Di usia yang tak lagi muda, Sabenah masih amat cekatan. Siang itu, di pekarangan rumahnya yang berhadapan persis dengan laut, dia tangkas membersihkan perkakas dapur. Tidak ada raut lelah di wajahnya, walaupun dia baru saja pulang mencari ikan.
Angin berembus cukup kencang, bunyi ombak terdengar jelas selama dia bebersih. Sabenah menyudahi sejenak pekerjaannya, kemudian duduk di kursi plastik berwarna putih yang sudah mulai goyah. Di kursi itu, dia berbagi kisah hidupnya. Menjelaskan mengapa Pulau Pari dan profesi nelayan amat berarti baginya.
Videos by VICE
Bagi warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, reputasi Sabenah telah melambung tinggi. Sabenah dikenal semua penghuni pulau. Dia begitu dihormati, sebab dikenal sebagai nelayan yang gigih lagi berpengalaman.
Sabenah mengenal laut sejak masih belia. Kala itu, dia sebatas ikut orangtuanya mencari ikan. Dari sekadar main-main, Sabenah jatuh hati kepada samudera beserta isinya. Sabenah mempelajari segala hal yang berkaitan dengan dunia nelayan.
“Karena sering di laut dan lihat orangtua [cari ikan], jadinya terbiasa,” ungkapnya kepada VICE.
Ada banyak hal yang dipelajari Sabenah, dari memahami arah mata angin, karakteristik ombak, titik-titik strategis di mana ikan sering berkumpul, hingga membuat jala.
Semuanya dilakukan otodidak. Setelah menuntaskan masa pembelajarannya, Sabenah kian mantap memutuskan jadi nelayan, mengikuti jejak kedua orangtuanya.
Laut telah berandil dalam menghidupi Sabenah. Dia bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga menyekolahkan anak-anaknya. Untuk itulah dia sudah berkomitmen: selama dia masih menghirup napas, tidak ada kata berhenti melaut, apa pun yang terjadi.
Meski begitu, perjuangan Sabenah di usia senjat justru sedang tidak mudah. Dia sedang dikepung berbagai masalah di sekitar Pulau Pari, tanah kelahirannya; dari kontroversi reklamasi, pandemi, dan tak ketinggalan, anggapan miring yang menyerang identitasnya sebagai seorang perempuan.
“Perempuan nelayan”, demikian masyarakat menyebut profesi yang dilakoni Sabenah. Di Pulau Pari, Sabenah bukanlah satu-satunya perempuan nelayan. Terdapat banyak perempuan yang memilih jalan sebagai nelayan, bersanding dengan kelompok laki-laki, guna bertahan dan menyambung hidup.
Contohnya yakni Rohani. Sebelum pensiun karena faktor usia dan kesehatan, Rohani berkawan karib dengan lautan. Dia merupakan generasi awal kelompok nelayan di Pulau Pari. Sama seperti Sabenah, laut menjadi sumber penghidupan, tak cuma untuk dirinya sendiri, melainkan juga keluarganya besarnya.
“Laut nyediain apa aja yang kita butuhkan,” katanya dengan mantap.

Rohani bercerita bahwa ketika dia masih aktif melaut, mencari ikan bukan pekerjaan yang susah. Sekali melaut, Rohani, bersama sang suami, dapat memperoleh tangkapan dalam jumlah bejibun.
“Perasaan ketika mendapat banyak ikan itu senang sekali,” kenangnya. “Karena kita jadi bisa hidup, kan.”
Namun, itu dulu, tatkala laut masih asri dan belum tersentuh kepentingan ekspansi bisnis dari investor luar pulau. Sekarang, kondisinya bisa dibilang tak lagi sama. Musuh nelayan Pulau Pari tak sebatas ombak ganas, sebagaimana dulu kerap mereka jumpai, tapi juga rencana reklamasi di utara Ibu Kota.
