Penyebab Orang Terus Saja Menyalahkan Perempuan Ketika Terjadi Kemandulan

Saya masih ingat waktu saya harus menjalani pemeriksaan radiologi di sebuah rumah sakit. Saya merebahkan tubuh di meja periksa, menggeser pantat sampai ke ujung meja dan memijakkan kaki di pijakan kaki. Ruangan itu gelap. Dokter memasukkan spekulum dan melebarkannya. Setelah itu, mereka menyuntikkan cairan kontras ke dalam rongga rahim, menunggu beberapa saat sampai cairan meluap ke tuba fallopi dan memasuki rongga perut saya.

Yang saya ingat selanjutnya hanyalah rasa sakit yang sangat parah. Mereka memberitahu rasanya seperti sakit perut saat menstruasi, tetapi menurut saya jauh lebih sakit dari itu. Dokter memeriksa berbagai bagian; saya mati-matian menahan rasa sakit. Pemeriksaan hanya berlangsung selama lima menit, tetapi rasanya seperti seabad.

Videos by VICE

Pemeriksaan ini disebut hysterosalpingography (HSG). Saya melakukan pemeriksaan untuk mengecek apakah tuba fallopi saya tersumbat atau tidak. HSG adalah pemeriksaan yang dilakukan kepada wanita yang sulit hamil. HSG hanyalah salah satu dari berbagai pemeriksaan lain untuk menentukan sumber masalahnya. Ini adalah prosedur rawat jalan dan kamu bisa mengetahui hasilnya dalam hitungan menit. Dokter memberitahu bahwa tuba fallopi saya tidak bermasalah. Di satu sisi saya lega karena organ tubuh saya masih berfungsi dengan baik. Namun, saya masih belum puas dengan hasilnya. Pertanyaan terbesar saya belum terjawab: Mengapa aku tidak kunjung hamil? Apa yang salah denganku?

Saya merasa sangat lega setelah berkonsultasi kepada dokter kandungan untuk pertama kalinya beberapa bulan lalu. Sudah hampir dua tahun saya dan suami mencoba berbagai cara agar bisa hamil. Saya bahkan sampai berhenti mengonsumsi obat antidepresan karena ingin tubuh saya bersih dari obat-obatan kimia agar bisa hamil. Penjelasan dokter memberikan secercah harapan. Saya hanya perlu melakukan serangkaian pemeriksaan dan pengobatan agar saya bisa hamil. Baru kali itu saya merasa berbagai tekanan—yang saya alami karena belum juga punya anak—akhirnya terangkat dari pikiran.

Banyak sekali pemeriksaan yang harus dijalani. Darah saya diambil untuk diperiksa. Saat proses ini, petugas lab kesulitan mengambil darah. Saya juga harus disuntikkan obat subur setiap hari. Setiap pagi-pagi sekali, saya harus pergi ke klinik untuk diambil darah dan melakukan ultrasound untuk memantau indung telur saya. Beban mental memang berkurang, tetapi beban fisik masih tetap saya rasakan. Sedangkan suami saya tidak melakukan pemeriksaan apa pun sampai saya melakukan HSG yang sangat menyakitkan itu. Dokter tidak memprioritaskan pemeriksaan terhadap suami, karena dia lebih peduli mencari-cari apa yang salah dari tubuh saya.

Kita semua tahu perempuan lebih sering menanggung beban dalam mencegah kehamilan. Wanita harus mengorbankan waktu dan perasaan untuk menemukan dokter kandungan yang dapat mereka percayai. Mereka juga harus memilih, membayar dan menerapkan KB. Mereka harus mendapatkan hormon tambahan yang reaksinya bisa beragam terhadap tubuh mereka. Jika “gagal”, maka mereka harus menentukan pilihan: Melakukan aborsi atau menerima kehamilan, menitipkan anak ke tempat pengadopsian atau ikhlas menjadi orang tua. Pilihan ini jelas tidak mudah, baik secara fisik maupun emosional.

