Bukan Rontok Biasa: Begini Rasanya Mengidap Gangguan Mencabuti Rambut

tricotilomania, ce e tricotilomania, cand iti smulgi parul de pe tine

Dulu kala, aku tidak bisa keluar rumah tanpa topi, syal dan ikat kepala. Dupatta dan ghoonghat juga terlihat sangat menarik untukku yang masih 24 tahun. Ada yang perlu kusembunyikan. Tak satu pun orang boleh tahu rahasia terdalamku.

Aksesori-aksesori ini adalah penyelamatku dari rasa malu. Aku ingin menutupi pitak besar yang kuciptakan sendiri. Helai demi helai rambut aku cabut sekencang mungkin sampai jari-jemari sakit, kepala gatal dan pipi memerah. Aku merasa bersalah, tapi ada kepuasan tersendiri setelah melakukannya.

Videos by VICE

Trikotilomania termasuk ke dalam kelas gangguan perilaku berulang yang berfokus pada tubuh (BFRB). Orang yang menderita kondisi ini biasanya merasakan dorongan untuk mencabut rambut, dan mereka kesulitan menahan perilaku tersebut.

Aku mulai merasakan tanda-tanda trikotilomania di awal usia 20-an setelah lulus kuliah. Sebagai lulusan pemasaran, aku bisa hidup enak dan bekerja di sebuah perusahaan multinasional Amerika di India. Segala kenyamanan itu sayangnya tidak menghentikanku dari mengembangkan gangguan kecemasan. Aku akan menarik rambut setiap kali merasa gelisah. Saking seringnya mencabuti rambut, kepalaku sampai pitak di bagian belakang telinga. Aku merahasiakannya, selalu memasang wajah senyum dan gonta-ganti gaya rambut.

Trikotilomania menanamkan rasa malu yang teramat dalam sehingga kamu kesulitan menceritakannya kepada orang lain, khususnya teman-temanmu yang “normal”. 

Padahal, studi menunjukkan empat persen populasi global mengidap gangguan tersebut. Itu berarti ada lebih dari 300 juta penderita yang mencabuti rambut, bulu mata, alis atau bahkan bulu kemaluannya. Gangguan BFRB jarang diteliti sehingga tidak ada angka pasti. Para pengidap BFRB suka tidak sadar ketika menarik atau mencabuti bagian tubuhnya, dan baru menyadari beberapa saat kemudian.

Gangguan ini sering dikaitkan dengan gangguan obsesif kompulsif (OCD), meski sebenarnya umum bagi orang-orang merasakan dorongan tanpa pikiran obsesif. BFRB sudah dikenal sejak 2.500 tahun silam. Dalam Epidemics Book 1, dokter Yunani kuno Hippokrates memberi tahu para dokter muda: “Kita perlu memperhatikan pasien mencabut rambut, mengelupas kulit atau menangis.”

Kalau dari pengalamanku sendiri, kebiasaan mencabuti rambut membuatku minder, malu, merasa bersalah dan depresi. Selama bertahun-tahun, aku menghindari aktivitas luar ruangan seperti berjalan kaki, berenang tanpa penutup kepala. Aku bahkan tidak berani pergi ke salon karena tidak mau dipandang aneh sama tukang potong rambut.

Beberapa kali aku konsultasi ke terapis dan psikiater. Kondisiku akan membaik selama beberapa bulan, dan kadang beberapa tahun, setelah minum antidepresan seperti Zoloft atau Prozac. Aku mengunci erat-erat rahasia memalukan ini ke dalam benakku. Aku hanya ingin melupakannya. Aku ogah membicarakannya dengan orang lain. Lebih baik berpura-pura itu tidak pernah terjadi.

Meskipun demikian, aku melatih diri untuk menghindari pemicu tertentu seperti pertengkaran dengan teman dekat, kekecewaan orang tua, dan ketombe saat musim gugur yang bikin aku kepengin garuk kepala.

Akan tetapi, keadaannya lagi-lagi berubah November tahun lalu.

Aku tinggal di Bengaluru saat itu. Bengaluru adalah salah satu kota teramah di India. Suatu hari, aku janjian dengan teman dan dia datang telat. Ketika menunggu kedatangannya, aku mulai menyisir rambut dan menariknya dengan kasar sampai rontok. Sensasi kesemutan dan kepuasan yang kurasakan memperingatkanku bahwa aku kembali pada kebiasaan buruk ini. Dan benar saja, kepalaku mulai botak lagi dalam waktu sebulan. Rambutku terlihat lepek.

 Aku lalu menemui terapis yang tak jauh dari rumah, dan mulai rajin pergi terapi setelah itu. Orangnya ceria, tapi suka memberi perintah. Dia menyarankan agar aku melakukan sejumlah latihan untuk membalikkan kebiasaan buruk. Terapis kayaknya sadar kalau aku pasien bandel. Aku suka bohong, mengabaikan kekhawatirannya dan ogah-ogahan menyelesaikan latihan.

Dia pasti menyadari tanda-tandanya. Aku rajin terapi, tapi buku catatanku masih bersih dan rapi. Hanya ada beberapa halaman yang penuh garis putus-putus. Aku menggambarnya dengan tangan kiri, padahal aku biasa menulis pakai tangan kanan.

Terapis akhirnya menganjurkan untuk melakukan sesuatu yang bikin aku gemetaran saat menulis ini. “Saya mau kamu memperhatikan baik-baik setiap mencabut rambut. Kamu harus memasukkan rambut yang rontok ke dalam amplop, tulis tanggal dan waktunya, dan ceritakan apa yang ada di pikiranmu saat mencabut rambut.”

Aku pulang dengan perasaan ngeri. Apakah aku sudah siap melihat “buktinya”? Sudah siapkah aku berhadapan dengan perbuatanku sendiri — sesuatu yang telah kulakukan bertahun-tahun lamanya?

Sepertinya aku tak sanggup mengisi satu amplop. Yang kuingat setelah mencabut rambut hanyalah memandang gumpalan rambut berdebu dengan air mata berlinang.

20 menit kemudian, aku mengirim pesan kepada seorang penata rambut di Instagram untuk mencukur rambutku. Aku bilang aku ingin “memulai hidup baru”. Setibanya di rumahku, lelaki itu mengajakku ngobrol dengan riang. Dia menyisir rambutku, dan memastikan untuk terakhir kalinya bahwa aku tidak akan menyesali keputusan ini. “Lakukan saja,” pintaku dengan mantap, tapi jari tidak bisa diam.

Setengah jam kemudian, aku mengelus kepala yang plontos sambil mematut diri di depan cermin. Yang hilang cuma rambut, tapi sebagian dari diriku merasa seperti ditinggal teman dekat untuk selama-lamanya.

“Teman-temanmu nanti mengira kamu habis kemoterapi,” katanya dengan canggung.

Tertawa mendengar lelucon tidak sensitifnya, aku membatalkan janji dengan terapis hari itu.

Aku sadar penuh mencukur rambut takkan mampu “menyembuhkan” penyakitku. Sama seperti gangguan BFRB lainnya, apa yang berhasil dilakukan seorang pasien belum tentu efektif untuk pasien lain. Aku hanya bisa tetap waspada dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak terseret ke pola yang sama.