Suharno duduk di teras ketika saya tiba di rumahnya yang terletak di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Mengenakan kemeja biru yang dipadupadankan dengan celana berbahan halus dan kopiah di kepala, dia menyapa saya dengan ramah.
“Susah cari alamatnya?” begitu tanyanya, membuka obrolan pertemuan kali pertama.
Videos by VICE
Sosok Suharno yang saya jumpai seniman badut yang namanya cukup populer di media sosial. Januari lalu, dia sempat membuka penawaran kepada warganet untuk membeli akun Twitter-nya. Uang hasil penjualan tersebut, kelak, dia ingin pakai sebagai modal usaha.
Di jagat Twitter, Suharno, atau akrab disapa Pak Harno, tergolong rajin memberi update seputar pekerjaannya, baik sebagai badut maupun supir ojek online yang jadi sampingannya. Aktivitas daringnya itulah yang lantas menarik perhatian netizen lokal yang dikenal militan, termasuk untuk urusan seperti ini.
Untuk profesi badut sendiri dilakoni Suharno sejak 1991, tak lama usai kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di perusahaan lamanya di mana dia bekerja sebagai satpam. Tak punya banyak pilihan, sebab faktor kemampuan, Suharno memilih jadi badut.
Yang pertama dia lakukan ialah dengan belajar otodidak tentang semua trik yang diperlukan dalam menunjang aksi-aksinya. Setelah itu, dia baru meminjam properti, semacam baju sampai riasan, kepada kolega terdekat. Kendala bukannya tak ada. Di masa-masa awal kerja, Suharno kerap dilanda demam panggung. “Agak grogi [waktu tampil]. Jadinya saya takut salah omong yang nantinya malah diketawain sama anak-anak,” ujarnya kepada VICE.
Seiring waktu, Suharno mulai nyaman dengan profesinya. Dia rutin diundang acara pesta ulang tahun anak, hingga menghibur para jenderal di Departemen Pertahanan—sekarang jadi Kementerian Pertahanan. Sekali main, dulu, Suharno memasang tarif Rp300 ribu.
“Sekarang, tarifnya bisa Rp500 ribu. Saya juga menyediakan paket [pertunjukan] yang harganya macem-macem, dari Rp800 ribu sampai Rp1,5 juta. Kalau sama paket, ada sulapnya,” papar lelaki berusia 58 tahun ini.
Menjadi seniman badut, lebih-lebih dalam kurun waktu yang lama, sudah pasti, bukan perkara mudah. Namun, bagi Suharno, setidaknya ada dua resep khusus yang selalu dipegang agar dapat bertahan selama hampir tiga dekade. Apalagi di tengah pandemi, profesi penghibur seperti mereka mengalami cobaan besar.
“Selalu bersabar. Entah itu sedang ramai panggilan, atau sepi seperti saat ini [gara-gara pandemi Covid-19],” ucapnya. “Yang lebih penting lagi, melihat anak-anak kecil tertawa karena kelucuan badut itu adalah semangat tersendiri.”
Akan tetapi, tak selamanya badut identik dengan keriaan. Bagi sebagian orang, yang jumlahnya tidak sedikit, badut merupakan sumber ketakutan. Alih-alih memberikan kesan ceria, bahagia, maupun ledak tawa, badut malah menciptakan perasaan ngeri yang seolah terus menghantui. Dalam dunia psikologis, hal ini sering disebut sebagai coulrophobia.
“Penyebabnya sederhana, karena pada saat pertama kali konsep [badut] masuk ke memori mungkin [identik] dengan hal-hal yang menyakitkan atau menakutkan,” terang Kasandra Putranto, psikolog, saat dihubungi VICE. “Jadi, ketika dia recall kata atau bayangan badut, yang muncul adalah memori negatif itu.”
Psikolog lulusan Universitas Indonesia ini menambahkan faktor lain yang menyebabkan ketakutan akan badut ialah kebiasaan pola asuh orang tua yang, menurutnya, “tanpa sadar suka nakut-nakutin.”
