Penyebab Film Nostalgia Era 90-an Berhasil Menarik Minat Banyak Orang

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Beauty and the Beast, film daur ulang versi live-action dari animasi yang dirilis pertama kali pada 1991, berhasil meraup pendapatan US$1 miliar (sekitar Rp13 triliun di tangga Box Office. Ini capaian luar biasa. Beauty and The Beast adalah film pertama yang mencapai angka itu sepanjang 2017, walau tak begitu mengagetkan. Disney memang jagonya membungkus ulang dan menjual kembali momen-momen masa kecil kita. Disney jugalah yang berhasil membangun sebuah kerajaan dengan mengadaptasi dongeng-dongeng menjadi film animasi. Dan beberapa tahun lalu, mereka merilis dongeng-dongeng tersebut dalam bentuk kekinian, film kartun 3D.

Videos by VICE

Obsesi Disney mengubah film kartun lama menjadi film-film live action dimulai dengan Alice in Wonderland pada 2010, yang juga berhasil melewati angka US$1 miliar di tangga box office. Setelah itu, berturut-turut menyul Maleficent di 2014 ($750 juta atau sekitar Rp9 trilyun), Cinderella di 2015 (lebih dari US$500 jutajuta alias setara Rp6 triliun), The Jungle Book di 2016 ($950 juta, sekitar Rp12 triliun), dan Pete’s Dragon di 2016 ($140 million atau sekitar Rp1,8 triliun). Disney juga tengah meremake Mulan pertengahan 2018 mendatang. Lalu setelah itu apa? Oh jangan tanya. Sudah ada setumpuk film animasi lawas yang siap di-remake. Dalam satu tahun, Disney setidaknya akan mengeluarkan satu film remake.

Disney bukan satu-satunya perusahaan media yang mengeruk duit dari Nostalgia. Belakangan, Box Office dikuasai film-film blockbuster macam The Fate of the Furious, Power Rangers, Smurfs: The Lost Village, dan Kong: Skull Island. Semua judul ini adalah sekuel franchise yang sudah kadung panjang—tapi tetap laris—kalau bukan versi reboot film lama. Parahnya, tren ini masih akan berlanjut. Setidaknya ada 120 judul film remake atau reboot tengah diproduksi saat ini. Bahkan perusahaan game macam Nintendo bergantung pada franchise lama untuk mendongkrak angka penjualannya. Perusahaan yang berdiri 1889 ini baru saja mengeluarkan NES classic. Belum lagi hype NES dingin, sudah ada rumor yang mengatakan bahwa SNES mini juga akan segera diluncurkan.

Mayoritas film atau game ini berasal dari dekade 80an dan 90an. Serial TV Mighty Morphin’ Power Rangers dan versi film animasi Beauty and the Beast, misalnya, dirilis kira-kira 25 tahun lalu. Yang menarik, ini bukan sebuah kebetulan belaka.

“Sepertinya, ada semacam siklus 20 tahunan untuk menjual nostalgia,” kata Stuart Elliot, seorang kolumnis bidang periklanan di surat kabar the New York Times, saat diwawancarai Motherboard.

“Dekade 50-an kembali populer di tahun 70-an. Kini, dekade 90-an kembali menyeruak. Dari sudut pandang pemasaran, ini terjadi karena dekade 90-an adalah memori masa kecil kaum milenial yang tengah masuk usia dewasa. Saat ini, mereka tengah dituntut untuk membeli mobil, rumah, furnitur dan pembelian besar lainnya.”

Rasa yang ingin sekali dilecut para pembuat iklan pada kaum ini adalah nostalfia: sebuah rasa hangat dan menenangkan yang dirasakan tiap orang ketika mengingat masa lalu. Masa lalu selalu ngangeni bagi setiap orang. Namun, uniknya, kita juga kadang kangen pada masa sebelum kita dilahirkan. Ada beberapa kemungkinan penyembabnya. Barangkali, misalnya, orang tua kita dulu doyan menyetal lagu-lagu oldies. Nah, kita yang kala itu masih belia mengasosiasikan detail indrawi ini—katakanlah begitu—dengan memori positif.

Istilah “nostalgia” pertama kali diciptakan pada 1688. Di awal kelahirannya, terma ini punya stigma negatif atau malah dianggap sebagai sejenis penyakit. Seorang dokter militer Theodore Calhoun memandang nostalgia sebagai gejala lemahnya keinginan dan “ke-kurangjantan-an.” Namun, di masa modern, pandangan terhadap nostalgia lebih positif. Penelitian terbaru menduga bahwa manusia menggunakan nostalgia sebagai perangkat untuk membentuk narasi hidup yang kohesif.

“Apa yang kita alami saat ini biasanya cenderung kompleks,” kata Clay Routledge, profesor bidang psikologi dari North Dakota State University. Routledge turut dihubungi Motherboard saat penulisan artikel ini. “Ketika setiap manusia menengok ke masa lalu, kita punya peluang untuk memahami apa yang sebetulnya terjadi…manusia memang selalu berusaha memahami segala stimulus yang mereka terima selama hidup, sehingga tak cuma jadi aliran data semata. Pengalaman ini membantu manusia memprediksi hidup mereka dan memahami apa yang bisa mereka harapkan dari orang lain atau situasi tertentu.”

