Akhir pekan lalu, penggemar musik sibuk membahas sebuah keanehan di jagat pop: pujian selangit dari media musik kepada album baru Taylor Swift, justru membuat barisan penggemar diva pop Amerika itu marah bukan main.
Folklore album baru Swift, meraih sanjungan dari berbagai media ternama. Tak cuma kritikus, yang bukan penggemar saja mengakui itu rilisan pop mumpuni, kandidat album terbaik 2020. Rupanya, buat sebagian fans, ulasan penuh puja-puji saja tidak cukup.
Videos by VICE
Korban dari mentalitas fans macam itu adalah Pitchfork, media musik yang selama ini dijuluki perwakilan selera kaum hipster. Saya sendiri semasa remaja dulu pernah ikutan mengolok-olok ulasan album ala Pitchfork yang sering terasa lebay dan penuh bahasa-bahasa melangit. Apalagi sistem penilaian review Pitchfork pakai koma gitu, seakan berbasis metode ilmiah atau terasa kayak meneruskan peran guru yang menilai ujian akhir semester kita.
Satu contoh yang cukup kontroversial adalah saat albumnya Halsey diberi skor 6,5 (dari skor sempurna 10). Halsey marah, sampai menyumpahi kantor redaksi Pitchfork “runtuh saja”, tapi kemudian menghapus twitnya setelah tahu mereka berkantor di Gedung World Trade Center. Di luar itu, redaksi kawakan Pitchfork memang terkenal lebih menyukai musik berbasis gitar dibanding genre lain.
Tapi, kali ini, menurutku Pitchfork sama sekali tidak sedang melakukan kesalahan. Editor mereka, Jillian Mapes, yang mengulas album Folklore dan memberi skor 8.0, betulan menulis barisan paragraf berisi pujian buat materi terbaru Taylor Swift. Bahkan, Mapes membandingkan album ini seperti karya sastra klasik Jane Eyre, serta menyorot kemampuan Swift bercerita lewat lirik retrospektif.
Masalahnya bukan di apa yang Mapes tulis, melainkan angka final yang dia pakai untuk mengapresiasi album tersebut. Folklore “hanya” mendapat 8.0 dan para fans tidak terima. Angka itu kurang tinggi bagi mereka. Sebagian penggemar garis keras, yang memakai akun anon, menuntut Pitchfork menurunkan review itu, atau sekalian merevisi skornya.
“Folklore layak diberi nilai 10. Si penulis juga harus minta maaf karena tidak terlalu menyukai lagu ‘Seven’. Penilaian itu menunjukkan selera si penulis review rendahan,” tulis satu penggemar Swift.
Tentu tidak semua penggemar Taylor Swift mendukung sentimen minoritas garis keras itu. Tapi doxxing online terlanjur terjadi. Mapes sampai harus mengunci semua akun medsosnya, karena dia dapat teror tanpa henti. Dia pun dapat telepon dari fans yang marah, serta email berisi ancaman pembunuhan. Beberapa faksi dalam fandom Taylor Swift (biasa dijuluki ‘Swifties’) menilai aksi sebagian kecil penggemar itu sudah kelewat batas.
Namun, setelah dikaji lagi, kemarahan beberapa Swifties radikal didasari pada asumsi kalau ulasan Pitchfork berpengaruh terhadap agregasi Metacritic. Skor 8.0 dari Pitchfork langsung membuat peringkat Folklore anjlok di Metacritic, dari awalnya 90 menjadi 89.
Oke, mari kita bahas isu yang jadi biang kerok utamanya: Metacritic. Mekanisme agregasi mereka dari dulu tidak pernah jelas. Masalahnya, situs ini sering jadi patokan fandom, entah game, musik, atau film, untuk membela idola mereka ketika karya terbarunya rilis dan diulas media massa. Apabila skor Metacritic karya idola mereka anjlok, siap-siaplah akan ada “demonstrasi” di media sosial.
Kelakuan sebagian Swifties ini mirip sekali sama penggemar (atau pembenci) game tertentu, yang marah ketika media tidak memberi ulasan positif. Contohnya, yang tempo hari sempat memicu kontroversi, adalah debat soal game The Last of Us Part II yang dianggap mengusung agenda ‘SJW’ layak dikasih skor bagus atau tidak.
