. Dari catatan Indonesia Police Watch (IPW) dari 430.000 anggota Polri, hanya 20 persen personel dibekali senjata api. Menurut ketua IPW Neta S. Pane meski tak semua anggota dibekali senjata api, tetap harus ada pengetatan dari level tes psikologi hingga kesiapan fisik.
“Secara peraturan sudah memadai,” ujar Neta. “Hanya saja tetap perlu pemantauan psikologis anggota harus dilakukan secara berkala. Tujuannya agar tidak terjadi lagi kejadian serupa.”