“Orang tua biasanya suka bilang, ‘Awas kalau enggak mau makan nanti dibawa om badut, loh’,” ungkapnya. “Anak-anak pun jadi takut. Terlebih, kapasitas cognitive anak saat di bawah dua tahun, kan, memang masih terbatas.”
Pemicu yang kurang lebih sama juga ditemui manakala yang bersangkutan mulai tumbuh dewasa. Kenangan terhadap bentuk, suara, dan wajah ihwal badut tersimpan sedemikian rupa serta mudah dibangkitkan apabila berhadapan dengan subyek yang ditakuti.
“Penyebabnya sama, tapi dengan intensitas yang lebih besar. Ada sesuatu yang terjadi saat pertama kali informasi terkait badut masuk dalam penyimpanan memorinya,” kata Kasadra menandaskan.
Makanya, kali ini VICE menghubungkan dua orang yang bertolak belakang: orang yang sejak kecil sampai dewasa takut dengan badut. Satu lagi seniman yang sudah menekuni seni badut nyaris tiga dekade. Pihak pertama diwakili Nindias Nur Khalika, pekerja lepas asal Yogyakarta. Sementara pihak kedua diwakili Maulana, seniman badut akrobatik sekaligus pimpinan Dazan Clown Studio Bekasi.
Masing-masing pihak berkesempatan untuk menanyakan soal apa saja, dari penyebab ketakutan sampai suka duka jadi seniman badut, sekalipun lewat perantara aplikasi pesan. Dengan begini, mereka yang selama ini berada dalam kutub berbeda itu, semoga, bisa saling memahami satu sama lain.
Nindias: Pernah enggak menerima komentar yang enggak enak seperti ‘badutnya jelek’ atau ‘ badutnya nyeremin’ selama menekuni profesi sebagai seniman badut?
Maulana: Untuk dulu-dulu komentar itu ada karena profesi badut, saat itu, enggak kenal make up. Kebanyakan pakai topeng dengan seragam yang [berukuran] besar. Kalau sekarang, kondisinya agak beda. Badut menggunakan format riasan dan bajunya pun dibikin pas dengan tubuh seniman. Ketika ada komentar yang enggak enak, itu lebih karena aksi kami waktu diundang. Ceritanya, suatu waktu, saya pernah diundang di acara pesta ulang tahun anak. Sebagaimana kerjaan badut pada umumnya, saya sempat mengusili beberapa anak di sana. Tapi, oleh ibunya, saya dimarahin. Dia menganggap apa yang saya lakukan kurang pantas. Saya kasih penjelasan: ‘Bu, kerjaan om badut memang seperti ini. Kalau enggak gini, anak-anak enggak bisa tertawa.’ Akhirnya si ibu bisa menerima setelah saya coba kasih hadiah [tertawa].
Maulana: Lalu, apa yang membuat [Nindias] takut badut?
Nindias: Yang membuatku takut itu make up mereka. Riasan mereka, kan, sering menggabungkan warna-warna yang kontras. Terlebih, riasan ‘senyum lebar’ yang ada di badut-badut itu dibuat lebih lebar ketimbang bibir asli. Itu serem.
Pengalaman takutku sama badut itu muncul sejak kecil, dan sekarang masih ada meski enggak yang takut banget. Aku lahir di Sumatera, lebih tepatnya Bengkulu. Menjelang [masuk] SD, aku pindah ke Jawa. Di kota inilah aku pertama kali lihat badut, waktu itu di swalayan. Aku cukup kaget karena di Sumatera aku enggak menemukan hal-hal kayak gitu. Aku berusaha menyembunyikan ketakutanku [kepada badut] dengan cara menghindar.
Nindias: Bagaimana cara menentukan ekspresi dalam riasan setiap badut?
Maulana: Pertama-tama kami mengubah mimik wajah terlebih dahulu. Setelah itu, baru kami memoles mata sampai mulut. Setiap riasan ada patokan bakunya. Kalau pengen wajah ceria, misalnya, berarti harus pakai riasan smile.
