Seseorang menarik perhatianmu di aplikasi kencan. Biodatanya enggak klise dan garing. Foto-fotonya juga menampilkan diri mereka dengan menarik. Jempol kamu pun menggeser ke kanan, dalam hati berharap akan match atau dia menyukai profilmu juga. Doamu terkabul! Kamu segera membuka percakapan, dan disambut dengan baik.
Sepekan dua pekan berlalu, obrolan kalian berdua makin intens. Kalian bahkan sampai tahap tukeran nomor dan rajin teleponan hampir setiap hari. Rasa suka yang bersemi perlahan-lahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kuat. Kamu semakin yakin untuk mengajaknya bertemu, yang langsung disanggupi olehnya. Setelah mengatur waktu, kamu mempersiapkan diri agar enggak gugup ketika bertatapan muka nanti. Kamu juga selalu membayangkan mereka orang seperti apa. “Pasti lebih seru kalau ngobrol langsung,” batinmu.
Videos by VICE
Bertemu gebetan adalah momen yang paling dinanti-nantikan. Bagi yang belum pernah bertemu langsung, kencan pertama sering menjadi penentu kencan-kencan berikutnya. Apakah doi sesuai bayanganmu? Apakah waktu yang kalian habiskan berdua terasa menyenangkan, atau justru sebaliknya? Jika kencannya lancar-lancar saja, ada harapan bagi kalian untuk melanjutkan hubungan. Tapi bagaimana ceritanya kalau gagal total? Atau, yang lebih buruk, malah bikin trauma?
Seiring dengan meningkatnya penggunaan aplikasi kencan, semakin instan pula proses perkenalan dua insan. Kamu tak perlu harus bertatapan muka dulu untuk memulai suatu hubungan dengan seseorang. Cukup bertukar foto, ditambah video call-an, kamu merasa seperti sudah kenal mereka luar dalam. Namun, ketika akhirnya bertemu langsung, terkadang apa yang kita saksikan dengan mata kepala sendiri tak seindah kesan yang diperoleh secara virtual. Pembawaan doi mungkin gak sebijak yang ditampilkan saat ngobrol lewat aplikasi. Bisa juga dia aslinya punya pandangan politik yang bertentangan, dan kalian berdebat sepanjang kencan. Lebih parah lagi, dia bertingkah bak raja saat makan di restoran dan enggak sopan dengan pramusaji. Amit-amit kalau dia ternyata penipu.
Apa pun kekurangan yang kamu temukan dari gebetan bisa membuatmu ilfil. Kamu jadi ogah bertemu mereka lagi. Hilangnya perasaan bahkan bisa terjadi setelah kencan kedua, ketiga atau bahkan setelah kalian berpacaran dan mengenal baik buruknya pasangan.
VICE meminta empat orang anak muda dari berbagai daerah menceritakan pengalaman terburuk mereka saat berkencan. Salah satu kisah yang kami masukkan dalam artikel ini mungkin enggak bikin ilfil, tapi tetap kami pilih karena penuh komedi dan melibatkan mantan yang tak diundang.
Dari Semangkuk Mi Ayam Berubah jadi Obsesi yang Seram
Sekitar akhir 2018, saya kenalan dengan seorang mahasiswa kedokteran yang satu tingkat di atasku. Dia benar-benar tipe anak kedokteran yang ganteng, wangi dan sopan. Kami awalnya ngobrol biasa, lalu lanjut follow akun Instagram. Setelah ngobrol-ngobrol, kami pun janjian makan bareng.
Waktu itu, mesin pembayaran di tempat kami makan kebetulan sedang rusak, jadi dia enggak bisa bayar karena cuma pegang kartu debit. Saya inisiatif bayar duluan. Nah pas mau makan, saya refleks mengambilkan sumpit dan sendok buat dia, juga memasukkan sedotan ke dalam minumannya. Siapa sangka tindakan ini yang membuatnya jatuh hati. Saya bahkan enggak sadar melakukannya, dan baru tahu setelah dia cerita.
Dia mulai intens nge-chat sejak itu, dan bisa nge-spam sampai ratusan chat kalau enggak dibalas. Yang paling bikin enggak nyaman yaitu saat dia kirim cheese cake—whole cake lengkap dengan lilin—dan kado dompet ke kosan di hari ulang tahunku. Dia sering kirim uang, makanan dan bunga, padahal saya enggak minta. Saya kencan buat senang-senang saja dan enggak pernah mementingkan uang gebetan.
Ternyata dia sudah punya pacar, tapi ngotot maunya sama saya karena katanya ceweknya matre. Dia bahkan sampai memohon-mohon di depan kosan biar saya mau ketemuan lagi. Saya terpaksa menuruti kemauannya karena malu. Dia juga bilang sengaja mendekati cewek lain untuk ngetes kepekaan saya. Tapi giliran ditolak, dia menangis di depan orang banyak dan memohon agar dikasih kesempatan.
Dia juga mengambil foto-fotoku dari medsos karena saya enggak pernah kirim foto. Setelah saya memblokir nomornya, dia rutin tanya kabar lewat email dua kali seminggu. Dia bahkan menelepon lewat Skype, entah dapat ID saya dari mana. Dia baru berhenti menghubungi saya November 2021, setelah tahu kalau saya sudah punya pacar. — Beby, 23 tahun, Yogyakarta
Teman Kencan Tukang Spoiler Film, Sampai Ditegur Petugas Bioskop
Saya sempat match sama seorang perempuan di aplikasi kencan, dan kami kenalan secara virtual sekitar dua bulanan. Dari obrolan, dia kelihatan asyik. Fisiknya pun oke [kalau dilihat dari foto]. Karena merasa nyambung, kami akhirnya merencanakan untuk ketemuan.
