Travel

Penyebab Kapal dan Feri di Negara Kita Jadi Transportasi Air Paling Mematikan Sedunia

Dalam waktu selang kurang dari sebulan, dua kecelakaan transportasi air terjadi di perairan Indonesia. Kapal feri KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Sumatera Utara tenggelam pada 18 Juni menyebabkan hilangnya 192 orang akibat kapal mengangkut penumpang lima kali lebih banyak dari kapasitas maksimalnya, 40 orang. Selanjutnya, pada 3 Juli, KM Lestari Maju mengalami kecelakaan di perairan Selayar, Sulawesi Selatan yang diduga mengalami kebocoran lambung kapal dan menewaskan empat orang.

Dalam data yang diluncirkan oleh Baird Maritime Passenger Vessel Accident Database, di Indonesia ada 645 kecelakaan kapal penumpang yang menelan lebih dari 33 ribu korban jiwa sejak 2000. Kacaunya, angka kecelakaan laut di Indonesia ini adalah yang terbesar dari negara manapun di bumi diikuti oleh Filipina, Bangladesh, dan Cina.

Videos by VICE

Rekor buruk inilah yang membuat kecelakaan transportasi air Asia menjadi yang paling sering terjadi sekitar 56 persennya dari skala kecelakaan global. Masih menurut data yang sama, sebab paling dominan kecelakaan kapal yang fatal di Indonesia adalah karena muatan yang melebihi kapasitas.

Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, menggantungkan hidup pada transportasi laut dan udara adalah keniscayaan. Sialnya, meski transportasi udara di Indonesia tak bisa dibilang sepenuhnya “baik”, namun secara umum rekornya dalam hal kecelakaan masih jauh lebih baik daripada angkutan air—mencakup kapal penyeberangan sungai dan danau.

Hampir seluruh kecelakaan pesawat komersil di seluruh dunia selalu diinvestigasi secara serius. Hasilnya tak jarang mengubah sistem dan standar keamanan aviasi itu sendiri. Tak heran jika sistem transportasi udara adalah sistem transportasi teraman di dunia. Pertanyaannya, ada apa dengan transportasi air? Apakah keamanan transportasi hanya bagi mereka yang bisa membeli tiket pesawat dan tinggal di kota besar yang tak butuh transportasi air?


Tonton dokumenter VICE mengenai sukarelawan yang berpatroli menghentikan orang mencoba bunuh diri dengan cara loncat ke sungai:

https://www.youtube.com/watch?v=PHVYJx6ybvA&t=5s

Arzia Wargadiredja dari VICE berbincang-bindang bersama Pakar Transportasi dari Universitas Gadjah Mada, Danang Parikesit untuk mendapatkan penjelasan mengapa angkutan air di negara ini sering mengalami insiden. Simak obrolan kami berikut ini:

VICE Indonesia: Kenapa transportasi perairan tidak bisa diregulasi seketat industri penerbangan?
Danang Parikesit: Industri penerbangan mengacu pada regulasi internasional biarpun penerbangan itu melayani rute domestik. Regulasi internasionalnya cukup baik, misalnya FAA dari Amerika Serikat. Secara regulasi teknis yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan sudah standardized internasional, dan compliance-nya sangat bagus. Selain itu, pemain di industri penerbangan tidak terlalu banyak, sehingga bisa dikelola relatif dengan baik. Pebisnisnya memiliki kapasitas yang tidak terlalu banyak berbeda antar-pemain. Kalau kita lihat kan orang-orang yang bermain di industri penerbangan memang padat modal.

Keluarga korban KM Sinar Bangun yang tenggelam menangis sembari menantikan pencarian tim SAR. Foto oleh Albert Damanik/Reuters

Lantas apa yang membuat manajerial transportasi air menjadi rumit?
Strukturnya lebih kompleks di laut, baik kelembagaannya, karakteristik industrinya, kepatuhan terhadap industrinya, itu tidak seketat dan seteratur udara. Kalau kapal yang berangkat ke perairan internasional, ya memang tunduk pada International Maritime Organization (IMO). Nah untuk nasional, karena kita mengadopsi asas cabotage (larangan kapal asing melakukan perdagangan tanpa izin) Indonesia melarang kapal berbendera asing untuk melintas ke Indonesia.