Maulana: Apakah kamu masih merasa takut jika badutnya lucu?
Nindias: Kemungkinan enggak, walaupun tetep ada perasaan yang gimana gitu. Pada dasarnya, ketakutanku akan badut, selain disebabkan faktor make up, juga karena mereka [seniman badut] enggak melakukan apa-apa waktu aku terlihat takut. Mereka seperti diam aja gitu.
Nindias: Apakah bapak menemukan penonton yang takut ketika tampil?
Maulana: Itu pasti ada, terutama di kelompok anak-anak balita. Ketakutan mereka itu biasanya juga karena orang tua yang menjadikan badut sebagai sosok menyeramkan. Supaya anak-anak nurut makan, misalnya, orang tua sering bawa-bawa badut. ‘Kalau enggak makan, nanti didatengin om badut, loh,’ gitu biasanya. Nah, ketika ada yang takut saat acara, kami sering menghibur mereka dengan bilang, ‘Om badut bawa hadiah, nih. Jadi, jangan takut, ya. Yang perlu ditakutin itu Tuhan atau orang tua.’ Kalau sudah begitu, biasanya, yang takut perlahan jadi enggak takut.
Maulana: Kamu mau enggak jadi badut? Karena, pada kenyataannya, jadi badut itu enggak mudah.
Nindias: [terdiam cukup lama] Ragu juga, ya [tertawa].
Maulana: Kalau penghasilannya seniman badut lebih tinggi dari pegawai, masih ragu juga?
Nindias: [tertawa] Sebetulnya, seperti yang aku katakan tadi, ragu bukan karena penghasilan tapi karena memori ketakutan terhadap badut yang muncul sejak [usia] kecil.
Maulana: Tapi, andaikata nanti berkeluarga, punya anak, dan anak ini pengin ada badut di pesta ulang tahunnya, apa yang bakal dilakukan? Apakah bakal mewujudkan keinginan si anak?
Nindias: Kalau itu iyalah. Karena aku sendiri percaya bentuk ketakutan juga akan berubah seiring berjalannya waktu.
Maulana: Badut itu sebenarnya harus gimana supaya enggak bikin takut orang atau anak-anak?
Nindias: Menurutku, kuncinya ada di persuasi, dalam artian gimana caranya seniman badut membikin anak-anak di depannya jadi enggak takut.
Nindias: Apa cara jitu guna menghilangkan ketakutan anak-anak ketika melihat badut?
Maulana: Cara terjitunya adalah dengan hadiah. Biasanya, hadiah [dari badut] bisa mengurangi ketakutan anak-anak. Selain itu, sempatkan ngobrol dengan mereka sebelum pementasan. Kami diharuskan datang satu jam sebelum acara. Nah, satu jam itu kami pakai untuk ngobrol sama anak yang takut badut. Kami jelaskan bahwa kami itu tujuannya menghibur, bukan menakut-nakuti.
Nindias: Apa makna pekerjaan ini bagi seniman badut? Apakah hanya sekadar profesi, atau ada hal lain sehingga tetap bertahan bekerja di bidang ini?
Maulana: Selain [perkara] materi dan profesi, bagi saya, dan juga temen-temen satu profesi lainnya, pekerjaan sebagai badut itu jadi ajang mengumpulkan amal ibadah karena kami bisa menghibur orang. Ketika menghibur orang, kami dapat pahala kebaikan. Dan, kami itu senang sekali saat melihat anak-anak yang kami hibur ikut senang. Ini yang mungkin menjadikan profesi badut, untuk kami, lebih dari pekerjaan.
Nindias: Suka dan duka jadi badut itu apa, sih?
Maulana: Yang paling kerasa itu kayak sepi job seperti sekarang [tertawa]. Atau mungkin kejadian yang muncul dalam sehari-hari seperti ketinggalan properti [pementasan], dibayarnya lama, sampai kena tipu—pesanan fiktif. Kalau sukanya sendiri itu banyak. Kami bisa menghibur anak-anak, pergi ke luar kota, dan berkesempatan berkolaborasi dengan pihak lain.