Wajah reklamasi di Pulau Pari dapat dilihat lewat pembangunan Pulau H. Inisiatif pembangunan berasal dari Hengky Setiawan, pendiri sekaligus pemilik PT Tiphone Mobile Indonesia. Oleh Hengky, kawasan Pulau Tengah—nama aslinya—disulap menjadi daerah resort yang bernilai miliaran rupiah.
Pembangunan kawasan Pulau H mendatangkan konsekuensi buruk bagi nelayan Pulau Pari. Mereka sekarang kesulitan menjaring ikan. Selain itu, yang paling parah, pembangunan Pulau H turut menghancurkan budidaya rumput laut, selama ini jadi andalan nelayan Pulau Pari. Ketiadaan rumput laut sama artinya dengan goyahnya arus pendapatan nelayan setempat.
“Wah, kalau dulu subur banget, dan gampang dicari. Dijual juga laku [banyak],” tegas Hartono, nelayan Pulau Pari, di sela perjalanan menuju karamba miliknya, yang bersebelahan tak jauh dari Pulau H. “Sekarang udah enggak ada lagi [rumput laut]. Udah habis karena reklamasi.”
Upaya alternatif untuk menanam kembali rumput laut di area yang tersedia bukannya tak ada. Tapi, setelah berkali-kali dicoba, hasilnya tak maksimal.
Proyek reklamasi menjadi topik pembicaraan yang serius dalam beberapa kurun tahun belakangan. Hampir sebagian besar pihak menilai reklamasi hanya akan merusak ekosistem laut. Topik reklamasi menyentuh ranah politik praktis, manakala Anies Baswedan, calon gubernur yang maju dalam pemilihan 2017, menjadikan pembatalan reklamasi sebagai janjinya kepada calon pemilih.
Janji tersebut sempat dituntaskan Anies pada September 2018, ketika dia secara resmi mencabut izin pembangunan pulau-pulau hasil reklamasi di pesisir utara Jakarta, lewat Surat Keputusan (SK) Nomor 1409 Tahun 2018. Total, ada 13 pulau yang izinnya dicabut, termasuk Pulau H.
“Saya umumkan bahwa kegiatan reklamasi telah dihentikan. Reklamasi bagian dari sejarah dan bukan masa depan DKI Jakarta. Ini sesuai dengan janji kampanye,” kata Anies dalam jumpa pers di Balai Kota DKI Jakarta kala itu.
Aksi Anies sempat memancing respons dari PT Taman Harapan Indah, selaku pengembang Pulau H setelah berpindah tangan dari Hengky. Kedua belah pihak ini pun terlibat proses pengadilan, dari level Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA). Pertarungan akhirnya dimenangkan Anies, saat MA mengabulkan permohonan kasasi mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu untuk mencabut izin reklamasi.
Izin boleh saja dicabut, namun hal tersebut tidak serta merta memperbaiki penghidupan para nelayan yang kadung terdampak akibat reklamasi.
Setelah kasus reklamasi, nelayan Pulau Pari dihadapkan masalah serius yang kedua. Kali ini, potensi kerugiannya sangat besar, karena menyangkut nasib seisi pulau, tempat mereka tinggal.
Kasus tersebut berupa sengketa lahan, dengan pelaku utama PT Bumi Pari Asri/Bumi Raya yang terafiliasi ke konglomerasi Swantono Adijanto. Secara tiba-tiba, perusahaan ini mengklaim lahan yang dihuni warga Pulau Pari.

Perlawanan lalu timbul di kalangan warga. Konflik sempat mendidih manakala terjadi bentrokan antara aparat—perwakilan perusahaan—dengan masyarakat pada 2015.
Tak sampai situ saja, perusahaan turut mengkriminalisasi tiga warga yang dituduh melakukan pungutan liar serta pemerasan atas pengelolaan Pantai Perawan, yang notabene sebelum perusahaan ini datang sudah lebih dulu dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
Sejauh ini, niat perusahaan untuk menguasai Pulau Pari belum padam, meski intensitasnya tidak setinggi beberapa waktu yang lalu. Taktik yang dipakai juga begitu halus: memecah belah solidaritas warga dengan pemberian bantuan sembako, sejumlah uang, hingga iming-iming pekerjaan. Segala langkah seperti wajib ditempuh, supaya warga yang masih berusaha mempertahankan tanah berangsur membubarkan diri.