Artinya kita kita mematuhi regulasi nasional. Jadi kepatuhan standar kapal, prosedur operasi, dan SDM tidak seketat pelayaran internasional. Lalu, soal industri transportasi laut itu sendiri. Pemilik kapal beragam mulai dari kapal yang sifatnya pelayaran rakyat (modal kecil), sampai pelayaran industri (modal besar). Mulai yang beroperasi di laut sampai yang beroperasi di danau.

Jadi level dari komplikasi pengelolaan laut juga luar biasa besar. Sehingga pemerintah perlu membuat kompromi tertentu, karena kalau diketatkan peraturannya, industri pelayaran rakyat bisa mati semua. Badan yang menaungi transportasi air pun berbeda. Misalnya transportasi laut, pembinaan teknis oleh Perhubungan Laut. Kemudian sungai danau, sungai, dan penyebrangan pembinaan teknisnya oleh Perhubungan Darat.

Apakah ini berarti jika industri transportasi air aman, bisnis ini tak boleh lagi dijalankan oleh pengusaha kecil yang selama ini dominan?
Harusnya penguatan kapasitas regulatornya, misalnya Syahbandar dan otoritas pelabuhan. Karena pada akhirnya mereka sebagai regulator yang punya otoritas untuk memberangkatkan kapal atau tidak. Kalau kita ketat dalam persoalan safety, industri pasti akan melakukan judgement apakah dia kemudian akan meningkatkan diri menjadi operator yang meletakkan keselamatan sebagai basisnya, atau mereka yang tidak mampu karena usaha kecil bisa melakukan merger.

Hal apa saja yang menjadi tanggung jawab regulator?
Misalnya jumlah muatan yang semestinya maksimal 50 orang, kemudian yang naik lebih dari itu mestinya kan regulator melarang kapal untuk berangkat. Yang terjadi, dengan kewenangan seperti itu digunakan untuk “manfaat” diri sendiri.

Warga menanti di pinggir danau ketika tim SAR memetakan lokasi tenggelamnya KM Sinar Bangun. Foto oleh Beawiharta/Reuters

Kecelakaan di industri penerbangan pasti diinvestigasi dan disorot media besar-besaran. Setelahnya ada perubahan sistem dalam industri aviasi. Bagaimana dengan investigasi kecelakaan transportasi air di Indonesia?
Di Indonesia, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tugasnya melakukan investigasi tidak untuk kepentingan penyelidikan melainkan keperluan evaluasi dan perbaikan sistem ke depan. Sekitar 2-3 tahun terakhir, sangat sedikit rekomendasi KNKT yang diadopsi oleh regulator baik di Kementerian Perhubungan maupun oleh Pemerintah Daerah, yang diadopsi baru sekitar 25 persen yang ujung-ujungnya tidak terlaksana. Beberapa hari lalu saya bertanya [pada KNKT] dari seluruh rekomendasi yang dibuat KNKT hanya 10 persen yang dilaksanakan.

Apakah ini berarti di Indonesia, sistem transportasi air memang yang paling berbahaya dibanding moda lain?
Mungkin bukan dalam konteks bahaya, tapi ini lebih kepada konteks kepatuhan terhadap aturan. Kalau kita bicara regulator, ini soal bagaimana aturan ditegakkan. Di sektor udara (rekomendasi investigasi kecelakaan) dilaksanakan, tapi di sektor air pelaksanaan rekomendasi sangat sedikit. Yang paling sederhana menurut saya, rekomendasi teknis dari KNKT itu harus betul-betul dilaksanakan.