Kendati sering berpidato di hadapan ratusan orang, Scott Amyx, pengusaha dan penulis paruh waktu, sering gugup sebelum naik panggung. Untuk menenangkan diri dan mengosongkan pikiran, Amyx kerap mempraktikan teknik pernapasan yang sekian tahun lalu dia pelajari dari seorang psikolog olah raga.
Berkat latihan pernapasan khusus ini secara rutin, 30 menit tiap pagi—plus satu kali sebelum berpidato—Amyx mengaku “bisa mengatur kecemasan yang saya hadapi dan mengubahnya menjadi energi guna memulai sebuah presentasi yang gemilang.”
Videos by VICE
Bagi mereka yang pernah mengikuti kelas yoga, mengatur cara bernapas adalah awal dan akhir sebuah latihan. Kebiasaan ini punya asal muasal sejak dulu kala. Para Yogi sadar betul, tubuh bisa ditenangkan dengan cara mengubah kecepatan dan kedalaman napas kita. Beberapa tahun terakhir, praktisi kesehatan mental menyadari manfaat serupa. Makin banyak psikiater ikut menyarankan latihan pernapasan bagi pasien yang mengalami seragan kecemasan, gangguan pasca trauma, ataupun depresi.
Cynthia Stonnington, kepala departemen psikiatri dan psikologi di Mayo Clinic, Phoenix, mengaku berulang kali memperkenalkan pasiennya pada teknik pernapasan tertentu. Sebab, “teknik-teknik tersebut manjur bagi banyak orang. Lagipula latihan pernafasan membuat pasien turut aktif dalam proses penyembuhannya penyakitnya dengan melakukan sesuatu yang berguna.”
Teknik pernapasan yang paling manjur justru sangat sederhana. Siapapun bisa menguasainya dalam hitungan detik. Bahkan, setelah kamu menuntaskan baca artikel ini, kamu bisa mempraktikannya sendiri di kantor atau rumah. Teknik yang dimaksud adalah resonant breathing atau Coherent Breathing (maaf istilah sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena sudah jadi merk dagang).
Teknik ini dipopulerkan dua psikiater asal New York. Teknik pernapasan ini sangat ampuh mengatasi beberapa masalah kesehatan mental—bahkan yang parah sekalipun—seperti trauma yang dialami oleh penyintas genosida, gempa bumi, tsunami, dan berbagai bencana alam dahsyat lainnya. Teknik ini juga dipraktikan veteran perang, setidaknya di dua rumah sakit khusus veteran di Amerika Serikat.
Latihan pernapasan ini disusun melalui proses penelitian panjang terhadap teknik kuno yang diwariskan turun temurun berbagai suku asli seluruh dunia. Mulai dari Yoga, qi qong, sampai teknik pernapasan khas suku asli Hawaii di Amerika.
Patricia Gerbarg, guru besar bidang psikiatri di New York Medical College, mendalami teknik-teknik pernapasan itu bersama suaminya Richard Brown, guru besar di psikiatri klinis di Columbia University.
“Kami ingin menciptakan semacam program pendek yang cepat diajarkan, sehingga peserta merasa lebih lega dalam dalam lima atau sepuluh menit. Di samping itu, kami berharap program ini lambat laun menimbulkan sebuah efek jangka panjang,” kata Gerbarg. Sejumlah penelitian kecil-kecil berhasil mendokumentasikan nilai penting teknik pernapasan yang diperkenalkan Gerbarg dan Brown.
Salah satu penelitian itu dipublikaskan di Journal of Alternative and Complementary Medicine pada 2017—dikerjakan para peneliti dari Boston University. Ilmuwan meminta 30 pasien depresi mempraktikan teknik pernapasan ala Gerbarg. Setelah tiga bulan, para peneliti menemukan tanda gejala depresi pasien mengalami penurunan, setelah diukur lewat serangkaian tes.
Aspek paling menarik dari teknik pernapasan ini adalah kalian bisa melakukannya di mana saja. Jadi gimana sih cara melakukan resonant breathing?
Prinsipnya, kita wajib menarik dan membuang napas dengan kecepatan lima tarikan napas per menit (maksudnya, satu tarikan atau embusan napas diitung selama enam hitungan). Untuk awal belajar, ada baiknya kamu memulai teknik ini dengan mata tertutup.
Begitu kamu terlatih menerapkannya, kamu bisa melakukannya dengan mata terbuka. Alhasil, kapanpun diserang rasa gelisah, atau mengalami gejala depresi, kamu tinggal duduk di kursi dan mempraktikan teknik pernapasan tersebut. Bahkan di tengah rapat sekalipun. “Teknik ini tak kentara sama sekali. Kelihatannya seperti bernapas biasa. Tak ada tahu kamu sedang melakukanya,” kata Gerbarg.