“Walaupun sekarang yang [bertahan] di sini tinggal sedikit, kami akan terus melawan,” tegas Mustaghfirin, alias Boby, salah satu nelayan yang dijebloskan ke penjara oleh perusahaan. “Bagaimanapun ini tempat hidup kami. Sudah beberapa generasi kami di sini, hidup dan merawat pulau ini.”
Para nelayan pernah mengadukan sengkarut ini ke berbagai instansi pemerintah, dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang diwakili Anies.
Dari sekian jalur advokasi yang ditempuh, hanya Ombudsman yang menyatakan ada dugaan maladministrasi dalam klaim kepemilikan lahan di Pulau Pari oleh perusahaan. Anies sendiri, menurut warga, lebih terkesan lambat bergerak soal isu lahan, tidak seperti kala dia merespons kebijakan reklamasi di masa-masa awal terpilih sebagai gubernur.
“Jawaban Anies waktu kami audiensi dengan dia, pada 2018, terdengar formalitas aja. ‘_Saya akan tinjau dulu kasusnya seperti apa_’,” demikian ungkap Sulaiman bin Hanafi, atau akrab disapa Katur, mantan Ketua RW yang juga sempat diseret perusahaan ke ranah hukum. “Tapi, sampai sekarang, enggak ada tindak lanjut. Udah hampir dua tahun.”
Problem yang dialami nelayan Pulau Pari, dari reklamasi sampai sengketa lahan, sekali lagi, memperlihatkan bahwa mereka tidak punya daya tawar politik yang cukup kuat buat memengaruhi proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Mereka sering kali tak dilibatkan dalam urusan yang menyangkut hajat hidupnya, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik elektoral semata.
Iqra Anugrah, peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang juga peraih gelar PhD dalam Ilmu Politik dan Studi Asia Tenggara dari Northern Illinois University, menerangkan bahwa terdapat tiga faktor yang membuat para nelayan terlihat ‘lemah’ di depan pembuat kebijakan.
Pertama, gerakan nelayan kerap terpecah. Walaupun jumlah nelayan di Indonesia itu besar, Iqra bilang, mereka tidak berada di dalam satu atap organisasi. Kedua, perbedaan kepentingan dan isu yang dibawa. Kelompok nelayan di setiap daerah memiliki preferensi yang tak serupa. Ada yang fokus pada masalah cantrang, ada pula yang melawan reklamasi.
“Dan terakhir adalah kebutuhan untuk mencari uang. Ini yang berandil dalam membuat gerakan nelayan sedikit terpecah. Karena, pada akhirnya, mereka juga butuh hidup,” kata Iqra, selaku peneliti yang pernah mengamati gerakan politik nelayan waktu Pilpres 2019, saat dihubungi VICE.
Iqra turut menambahkan bahwa dalam lima tahun terakhir, seturut dengan menggaungnya isu perikanan dan kelautan, gerakan nelayan mulai membangun kekuatan politiknya, baik di tingkat lokal maupun nasional. Meskipun masih belum kuat dan berpengaruh seperti buruh industri, terutama pada aspek mobilisasi massa, gerakan nelayan punya peluang berkembang di masa mendatang.
Perlawanan nelayan Pulau Pari, dalam isu reklamasi hingga klaim kepemilikan lahan, dibentuk secara kolektif tanpa menunggalkan keberadaan sosok tertentu sebagai pimpinan. Meski begitu, perempuan nelayan memiliki peran yang cukup krusial menjaga elan perjuangan. Kontribusi mereka bisa dibilang tidak sedikit.
Asmania merupakan orang yang tepat bila ingin berbincang ihwal hal tersebut. Sejak awal konflik di Pulau Pari meletus, dia konsisten mengajak para perempuan nelayan lain merapatkan barisan: menentang segala bentuk penindasan.