Tapi, minimal kelakuan toxic fandom game terhadap skor Metacritic agak bisa dipahami. Soalnya, skor di situs agregasi itu akan menentukan developer game bakal menerima royalti dari karya mereka atau tidak. Industri game memang absurd seperti itu, kalau sebuah game dapat skor bagus di Metacritic, maka manajemen yakin penjualan game-nya bakal moncer. Hal yang sama tentu tidak bisa dijadikan patokan buat film atau lagu.
Satu hal yang harus kita pertimbangkan. Kesuksesan Taylor Swift jelas tidak terpengaruh oleh ranking Metacritic. Sebelum Folklore, dia sudah berstatus diva musik pop, dengan kekayaan jutaan dollar, dan sudah berulang kali memuncaki tangga lagu populer. Tanpa album ini pun, banyak kritikus yang sudah memuji kemampuan Swift menulis lagu. Dia adalah superstar jauh sebelum media sosial dan algoritma menentukan popularitas suatu konten.
Tragisnya lagi, Pitchfork sebelumnya pernah memberi skor 9.0 untuk album Red milik Swift. Review itu bahkan sampai membandingkan sang diva dengan Joni Mitchell dan Pablo Neruda. Sanjungan itu jelas sangat tinggi.T
Maka, dalam kasus kemarahan sebagian kecil penggemar Swift, yang bisa kita lihat adalah contoh nyata problem fandom di masa sekarang. Betapa mereka tidak bisa melepaskan subyektivitas tafsir atas produk budaya pop, dan memaksakan sebuah karya harus berujung dengan apresiasi positif (dalam hal ini pujian). Kritik, atau ketidaksukaan semata pada sebuah karya seni, dianggap sebagai serangan personal terhadap sang idola, dan fans merasa perlu terlibat membela. Bayangkan, dalam kultur fandom macam itu mustahil bisa muncul kritik seni yang layak. Penulis manapun pasti jiper mengkritik karya musisi atau seniman yang punya basis massa fanatik.
Bagaimanapun, fandom adalah komunitas daring maupun luring yang seharusnya positif. Karena di suatu fandom, kita merasa diterima dan punya kesamaan. Masalahnya, perilaku toxic sebagian kecil fans akan mempengaruhi persepsi terhadap keseluruhan penggemar. Betapa sekarang ada yang punya mentalitas bahwa kesuksesan komersial (terlihat dari ambisi sebagian fandom memastikan video klip idolanya trending di YouTube menembus jumlah views tertentu) sekaligus pujian atas capaian artistik idolanya jauh lebih penting daripada apapun, sehingga semua kritik (atau bahkan pujian yang tak sesuai harapan mereka) harus dihantam dengan doxing, bullying online, dan tindakan negatif lainnya.
Satu hal lain yang mengecewakan tentunya melihat fokus para penggemar Swift yang marah hanya pada skor review-nya, bukan apa yang ditulis oleh Mapes sebagai kritikus musik. Kebiasaan mengkuantifikasi seni ini memang jadi masalah tersendiri, memunculkan perilaku toxic banyak orang, termasuk perkara saingan jumlah views dengan idola fandom lain.
Rasanya, gara-gara kontroversi kayak ginilah, makin banyak publikasi akhirnya menghindari pemberian angka untuk suatu karya seni. Kami di VICE tak pernah mencantumkan skor tertentu untuk game, film, atau album yang kami ulas. Kotaku juga melakukan hal yang sama. Polygon pun sudah berhenti memberi skor sejak 2018.
Ujung-ujungnya, kita hanya bisa berharap kritik musik tidak akan kalah dari derau-derau segelintir fans yang toxic. Bobot album Swift akan lebih adil dinilai oleh sejarah, terutama setelah kita melakukan retrospeksi sekian tahun mendatang. Penggemar musik di masa mendatang pasti lebih obyektif melihat apa kekuatan album Folklore, apa kelemahannya, dan adakah terobosan estetik yang berhasil dihadirkan lewat album tersebut.
Ketika segelintir fans berusaha mematikan semua jenis kritik, termasuk yang memang tidak menyukai karyanya untuk saat ini, maka mereka hanya memastikan sang idola berakhir sebagai berhala semata, bukan seniman yang punya nilai dan gagasan tertentu untuk ditawarkan kepada masyarakat.
Artikel ini pertama kali tayang di Noisey