Sudah tiga kali rezim berganti namun kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib, masih berselimut kabut. Pada Rabu (28/8) lalu, pelaku utama pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, dinyatakan bebas murni. Sebelumnya Pollycarpus, mantan pilot maskapai Garuda Indonesia, bebas bersyarat pada 2014 dan harus menjalani wajib lapor dan bimbingan di Badan Pemasyarakatan (Bapas) Bandung selama empat tahun.
Pollycarpus bebas pada 2014 setelah menjalani delapan tahun penjara dari total hukuman 14 tahun karena remisi dan potongan masa tahanan. Pollycarpus dihukum penjara pada 2005 karena terbukti melakukan pembunuhan dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam jus jeruk dan mi goreng yang dikonsumsi Munir saat transit di Bandara Changi Singapura menuju Belanda.
Videos by VICE
Pegiat HAM dan masyarakat yakin bahwa Pollycarpus hanya pion dalam kasus tersebut. Aktor utamanya tak pernah terungkap. Fakta-fakta pengadilan mengarah pada kemungkinan Pollycarpus adalah agen non organik Badan Intelijen Negara, namun kaitan tersebut, termasuk siapa pejabat intelijen langsung yang memerintahkan Munir diracun, tidak pernah ditindaklanjuti aparat hukum.
Pada 2004 setelah berbagai desakan dari masyarakat presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) melalui Keputusan Presiden. Pengungkapan kasus Munir juga menjadi program 100 hari kerja SBY kala itu. Tim TPF beranggotakan tujuh orang dari berbagai elemen masyarakat tersebut menyelesaikan tugasnya pada Juni 2005.
Hasil pencarian fakta tersebut disusun dalam sebuah laporan yang diserahkan langsung kepada presiden dan menteri terkait. Waktu terus bergulir namun pemerintah tak kunjung mengungkap hasil penyelidikan TPF tersebut hingga pada 2016 pemerintah melalui Sekretariat Negara mengklaim tak pernah menerima dokumen asli dari TPF tersebut. Dokumen tersebut raib. Mirip Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Mantan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi kala itu mengatakan bahwa pemerintah hanya memiliki salinan laporan TPF. Salinan tersebut diyakini sesuai dengan aslinya. Silalahi mengatakan bahwa salinan tersebut akan diserahkan kepada rezim yang berkuasa untuk ditindaklanjuti.
“Setelah kami lakukan penelitian, termasuk melibatkan mantan ketua dan anggota TPF Munir, diyakini bahwa kopi tersebut sesuai dengan naskah aslinya,” kata Silalahi dikutip awak media. “Kopi naskah laporan lengkap akan kami serahkan ke pemerintah yang sekarang (Joko Widodo).”
Pemerintahan Jokowi dilaporkan telah menginstruksikan Jaksa Agung Prasetyo dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Wiranto. Namun sampai saat ini belum ada kemajuan berarti. Malahan Wiranto menolak membicarakan kasus Munir dengan terbuka.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pernah menggugat Sekretariat Negara setelah Komisi Informasi Pusat (KIP) mewajibkan pemerintah untuk mengungkap dokumen laporan TPF kepada publik. Namun pada Februari 2017 Pengadilan Tata Usaha Negara menganulir keputusan KIP dan memenangkan Sekretariat Negara. Lagi-lagi alasan pengadilan menolak gugatan tersebut lantaran pemerintah tidak memegang dokumen laporan TPF.
Meski salinan dokumen laporan akhir TPF telah ditemukan, mengapa pemerintah tak kunjung berani mengakui kesalahan dan mengekspos penemuan TPF kepada publik?
Peneliti Amnesty International Indonesia dan mantan anggota TPF kasus Munir, Usman Hamid, mengatakan bahwa hasil laporan tersebut mengungkap berbagai fakta yang selama ini tidak digubris oleh pemerintah. Satu poin dalam laporan tersebut mengatakan bahwa “TPF tidak melihat adanya bukti-bukti yang menunjukan bahwa kejahatan ini dilakukan oleh perseorangan dengan motif pribadi” sehingga ada aktor utama yang mengatur dari balik layar. Usman mengatakan bahwa dalang utama di balik kasus tersebut sebetulnya sudah terungkap dalam laporan tersebut.
“Pollycarpus sekarang bebas murni, namun pemerintah tetap enggan mengungkap pelaku lain dalam kasus Munir,” ujar Usman kepada VICE Indonesia. “Pemerintahan SBY gagal memproses hukum pelaku. Pemerintahan Jokowi juga enggak lebih baik.”
Menurut Usman saat penyelidikan TPF pada 2004-2005 menemukan setidaknya ada tiga aktor di balik kasus. Pollycarpus, kata Usman, hanyalah satu pelaku di lapangan. Dua lainnya berperan mengatur rencana pembunuhan sedemikian rupa melalui jejaring agen intelijen.
Tonton dokumenter VICE mengenai penari lengger lanang Banyumas yang kembali lagi setelah sempat dilarang Orde Baru:
Usman enggan mengungkap nama di balik itu, karena yang berhak dan berkewajiban untuk mengungkap nama adalah pemerintah. Ia mengatakan bahwa pemerintah tidak lagi memiliki alasan untuk menyembunyikan sejumlah fakta di lapangan.
“Dalam sisa waktu pemerintahan Jokowi sekarang, sudah saatnya pemerintah membuka dokumen laporan TPF kepada publik. Ada beberapa nama (mantan) pejabat BIN yang terlibat dalam kasus tersebut,” kata Usman.
Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Hak Asasi Manusia di Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani, dikutip BBC, mengatakan saat ini pemerintahan Jokowi berupaya mengungkap dengan berdiskusi dengan berbagai pihak. Menurutnya usaha pemerintah masih terkendala lemahnya barang bukti karena kasus yang mengendap terlalu lama.
“Pemerintah juga berbicara dengan kawan-kawan di NGO, di Komnas HAM, Komnas Perempuan. Tetapi memang sampai hari ini kami belum sampai pada misalkan bagaimana operasionalisasi untuk mekanismenya itu seperti apa belum” kata Jaleswari. “Karena bukti, karena itu sudah berlangsung lama, karena kita juga berkoordinasi dengan beberapa instansi atau kementerian terkait lainnya, salah satu kendala juga. Tetapi bahwa itu menjadi concern dari presiden, itu tetap kami jalankan. Tetapi memang terkesan lambat terutama memang soal bukti itu.”
Usman Hamid pesimis dengan pernyataan pemerintah. Menurutnya justru banyak lembaga swadaya dan masyarakat yang terus mendesak instansi negara seperti Kejaksaan Agung, namun tak pernah mendapat respons.
“Hasil dari Tim Gabungan Pencari Fakta itu tidak pernah ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui suatu proses investigasi. Misalnya di Kejaksaan Agung, tidak pernah ada langkah lebih jauh,” kata Usman. “Bahkan Komnas HAM di tahun 2000-an sempat melanjutkan penyelidikan secara terpisah. Hingga akhir laporan tersebut diserahkan kepada Jaksa Agung juga tidak mendapatkan respons.”
Pollycarpus sempat dilaporkan turut bergabung ke Partai Berkarya, pimpinan Tommy Suharto. Di partai baru tersebut, ada Muchdi PR, sosok yang disebut kalangan aktivis sebagai atasannya di Badan Intelijen Negara. Dia membenarkan sempat diajak, tapi menolak karena lebih memilih bekerja di industri penerbangan. Saat ditemui media sesudah resmi bebas, Pollycarpus juga terus membantah bahwa dia anggota intelijen. “Enggak benar,” tukasnya singkat.
Adapun Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang menuntut masyarakat Indonesia tidak lagi mengaitkan kasus pembunuhan Munir dengan sosok Pollycarpus. “Bisa saja bukan dia yang melakukan tapi dikorbankan,” kata Picunang seperti dikutip BBC Indonesia.
Dari penyelidikan kepolisian yang berjalan kala itu ada tiga tersangka utama dalam kasus pembunuhan Munir yaitu direktur utama Garuda Indonesia Indra Setiawan, deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono, dan Pollycarpus. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis satu tahun penjara buat Indra, sementara Muchdi dibebaskan dari segala tuduhan. Sedangkan Pollycarpus dihukum 14 tahun penjara.
Jika melihat pilpres 2019 sudah di ambang pintu, bisa dipastikan Jokowi bakal lebih sibuk berkampanya dan mengatur strategi menjaring massa milenial. Kalau sudah begitu tampaknya dokumen TPF tetap bakal mangkrak di tumpukan kertas tak bertuan di sudut ruangan entah milik pejabat siapa.
Sembari kita meributkan dokumen tersebut dan sibuk menentukan pilihan presiden, kita tak boleh lupa bahwa kini Pollycarpus telah bebas melenggang ke mana pun dia mau. Seharusnya kita juga tak boleh alpa bahwa Pollycarpus bisa menjadi saksi kunci atas apa yang terjadi pada Munir.