Orang yang senang bernostalgia bakal sering menemukan “hal-hal positif’ dari masa lalu yang kelam. Memori negatif akan ditekan sementara memori positif dibawa kembali ke prmukaan. Anak-anak Inggris pada masa Perang Dunia II dengan mudah akan mengingat betapa dekat mereka dengan orang tua. Dalam hal ini, nostalgia bisa jadi salah satu metode bertahan bagi para penyintas trauma dan tragedi.

“Emosi negatif cenderung lebih cepat dilupakan daripada emosi positif,” ujar Routledge. “Nostalgia bisa sangat adaptif dan bisa merajut pengalaman yang tak mengenakkan menjadi sebuah narasi penuh arti.”

“Ada sebuah teori tentang sistem kekebalan psikologis,” lanjut Routledge. “Kehidupan kita ini penuh dengan tantangan, trauma, kehilangan dan penderitaan. Sebagai sebuah mahluk yang punya kesadaran, kita harus berjuang menghadapi segala kecemasan ini. Hewan lain dilengkapoi dengan respon lari-atau-lawan ketika menghadapi bahaya, tapi mereka tak merenungkan bahaya itu seperti kita. Tiap mahluk punya adaptasi terhadap bahaya yang berbeda-beda. Kalau tidak, spesies-spesies ini tak akan bisa mendominasi planet Bumi seperti yang sudah terjadi saat ini.”

Namun, Nostalgia tak hanya menaruh masa lalu dalam kerangka baru semata. Nostalgia memberikan rasa nyaman pada saat ini. Routledge lebih jauh merinci dua buah pemicu nostalgia. Penyebab pertama adalah input tingkat rendah. Misalnya seseorang yang menemukan kembali bau atau bagian lagu tertentu segera mengasosiasikan kenangan akan masa lalunya yang jauh. Sementara penyebab nostalgia kedua adalah input tingkat tinggi. Contohnya, seseorang yang menderita di masa kini—kesepian misalnya—akan menjadi nostaljik tentang kawan lamanya.

“Nostalgia sepertinya punya fungsi reguler dan punya peran dalam upaya-upaya kompenasi,” ujar Routledge. “Dan salah satu cara orang melakukan kompensasi adalah dengan mengenang kembali memori positif.”

Elliot juga menjelaskan bahwa nostalgia akan makin populer dalam masa-masa penuh kecemasan. Dia lantas menyebut fenomena ini sebagai “comfort marketting”—membuat orang mengenang masa lalu yang bahagia dan melupakan permasalahan yang sedang ada di depan mata. Di masa pemulihan insiden 9/11 dan hancurnya pasar perumahan tahun 2007, pemintaan segala macam hiburan yang mengeksploitasi fantasi dan nostalgia naik seketika.

“Ketika orang tengah optimis,” menurut amatan Elliot, “kecenderungannya orang akan melihat ke masa depan dan menantikan apa yang bakal terjadi, bukan sebaliknya mengenang masalalu.”

Para pakar pemasaran mengubah nostalgia menjadi semacam jaminan kualitas, stabilitas dan tradisi lama yang keren. Salah satu perusahaan yang paling piawai melakukan hal ini adalah Coca Cola. Buktinya bisa kamu lihat di iklan Coca Cola keluaran tahun 1953 berikut:

Sumber: Coca-Cola

Beberapa perusahaan minuman ringan berkali-kali mengganti logo dan font sekadar untuk mengikuti tren dan perubahan norma sosial. Tidak dengan Coca Cola. Perusahaan yang didirikan pada 1886 ini tak pernah mengganti logonya. Coca Cola tak tertarik mengikuti apa yang sedang ngetren. Sebaliknya, Coca Cola cerdik memanfaatkan nostalgia—tepatnya, kenangan positif dari masa lalu perusahaan—untuk menunjukkan realibitas dan ketahanan merek soda mereka. Secara tidak langsung, Coca Cola barangkali ingin bilang: “Cola yang kalian minum keika masih bocah masih sama dengan Cola yang kalian teguk sekarang.”

“Otentisitas adalah faktor yang mempengaruhi nostalgia,” kata Elliot. “Merk dan produk terus menggali warisan dan sejarah mereka untuk menyakinkan konsumennya bahwa produk mereka memang layak dibeli: ‘Kami adalah produk yang orang tua kalian dan kakek nenek kalian beli. Dan sekarang, kami juga masih layak dibeli.”

Dengan cara serupa, versi reboot film Hollywood lawas memberikan semacam jaminan kualitas dan stabilitas—jika franchise aslinya masih bertahan sampai sekarang, berarti filmnya memang jempolan. Ini kan semacam investasi yang aman. Pada akhirnya, film remake cuma perlu memodernkan elemen film lamanya. Konsumen akan dengan legowo menerima perubahan ini selama elemen utamanya tak diutak-atik.

Lalu, akankah gelombang nostalgia ini akan berakhir? Mungkinkah pada akhirnya kita akan kebal dengan efek emosional dan psikologis nostalgia? Baik Routledge dan Elliot hanya bisa berspekulasi. Namun, mengingat lanskap media yang bisa berubah kapan saja dan tak bisa diprediksi, hal ini bisa dipahami.

“Ada pepatah di Hollywood yang bilang ‘tak ada yang tahu semuanya,” ujar Elliot. “Yang paling susah dalam pemasaran konsumen adalah mencari tahu apa yang penonton ingin lihat dalam film dan menjualnya pada mereka.”