Maulana: Ada badut yang disukai enggak? Meski secara umum takut sama badut.
Nindias: Enggak ada [tertawa].
Maulana: Apa yang biasanya dilakukan ketika ketakutan akan badut itu muncul?
Nindias: Dulu, waktu kecil, aku langsung menghindar. Atau enggak mau ikutan foto kalau ada sesi foto antara badut sama temen-temen. Yang jelas, aku diem aja. Kalau sekarang, selama ada temen di samping, kayaknya juga enggak bakal jadi masalah. Karena, seperti aku bilang tadi, perlahan takutnya beda antara aku kecil dan sekarang. Sejauh ini, aku masih yang gimana gitu ketika lihat badut. Tapi, ya udah, aku berusaha biasa aja.
Maulana: Kalau melihat badut tanpa make up, takut juga?
Nindias: Aku pikir enggak, ya. Yang bikin takut itu make up yang dipakai badut. Karena, bagiku, badut dengan make up itu memperlihatkan “penampakan lain” [tertawa]. Kalau hanya badut pake red nose, topi, dan baju biasa, aku rasa aku enggak setakut saat melihat badut dengan make up.
Nindias: Omong-omong, apakah menurut Anda hiburan badut masih relevan di zaman sekarang?
Maulana: Sejauh ini masih banyak peminat. Saya percaya bahwa badut sampai kapanpun akan selalu diterima karena pekerjaannya unik. Terlebih, dengan berjalannya waktu, budget serta properti badut terus naik. Artinya, badut bisa jadi lebih modern, variatif, serta lebih menghibur.
Nindias: Acara yang didatangi badut enggak cuma pesta ulang tahun anak. Ada juga acara yang melibatkan orang dewasa. Gimana, sih, pandangan orang dewasa terhadap badut?
Maulana: Saya melihatnya, ketika mereka mengundang kami, mungkin saja lagi jenuh dengan pekerjaannya dan butuh hiburan. Kadang orang-orang dewasa ini, entah itu pekerja perusahaan maupun orang tua, lebih pengen tahu cara badut bekerja. Bahkan mereka bisa juga lebih seneng ketimbang anak-anak kecil [tertawa].
Nindias: Gimana ceritanya pak bisa sampai memutuskan jadi badut?
Maulana: Ceritanya dimulai dari awal 1990-an. Ketika itu, saya melihat kakak saya sedang latihan badut akrobatik. Saya tinggal di Jatinegara dan di sana itu ada klub namanya Jakarta Magic Centre [JMC]. Dari situ, saya seneng dan kemudian pengen belajar gimana jadi badut. Dari Jatinegara, saya lalu ‘dititipkan’ sama pelatih dari Cina di Sentul. Di sana, saya dididik secara disiplin dan keras, mempelajari banyak teknik badut seperti akrobatik. Setelah ‘lulus,’ saya akhirnya bikin sanggar badut sendiri, di Bekasi, yang diberi nama Family Clown. Sanggar ini bertahan sampai sekarang walaupun sudah ganti nama jadi Dazan Clown Studio—sesuai nama anak saya.
Nindias: Kira-kira akan sampai kapan pak jadi badut?
Maulana: Bagi saya, profesi sebagai seniman badut akan saya lakukan sampai akhir hayat. Karena, yang pertama, saya senang menghibur orang. Membikin anak-anak kecil tertawa itu adalah hal yang berharga. Dan, yang kedua, pekerjaan sebagai badut memberikan saya banyak tantangan. Salah satu contoh dari tantangan itu adalah bagaimana caranya mengubah suasana menjadi riang gembira.
Maulana: Kalau diminta duduk berdua doang sama badut, dan kemudian ngobrol, masih mau?
Nindias: Jika emang diharuskan dan enggak ada pilihan lain, apa boleh buat, walaupun sebetulnya aku masih enggan [tertawa].
Obrolan Nindias dan Maulana telah disunting agar lebih nyaman dibaca.
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram