Bagi para penggila fotografi analog, matinya bisnis Kodak adalah ujian teramat berat. Setelah Kodak dinyatakan bangkrut pada 2012, banyak yang menyangka fotografi analog sudah tamat. Tak lama kemudian harga satu roll film Kodak langsung meroket. Kecintaan terhadap fotografi analog menjadi sejenis cinta berat di ongkos. Beruntung, di tengah ujian berat ini Grain Grin Film Labs, sebuah perusahaan kecil di Jakarta, berusaha mati-matian menjaga eksistensi roll Kodak. Cara yang ditempuh studio foto ini lumayan unik. Mereka mendaur ulang pita film menjadi roll film Kodak ukuran 35mm.
Pemilik Grain Grin Film Labs, Ian Faisal, mencopot satu per satu gulungan film dari roll Kodak Vision yang lazimnya dipakai membuat film panjang. Dia membagi setiap roll berisi 36 strip, lalu memasukkannya kembali ke roll Kodak untuk foto. Hasilnya, kini tersedia lagi roll film yang bisa digunakan para pengguna kamera analog di Jakarta dan sekitarnya.
Videos by VICE

Di mata Faisal, film 35mm lebih superior dibandingkan hasil kamera digital yang banyak beredar di pasaran saat ini. Keunggulan film analog semakin kentara, menurutnya, ketika hasil cetakan fotonya diperbesar. Tentu saja, kamera digital level profesional pasti bisa mengimbangi hasil jepretan film analog. Masalahnya harga kamera semacam itu tak bisa dijangkau kebanyakan orang. Dia mencium perkembangan baru, ketika anak-anak muda datang ke tokonya karena tertarik mendalami lagi fotografi analog.
“Tren selalu berputar,” kata Ian Faisa saat dihubungi VICE Indonesia. “Mungkin digital photography sudah mencapai puncak grafiknya.”
Faisal tak berhenti di situ. Dia sampai membuat sendiri label khas Kodak dan menempelkannya pada roll kodak DIY buatannya. Perhatian Faisal pada detail ini didorong oleh hasratnya yang tinggi pada fotografi analog. Dia ingin fotografi bisa menjadi hobi bagi semua orang dari latar belakang apapun. “Kamera analog lebih unggul untuk aspek exposure. Kamu tinggal jalan-jalan lalu mencari momen tanpa harus pusing melihat layar digital. Kamu merasakan pengalaman di luar sana,” ujarnya.
Saat ini, suplai roll film dimonopoli oleh segelintir importir di Indonesia. Tentu saja hal itu berpengaruh pada tingginya harga jual di pasaran.
Satu single reel dengan 36 exposures rata-rata dibanderol Rp175 ribu. Sementara Grain Grin berkat roll film DIY tersebut berani menjual per reel separuh harga, yakni Rp90 ribu. Dia yakin sebetulnya harga jual roll film bisa terus turun jika para pengusaha mencari cara-cara alternatif untuk memasok kebutuhan penyuka fotografi.
“Karena agar ada perputaran dana hobby yang demand-nya tinggi dan jenis develop yang kurang beragam,” kata Faisal.
Pangkal masalah langkanya bahan baku roll film ini terjadi tujuh tahun lalu, ketika mayoritas stasiun TV dan rumah produksi berhenti membeli film analogi. Imbasnya, jalur distribusi film analog dihentikan seketika. Faktor inilah yang membuat Faisal merasa perlu membuat sendiri pasokan roll film. Apalagi dia meyakini anak-anak muda justru sekarang sedang gandrung-gandrungnya dengan fotografi analog karena faktor nostalgia.
Kendati ketertarikan terhadap fotografi analog masih tergolong kecil dibandingkan maraknya penggunaan fotografi digital, berbagai komunitas—besar atau kecil—masih berusaha menyalakan asa kembalinya fotografi analog. Faisal optimis, akan ada banyak pengusaha lain sepertinya yang mencari berbagai cara memasok kebutuhan roll film di masa mendatang. Walau tak mengungkap jumlah penjualan saban bulan, dia mengakui situasi positif ini di bidang fotografi analog, baik dari sisi komunitas maupun industri pendukung, masih bakal berlanjut dalam waktu yang panjang.
“[Komunitas fotografi analog] cukup bagus dan mulai menggeliat,” ujarnya. “Ibarat orang koma kakinya tiba-tiba gerak.”
More
From VICE
-
By lijing/Getty Images -
Amr Bo Shanab/Getty Images -
CSA Images/Getty Images -
Illustration by Reesa