Saya benar-benar terkejut saat kami bertemu, karena aslinya berbeda dari yang ada di foto. Oke lah, penampilan enggak masalah. Dari awal kenalan juga yang dicari obrolan biar nyaman. Tapi ternyata, kami malah enggak ada obrolan sama sekali sepanjang jalan, tak seperti saat kami ngobrol secara virtual. Dia bahkan terkesan kaku.
Saya jadi ilfil ketika kami nonton di bioskop. Film pilihan kami cukup populer, tapi dia malah mengeluarkan hape dan fokus dengan gadget-nya. Dia cuma nonton bagian-bagian tertentu saat penonton ramai, itu pun buat merekam adegannya. Ketika saya tegur kenapa nge-spoilerin film, dia bilang: “Aku kan butuh ini buat cari follower, pengin dilihat banyak orang”. Saya cuma bisa membatin setelah mendengarnya. Ternyata dia lebih mementingkan kehidupan virtual daripada dunia nyata. Kelakuannya juga malu-maluin banget. Dia bahkan sampai ditegur pihak bioskop. — Prana WD, 27 tahun, Bali
Kisah Tragis “Tak sengaja” Nge-date bareng Mantan
Kejadiannya tepat di tahun baru 2017, saat saya mengikuti program sekolah bahasa Jepang di Jepang. Dan ini semua gara-gara junior yang kelewat polos. Jadi sebenarnya, saya dan junior—sebut saja K—sudah janjian mau ketemu saat dia liburan ke Kyoto. Kami buat janji sekitar Oktober-November gitu.
Tahu-tahu di pagi harinya, mantan tunangan saya mengontak K, nanyain ada di mana. Ternyata, dia sedang di Jepang dan ada rencana mengunjungi kota K. Dia sama sekali enggak tahu kalau K sudah sampai Kyoto. Dengan polosnya, K menjawab: “Saya lagi di Kyoto, Senpai” dan mantan langsung ngajak ketemuan karena kebetulan dia juga ada di sana. K posisinya serba salah. Di satu sisi, dia enggak enak kasih tahu kalau mau ketemuan sama saya. Di sisi lain, dia enggak enak sama saya kalau bawa “tamu tak diundang”. Tapi K jujur sama saya dan minta saran sebaiknya gimana. Saya justru tertantang dan menyuruhnya untuk menyanggupi ajakan mantan. Saya pengin lihat kira-kira dia bakalan nolak atau enggak. Tak disangka-sangka, dia beneran datang.
Kami bikin rencana makan siang di salah satu restoran halal di daerah Arashiyama, dekat tempat wisata terkenal Bamboo Forest. Kocaknya dia janjian sama K, tapi malah menghubungi saya langsung buat nanya mau ketemuan di mana. Dia juga minta dijemput di halte bus, dan lucunya lagi saya ngeiyain saja.
Yang paling WTF, saya dan K cuma bisa mengekor mantan. Dia kebanyakan wacana mau ke sana kemari, tapi ujung-ujungnya enggak jadi karena bus selalu penuh. Rencana pergi ke kuil juga batal karena ramai pengunjung (orang Jepang pasti ke kuil setiap tahun baru). Dia akhirnya memutuskan pergi ke tempat wisata yang sudah saya dan K datangi tadi pagi (sebelum janjian mau ketemu mantan), dan dia baru kepikiran ke sana setelah satu jam kami mondar-mandir gaje di Arashiyama. Saya dan K malas pergi ke tempat yang sama, jadi kami meninggalkannya sendirian dan jalan-jalan ke Osaka. — Pratiwi Fitriani, 31 tahun, Bandung
Kesankan Diri Alim Saat PDKT, Ternyata Demen Balap Liar dan Grepe-Grepe
Semasa remaja dulu, saya pernah pacaran dengan cowok yang usianya dua tahun lebih tua. Saya baru 15 tahun, sedangkan dia 17 tahun. Dia orang yang agamis, itu kesan pertama yang kudapatkan darinya. Dia selalu mengingatkan ketika sudah tiba waktunya salat. Tapi, makin lama saya makin tahu, ternyata dia suka balap liar. Dia ketua salah satu klub motor yang lumayan terkenal di daerahku. Oke, gapapa.
Saya awalnya berpikir akan sama saja seperti pacaran dengan orang biasa. Ternyata dugaan saya salah, dan saya syok berat melihat perbedaannya. Suatu hari, saya diajak nonton balap liar dan disuruh kenalan sama teman-temannya. Di sana, banyak perempuan seumuranku yang dandanannya punk rock banget. Mereka bilang saya kelihatan cupu, padahal saya pakai kaus distro dan celana jins layaknya orang normal kebanyakan. Pacar saya dengar ucapan mereka dan justru ikut tertawa. Gaya berpacaran mereka juga terlalu vulgar, menjurus ke arah kontak fisik.
Saya minta putus setelah dua kali diajak nonton balapan liar, karena saya rasa saya enggak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan mereka. Selama pacaran denganku, dia enggak pernah berani mengajak PDA (public display affection) karena katanya saya galak. Tapi setelah kami putus, dia jadian sama sahabatku dan memaksanya ikut ke tempat sepi. Dia maksa cium bibir sampai sahabat saya ketakutan, tapi untungnya temanku langsung minta putus. — Della, 27 tahun, Tangerang
Annisa Nurul Aziza dalah staf redaksi VICE Indonesia. Follow dia di Twitter