Selama ini, kita tidak sadar bahwa beban yang sama juga dirasakan oleh wanita yang sulit hamil. Kita sering menganggap kemandulan adalah masalah perempuan, walaupun sebenarnya pria juga menyumbang lebih dari setengah kasus infertilitas di dunia. Akibatnya, wanita harus menjalankan pemeriksaan dan pengobatan yang menyakitkan agar bisa memiliki anak, meskipun sebenarnya bukan mereka yang bermasalah. Di beberapa kebudayaan, wanita yang sempurna bisa memberikan keturunan bagi suaminya. Jika tidak, berarti ada yang salah dengan wanita itu. Mereka harus melakukan berbagai hal untuk menyelesaikan masalahnya.

Ada beberapa alasan untuk kasus ini. Pertama, ada bias gender di bidang medis dan jarang sekali ditemukan penelitian yang mengangkat masalah infertilitas pada pria. Nyatanya, sebuah tinjauan literatur yang terbit pada 2006 menyimpulkan bila 157 artikel tentang gender dan reproduksi, hanya ada satu peneliti yang membahas infertilitas pada pria. Cara kita mendidik lelaki tentang kemandulan sangat berbeda dari yang diterima perempuan selama sekolah atau di kehidupan bermasyarakat. Penelitian lain yang diterbitkan tahun lalu menunjukkan bahwa, di negara maju seperti AS sekalipun, 81 persen klinik didanai pemerintah memberi penyuluhan seputar perawatan prakonsepsi untuk perempuan, sementara cuma 38 persen klinik yang memberikan penyuluhan serupa untuk lelaki.

Faktor yang paling membuat saya kesal adalah stigma seputar kemandulan lelaki. Para pria merasa gelisah saat melakoni pemeriksaan sperma. Infertilitas pria sering digabungkan dengan pemahaman keliru impotensi, atau diagnosis infertilitas pada pria ada hubungannya dengan maskulinitas mereka. Nyatanya, stigma ini sangat buruk sampai selalu perempuan kembali disalahkan atas infertilitas yang dialami oleh pasangannya, padahal organ tubuh mereka baik-baik saja.

Saya masih bersimpati kepada pria, tetapi saya sangat marah saat teknologi reproduksi lebih berpusat pada tubuh wanita. Ini semakin memperjelas bahwa wanita yang harus bertanggung jawab atas masalah reproduksi.

Setelah pemeriksaan sudah selesai, saya harus menjalani dua inseminasi intrauterine (IUI) beberapa bulan sebelum akhirnya dokter memeriksa suami. Setelah kami berkonsultasi dengan ahli urologi, kami baru mengetahui kalau jumlah sel darah putih suami saya tinggi. Saya baru mengetahui kalau dia ternyata merokok. Berarti kebiasaan inilah yang memengaruhi produksi dan perkembangan spermanya.

Saya sangat marah, karena kebiasaan merokoknya yang dilakoni diam-diam membuat saya harus menjalani pemeriksaan, pengobatan, dan pemantauan yang sebenarnya tidak diperlukan. Semua ini seharusnya dapat dicegah dengan mudah, tetapi dokter malah membuat segala pantangan untuk saya selama proses pengobatan dan tidak memberi pantangan sama sekali kepada suami. Saat mengecek rekam medis kami, dokter tidak pernah sama sekali menanyakan perilaku suami yang bisa memicu kemandulan.

Saya membayangkan kelak proses pemeriksaan dan pengobatan infertilitas seperti dialami perempuan, akan dilakukan kepada pria juga. Mereka akan diberi penyuluhan prakonsepsi dan didorong untuk melakukan pemeriksaan sperma saat itu juga. Saya membayangkan akan ada alat periksa yang dikembangkan sehingga pria bisa menguji kemampuan sperma mereka di rumah.

Andai kesetaraan penanganan medis itu terwujud, mungkin masih membutuhkan waktu yang lama. Selama kesenjangan tanggung jawab antar gender terus lebar terkait kehamilan, maka perempuan akan terus menanggung beban yang tidak adil ketika buah hati tak kunjung hadir dalam pernikahan.