Saat melakukan teknik ini, pastikan kamu menarik napas dengan lembut, kata gerbarg, sebab tujuan pernapasan adalah menyeimbangkan cabang syaraf simpatik (yang mengatur insting) dan parasimpatik (mengatur fungsi istirahat dan mencerna makanan tubuh).
Tonton dokumenter VICE soal kembali populernya ritual pengusiran setan di Meksiko beberapa tahun terakhir sebagai pengobatan alternatif:
Gerbarg dan suaminya sempat mencari penyebab mengapa teknik pernafasan ini mempunyai khasiat restoratif luar biasa. Menurut ilmuwan, teknik ini mengalirkan oksigen dalam jumlah banyak ke otak. Mereka merasa penjelasan itu belum akurat menjabarkan efek yang dirasakan orang-orang setelah mempraktikan resonant breathing. Bahkan, sejumlah teknik pernapasan pada dasarnya justru menurunkan aliran oksigen ke otak.
Alasan sebenarnya kenapa teknik ini begitu manjur, seperti yang sekarang diyakini Gerbarg dan Brown, adalah karena syaraf vagal—yang menghubungan otak dengan bagian tubuh lainnya hingga bisa mengirim komando kapan organ berdetak, bernapas, memproses makanan dan sebagaianya—terbukti lebih sering mengirim pesan dari tubuh ke otak, bukan sebaliknya.
“Pesan-pesan ini sangat memengaruhi respons stres, emosi dan jaringan pengatur aktivitas neurohormonal,” tulis Gerbarg dan Brown dalambab tentang metode resonant breathing dalam buku Yoga Therapy: Theory and Practice yang terbit 2015 lalu.
“Sistem pernapasan adalah satu-satunya sistem otomatis dalam tubuh yang bisa kita kendalikan,” ujar Gerbarg. Makanya, kita bisa mengubah isi pesan dari tubuh ke otak dengan mengubah pola pernapasan. Cara bernapas yang teratur dan seimbang, akan membantu tubuh mengirim pesan pada otak agar tenang sekaligus tetap waspada. Hasilnya, kamu bisa tetap tenang dan menyelesaikan pekerjaan seperti semestinya—atau dalam kasus Amyx, memukau audiens dengan pidatonya.
Napas yang teratur dan tenang mengantarkan pesan yang nyaman, sekaligus mengurangi pikiran depresif dan kegelisahan. Di saat yang sama, napas seperti ini memancing munculnya emosi yang lebih hangat dan menyenangkan. Sejauh ini, efek negatif teknik pernafasan yang diajarkan Gerbarg belum dijumpai. Namun, orang-orang yang mengidap asma kabarnya sering kesusahan menguasai teknik ini. Bagi penderita asma, eknik ini akan sedikit menyempitkan saluran pernafasan dan mengibatkan kesulitan bernapas. Makanya, demi keselamatan mereka, penderita asma dianjurkan memelajari teknik ini di bawah panduan para ahli.
Agar tak salah langkah, saat melakukan teknik resonant breathing kita disarankan menghitung dengan suara atau dalam hati saja. Cara lain adalah dengan menggunakan cahaya yang berkelip. Stephe Elliott, spraktisi biofeedback yang mendaftarken merk dagang Coherent Breathing, juga sudah menciptakan aplikasi bernama “two bells” (bisa diunduh dari situs Coherence.com), yang menghasilkan bunyi dua lonceng khas Tibet yang berbeda. Fungsi aplikasi itu memberitahu kita kapan harus menarik atau mengembuskan napas.
Stonnington merasa semestinya lebih banyak psikiater menganjurkan teknik pernapasan macam ini. “Metode ini akan sangat membantu pasien yang mencari pengobatan kesehatan mental tanpa harus mengandalkan obat-obatan. Teknik bernapas sederhana ini pasti menarik perhatian banyak orang,” katanya.
Tentu saja, tantangan bagi pengidap depresi adalah memotivasi diri agar mau belajar menerapkan teknik resonant breathing. Apalagi jika mereka sudah pernah mencoba teknik pernapasan lain dan gagal.
Gerbarg bilang, latihan resonant breathing idealnya berlangsung selama 15 sampai 20 menit tiap hari. Dalam praktiknya, durasi latihan bisa disesuaikan, atau malah dan diperpanjang sesuai kebutuhan.
Artikel ini pertama kali tayang di Tonic