Selamat datang kembali di kolom Shit Indonesians Say. VICE berusaha menelisik kebiasaan verbal orang-orang di Indonesia yang tumbuh subur, diinternalisasi, dimaklumi, sampai dianggap wajar dalam pergaulan sehari-hari. Padahal kata atau istilah itu bermasalah banget. Kali ini kami membahas kekeliruan fatal di balik istilah “The Power of Emak-Emak” yang viral tiap kali ada sosok perempuan viral melakukan tindakan absurd.
“Ciiiaaaat…” perempuan bekerudung panjang itu memegang kedua stang motornya. Ia berusaha menabrakkan motor matic miliknya ke tubuh polisi lalu lintas yang baru saja memberinya kuitansi tilang. Sadar hantaman motornya tak berarti apa-apa bagi polisi tersebut, si perempuan lantas bereaksi menggigit punggung tangan petugas. Reaksi yang mengejutkan bagi warganet Indonesia dalam berbagai kasus tilang-menilang.
Videos by VICE
Aksi tersebut dapat dilihat dalam sebuah video yang diunggah di Facebook oleh akun Ferdinansyah, 22 februari lalu. Kejadiannya di Kudus, Jawa Tengah, bermula ketika perempuan bernama Anik Tri Kurniawati, mengendarai motor tanpa mengenakan helm dan tidak menyalakan lampu. Sebuah peraturan lazim yang mestinya dipatuhi pengendara motor manapun di Indonesia. Kemudian, polisi lalu lintas bernama Briptu Erlangga Hananda Seto memintanya menepi untuk pemeriksaan surat-surat. Ternyata, si ibu tidak punya SIM.
Tidak terima hendak ditilang, akhirnya terjadilah rangkaian insiden yang membuat videonya viral. Briptu Seto pun membawa kasus tersebut ke ranah hukum memakai dalil penyerangan polisi saat sedang menjalankan tugas. Video tersebut dapat reaksi luar biasa disebarkan sebanyak lebih dari 253 ribu kali terhitung hingga awal pekan ini. Komentar-komentar dalam unggahan tersebut hampir serupa: mengutuk perlakuan pengendara motor kepada polisi.
Sebenarnya kita setuju perilaku pengendara motor tersebut tidak bisa dibenarkan. Sudah melanggar aturan lalu lintas, eh ngotot enggak mau terima konsekuensinya dan malah sesumbar ingin menyumpal polisi lalu lintas dengan uang satu juta. Namun, yang sulit saya terima dengan akal sehat adalah kenyataan kalau perilaku negatif perempuan berumur—yang erat kaitannya dengan arogansi, ingin menang sendiri, tidak mau mengalah, dan selalu ingin diprioritaskan dan kebetulan dilakukan perempuan—mendadak dilabeli: “The Power of Emak-Emak.”
Media massa online pun seragam mengeluarkan headline merujuk pada istilah yang menggelitik tersebut: “The Power of Emak-Emak’: Tak Terima Ditilang, Pengendara Ini Nekat Gigit Tangan Polisi” atau “Ibu Ini Tunjukkan The Power of Emak-Emak dengan Mengigit Polisi Saat Ditiang.”
Istilah “the power of emak-emak” atau kadang “the power of ibu-ibu” senantiasa diasosiasikan dengan stigma negatif perempuan. Banyak fenomena yang bisa menggambarkan label pemberian masyarakat yang seakan-akan menggambarkan jika perempuan punya kekuatan ya pasti “disalahgunakan” atau dipakai tapi “enggak becus”. Misalnya, ungkapan “Ibu-ibu naik motor matic sen ke kanan dan belok ke kiri”, atau soal “betapa mengerikannya perebutan kursi di gerbong KRL khusus perempuan.”
Sejak awal meme dan guyonan ini muncul merespons asumsi kalau perempuan tidak pandai mengendarai motor, saya jadi membayangkan kenapa guyonan yang sama tidak diterima pengendara lelaki yang blo’on di tengah jalan. Saya pikir enggak ada label atau meme apapun bagi mas-mas enggak pakai helm, naik motor dua tak, knalpot racing, jalan zig-zag ngepot kanan-kiri, dengan gaya bungkuk ala pebalap MotoGP? Jangankan salah ngasih lampu sen, punya lampu aja udah syukur!
Coba tanya, lebih kampret mana? Ya sama! Jawabannya, ada yang kasih cap atau label “The power of abang-abang warlok (warga lokal)?” Enggak tuh!
Tanpa bermaksud menormalisasi perilaku ibu berkerudung biru di video viral tersebut, nyatanya persoalan “murka-murkaan” saat ditilang bukan milik perempuan atau emak-emak saja kok. Contohnya, pengendara motor yang ditilan kemudian menyerang dan memukul memukul polisi bahkan mengancam akan membunuh pun ada. Kebetulan pelakunya laki-laki, hanya kalah “lucu” saja dibanding si ibu dari Kudus.
Meskipun sekarang sudah banyak perempuan yang naik kendaraan bermotor sendiri. Namun aku sih tidak heran bahwa kemampuan perempuan di jalanan secara umum dianggap kurang daripada laku-laki. Contohnya berapa banyak pengendara ojek online di Jakarta yang kerap dibatalkan pesanannya hanya karena pengemudinya perempuan? Entah karena rasa kasihan, takut tidak bisa mengendarai motor, atau sesederhana karena Ia perempuan. anehnya, perempuan-perempuan hebat perkasa yang perilakunya dianggap “normal” atau “tidak lucu dan aneh”, tidak pernah tuh diberi cap “the power of emak-emak”. Padahal, apa yang mereka lakukan itu powerful!
Aku heran, dan coba cari pencerahan. Yusar Mujadji, sosiolog dari Universitas Padjadjaran pun mengkritisi hal serupa. Menurutnya, istilah “the power of emak-emak” dilihat dari konteksnya yang “menggelitik” banyak pihak. Padahal, menurutnya banyak emak-emak yang bekerja, membawa barang banyak, sambil hamil tua, dan menggendong anak tapi tidak pernah diakui sebagai “power” yang sesungguhnya emak-emak punya. Atau seperti senator Australia, Larissa Waters yang bicara di parlemen sambil tetap menyusui anaknya.
“Power yang [nilainya] positif dari ‘emak-emak’ dianggap sebagai nature-nya perempuan,” kata Yusar kepada VICE. “Power tersebut tidak dianggap ‘aneh’ dan luar biasa, walaupun sebetulnya luar biasa powernya, dan saya kira tidak ada yang menyangsikan kekuatan positif dari emak-emak tersebut,”
Harus diakui tentunya “power” perempuan yang demikian tidak dianggap “lucu”, “menggelitik”, atau “bisa viral”. Sehingga, menyoriti kekuatan para ibu yang biasa mereka tampilkan enggak bakal laku menarik jumlah views video di youtube, tombol share di facebook, atau likes di instagram.
Meneruskan pemakaian guyonan ini sama saja memaksa generasi meme diajak berpikir tidak adil sejak dalam pikiran. Mungkin dampaknya halus, tapi berulang kali mengasosiasikan hal negatif kepada “emak-emak”, dengan niat menghibur sekalipun, sama saja menganggap seksisme sebagai hal yang lucu.