Pengalamanku Nyaris 20 Jam Coba Memboikot Produk Pendukung LGBTQ

Baru-baru ini, di Indonesia muncul seruan memboikot jaringan waralaba kopi yang mendunia, Starbucks. Pangkal masalahnya, waralaba kopi asal Amerika Serikat itu mendukung hak-hak Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ). Seruan itu ramai di twitter lewat kata kunci “boikot Strabucks”. Anggota DPD Fahira Idris dan Anwar Abbas dari PP Muhammadiyah termasuk dua orang yang menyerukan bahwa pemerintah harus menarik izin operasi Starbucks karena dukungan mereka terhadap LGBTQ yang dianggap tidak sesuai dengan ‘ideologi negara’. Salah satu tokoh anti-LGBTQ bahkan menyebut dukungan terhadap pernikahan sejenis sebagai “pelanggaran HAM” karena dapat memicu kepunahan umat manusia. Baiklah. Lupakan perang, penyakit menular, jatuhnya asteroid, atau perubahan iklim. Dua lelaki yang saling mencintai dan memutuskan menikah jauh lebih berbahaya dari semua pemicu kiamat yang disebut sebelumnya.

Tidak cuma Indonesia, di Malaysia sentimen serupa berkembang sepekan terakhir. Kelompok nasionalis konservatif melayu, Perkasa, menuntut boikot serupa terhadap Starbucks. Tidak cuma Starbucks, Juru Bicara Perkasa, Amini Amir Abdullah, bahkan menuntut pemerintah negeri jiran memboikot izin usaha Microsoft, yang perangkat lunaknya paling lazim ditemukan di komputer mayoritas umat manusia. Alasannya? Microsoft juga mendukung pernikahan sejenis. Alamak. Selanjutnya, kelompok konservatif di Singapura ikut mendorong boikot Starbucks.

Videos by VICE

Uniknya, semua kemarahan orang-orang konservatif Asia Tenggara di Internet itu dipicu ucapan CEO Starbucks empat tahun lalu. Kenapa baru sekarang sewotnya? Wah gatau juga ya. Intinya, kita diharapkan ikut dalam boikot tersebut. Ngapain banyak tanya? Kalau keseringan memakai akal sehat, bisa jadi kalian masuk golongan yang tidak sejalan dengan “ideologi negara” lho.

Sepanjang sejarah, aksi boikot yang sukses perlu solidaritas massa yang betul-betul berdedikasi dan tentu saja dukungan penuh para konsumen. Karena itu, boikot selalu memakai isu dan sentimen yang mudah dipahami konsumen. Di Indonesia (dan tampaknya Malaysia dan Singapura) isu anti-LGBT dan segala hal terkait agama (halal-haram serta yahudi) masih memadai menjadi alasan boikot.

Tapi coba kita ingat-ingat lagi. Pengguna Twitter konservatif di Amerika Serikat pernah menyerukan boikot pada perusahaan pendukung pernikahan sejenis. Demikian pula di Australia. Usaha mereka ya bisa dibilang gagal total. Selain itu, apakah perusahaan-perusahaan yang dimaksud memperjuangkan pernikahan sejenis di Indonesia atau negara-negara lain di Asia Tenggara? Sejauh ini engga tuh. Apakah boikot ini bakal mengganggu bisnis Starbucks di kawasan? Hampir pasti tidak. Tua-muda masih doyan banget ngopi. Jangan lupa, salah satu varian kopi terbaik sedunia datangnya dari Indonesia lho.

Bagiku, boikot itu pilihan personal tapi harus konsekuen dong (full disclosure: aku sangat mendukung rekan LGBTQ). Pilihan memboikot Starbucks doang buatku aneh. Kan ada banyak tuh perusahaan pendukung LGBTQ, ya kita wajib boikot semua lah. Kalau cuma memboikot Starbucks yang melayani pasaran kelas menengah ngopi-ngopi cantik, rasanya nanggung deh.

Aku sejujurnya penasaran apakah beneran bisa memboikot sehari saja produk ataupun brand yang mendukung LGBTQ. Jadi, inilah pengalamanku mencoba mendukung boikot yang diserukan orang-orang konservatif di medsos:

4 Juli 2017

16.33 WIB (di kantor)

Aku membatin, “oke, ini hari terakhir berhubungan dengan apapun terkait produk pendukung LGBTQ. Mau tidak mau, aku pun harus istiqamah melepas laptop dan handphone. Dua-duanya merek Apple. Kita semua tahu, CEO Apple saat ini, Tim Cook, sangat terbuka soal identitas seksualnya sebagai gay. Oktober 2014, dia jelas-jelas bilang, “Let me be clear: I’m proud to be gay, and I consider being gay among the greatest gifts God has given me.” Belum lagi masih di tahun yang sama, ribuan pegawai Apple terlihat mengikuti parade Pride di San Fransisco, Amerika Serikat.

Oke. Tak boleh pakai produk Apple. Aku harus jauh-jauh dari laptop dan handphone. Toh, masih banyak merek lain bukan?

17.06 WIB

Aku baru ingat, hari itu ada janji ketemu seorang teman dari New York. Dia mengabari akan datang selepas jam kantor lewat Whatsapp. Aku juga punya beberapa janji wawancara yang hanya bisa diakses lewat Whatsapp. Wah, aku juga baru ingat, beberapa waktu lalu Whatsapp meluncurkan emoticon gay. Artinya, aku juga tidak boleh lagi mengakses Whatsapp. Kan tadi aku sudah berkomitmen memboikot semua perusahaan yang pro-LGBTQ. Aduh, mulai muncul masalah. Aku ternyata juga enggak bisa pakai aplikasi pesan seperti LINE. Bahkan LINE lebih dulu dari Whatsapp mengeluarkan emoticon gay di pasaran Indonesia. Setelah beberapa menit, aku baru sadar, ngapain harus panik. Toh, percuma saja, aku kan lagi belum bisa pakai handphone.

Aku engga bisa lagi memakai ponsel dan laptop. Jadi yang bisa kulakukan cuma menulis pakai bolpoin sama notebook, kembali ke suasana kerja kantoran 30 tahun lalu.

17.26 WIB

Dengan baik hati, teman sekantor bernama Yuda menawarkan handphone merek LG berbasis Android supaya aku masih bisa kerja dan berkomunikasi. Cocok nih, LG bukan produk Apple! Eh sialnya, aku baru sadar bahwa sistem operasi Android dikembangkan oleh Google, yang juga merupakan perusahaan ramah LGBTQ. Pada perayaan Pride di AS Juni 2015 lalu, Google menampilkan doodle warna-warni khas lambang LGBT. Setahun sebelumnya, Google terang-terangan membuat logo Olimpiade musim dingin warna-warni di halaman pencariannya, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Anti-Gay Rusia. Aduh. Susah bener ya.

Teman lain menyarankan pakai ponsel berbasis Windows saja. Etapi bukankah Windows sudah berhenti produksi? Dan sistemnya didukung oleh Microsoft yang juga perusahaan yang mendukung LGBTQ. Ya, pada 2013 lalu Microsoft bersama dengan Apple, Starbucks, Facebook, Nike, eBay, dan lainnya merupakan perusahaan yang mendukung keputusan legalisasi pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat. Artinya, meski aku memutuskan tidak lagi membuka laptop Apple, aku perlu cari komputer lain yang tidak menggunakan OS Windows dari Microsoft. Baiklah. Selamat tinggal komputer dan ponsel. Selamat tinggal peradaban!

17.35 WIB

Baru ikutan boikot satu jam aja rasanya hidupku udah susah banget. Mungkin aku memang kurang serius dalam melaksanakan boikot ini. Atau mungkin hidupku sudah sedemikian bergantungnya pada produk-produk teknologi tadi? Di kantor sore itu, aku dipanggil ikut rapat. Mati deh gue. Etapi, ga masalah kok. Toh aku bisa mencatat di notebook soal hasil rapat di buku catatan pribadi. Namun, aku jadi kurang update pas ditanya-tanya sepanjang rapat, gara-gara tidak mengakses laptop dan handphone untuk cari data.

19.30 WIB

Rapat selesai. Aku masih berkukuh coba memboikot produk-produk pendukung hak-hak LGBTQ. Aku memutuskan pulang dari kantor ke kosan di Mampang naik Metromini. Gabisa dong aku pakai taksi atau ojek online. Soalnya aku harus buka ponsel, dan ponsel teknologinya dirancang perusahaan pendukung LGBTQ!!!

Sebetulnya, naik Metromini tuh menyenangkan. Aku bisa mengantuk tanpa takut terjatuh dari motor. Sejak era ojek online, aku merasa Metromini tidak pernah sepenuh dulu, dan sejujurnya enak juga meskipun waktu tempuh yang diperlukan jauh lebih lama. Keuntungan lain naik metromini: aku dipaksa olahraga. Aku perlu berjalan kaki dari jalan utama yang dilewati menuju ke kos. Jika biasanya aku cuma butuh waktu 15 menit saja ke kosan naik ojek online, maka dengan bus kota waktu yang kutempuh adalah 40 menit ditambah sekian menit jalan kaki. Ga buruk-buruk amat buat membakar kalori.

20.10 WIB (Di Kos)

Biasanya, setiba di kos aku langsung membuka laptop untuk menonton film atau sekedar baca apapun yang bisa dibaca di internet. Hidupku hampa sesaat. Padahal aku tahu ada beberapa orang pasti coba mengirim pesan termasuk menelepon. Tapi lagi-lagi aku teringat masih berkomitmen tidak mengakses semua teknologi tadi. Katanya mau nyoba boikot produk pro-LGBTQ. Yaudah deh, aku jadinya cuma bisa baca-baca buku.

22.02 WIB

Itu angka yang terakhir kulihat di jam dinding, sebelum terlelap. Ah, aku tidur 3-4 jam lebih cepat dari biasanya.

5 Juli 2017

05.30 WIB (Masih di Kos)

Aku bangun lebih cepat dari biasanya! Mungkin ini hikmah yang bisa diambil dengan memboikot produk-produk tadi. Aku bisa bangun lebih cepat.

07.00 WIB

Waduh, aku mulai kebingungan. Di kantor aku bakal dapat masalah karena tidak punya ide apapun untuk dikerjakan. Tidak ada satupun tempat jual koran dan majalah dekat kosan. Sial!

08.17 WIB

Ini pertama kalinya aku mandi hanya pakai air. Beberapa produk yang kugunakan di kamar mandi merupakan produk asal Unilever, perusahaan multinasional yang mendukung kebijakan Equality Act di AS untuk melindungi LGBTQ dari diskriminasi dalam lingkungan kerja. Jadi, untuk hari ini aku mandi pakai air doang tanpa sampo, tanpa sabun. Beruntung aku masih bisa sikat gigi. Tentunya sebelum berangkat kerja, aku kembali memastikan tidak ada barang apapun terkait LGBTQ yang kupakai hari itu. Sial, dengan terpaksa aku tidak memakai sepatu bermerk Nike dan Adidas (selain dua merek itu, alas kaki yang kupunya tinggal sandal jepit dan sepatu tanpa merek). Nike sejak lama diketahui mendukung pernikahan gay. Begitu pula dengan Adidas, yang sempat mengeluarkan edisi khusus Stan Smith, Superstar, dan Adilette Slide yang terisnpirasi dari gerakan LGBT dengan nama “Pride Pack”. Hhhh, ingat, harus konsisten!

Ga boleh manja. Aku harus berangkat kerja naik metromini demi suksesnya pemboikotan ini.

09.53 WIB (Kembali ke Kantor)

Setelah perjalanan singkat ke kantor naik Metromini, aku tiba di kantor VICE Indonesia. Masuk ruangan, aku baru sadar bahwa ternyata tempat ini mengusung semangat antihomofobia. Di tembok saja terpasang poster yang tulisannya “homophobia” dan “transphobia”. Waduh. Kalau aku homofobik, ngapain aku masih kerja di sini? Sebaiknya angkat kaki sajalah.

Padahal aku masih suka kerja di sini. Aku pun punya banyak teman di komunitas LGBTQ, dan apakah aku membenci mereka karena orientasi seksualnya? Engga tuh. Kalau aku bukan homofobik, berarti aku harus memboikot diri sendiri dong? Semua rencanaku gagal total.

11.56 WIB

Akhirnya aku secara sadar mengakhiri upaya memboikot produk-produk yang “diklaim” mendukung LGBTQ. Aku menghargai upaya boikot produk dengan alasan lebih masuk akal. Misalnya seruan boikot Starbucks karena tidak memberlakukan harga jual layak pada para petani kopi atau seruan memboikot Nike lantaran praktik mendekati perbudakan di pabrik-pabrik mitra mereka.

Seandainya suatu hari aku secara sadar memboikot produk-produk tersebut, percayalah, itu bukan karena aku membencinya karena alasan-alasan semacam anti-LGBTQ.