“Saya enggak ingin Pulau Pari dijadikan lahan komersialisasi yang enggak mempertimbangkan kelestarian alam dan warga yang tinggal di sini,” tuturnya kepada VICE.
Ada banyak cara yang ditempuh Asmania dan para perempuan nelayan supaya gerakan mereka mampu mendatangkan hasil yang diinginkan. Ambil contoh, mengumpulkan sumbangan secara sukarela dari warga. Asmania mengatakan bahwa donasi tersebut, nantinya, bakal dipakai untuk kebutuhan kolektif gerakan perlawanan Pulau Pari.

Selain itu, Asmania rutin mengajak para nelayan perempuan menyeberang ke Jakarta dalam rangka aksi solidaritas, mulai dari aksi demonstrasi damai di Balai Kota DKI Jakarta, Kamisan di pelataran depan Istana Negara, bahkan hingga ikut momen unjuk rasa Reformasi Dikorupsi.
“Waktu Reformasi Dikorupsi itu yang datang [dari Pulau Pari] banyak dari perempuan nelayan. Kami berkumpul sama anak-anak muda di depan DPR. Ketika rusuh, kami juga ikutan lari-lari. Mana kami lupa pakai pasta gigi buat ngehindarin panas [dari gas air mata] lagi,” kenang Asmania seraya terkekeh.
Tak sekadar di lapangan, partisipasi para perempuan nelayan, yang dikomandoi Asmania, turut pula hadir di ranah advokasi. Asmania bersama beberapa rekan perempuan di Pulau Pari aktif berkorespondensi dengan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap isu Pulau Pari.
“Dari situ kami banyak belajar tentang apa aja yang perlu diperhatikan dalam menggalang aksi. Yang sebelumnya kami enggak tahu, sekarang jadi tahu,” terangnya.
Sebetulnya peran perempuan nelayan senantiasa muncul di sepanjang waktu dan tak cuma dalam aksi perlawanan semata. Perempuan nelayan merupakan pilar penting, yang sumbangsihnya menyebar di berbagai sisi, dari keluarga, kedaulatan pangan, hingga pelestarian ekosistem laut.
Apa yang pernah dialami Rohani menggambarkan bagaimana perempuan nelayan berandil besar dalam kehidupan di sekitarnya. Warsa 1970-an, suami Rohani terkena kencing batu, sehingga tak bisa melaut selama kurang lebih lima tahun. Alhasil, keadaan tersebut membikin Rohani mesti mengambil alih pekerjaan sang suami.
Dia berlayar seorang diri, pagi hingga malam, guna memastikan kebutuhan keluarganya tercukupi sekaligus mengumpulkan pundi-pundi uang untuk biaya operasi. Tugas Rohani tak serta merta selesai. Ketika sampai di rumah, sebagai seorang ibu dan istri, dia masih mengurus keperluan rumah tangga.
“Susah dan berat banget waktu itu. Tapi, akhirnya saya bisa bertahan. Berkat nelayan, bapak bisa operasi, dan anak-anak juga bisa makan,” ucap perempuan 70 tahun ini.

Pengalaman serupa juga dirasakan Subenah. Saat suaminya tak dapat melaut sebab terkena stroke, dia menjadi tulang punggung keluarga. Segala beban maupun kewajiban harus dia pikul agar keberlangsungan keluarganya dapat terjamin.
“Mau gimana lagi, ya, kan? Tetep aja [jadi nelayan serta ibu rumah tangga] juga dijalani,” katanya. “Pokoknya semua dijalani dengan ikhlas dan disyukuri. Rezeki enggak bakalan ke mana.”
Beban kerja ganda itu yang sering kali diterima perempuan nelayan. Tugas yang sama sekali tidak mudah dan perlu kesiapan fisik maupun mental yang ekstra. Ironisnya, pemandangan tersebut tak otomatis menempatkan perempuan nelayan dalam posisi yang ideal. Mereka kerap dipinggirkan tatanan masyarakat yang masih patriarkis. Bahkan, negara pun belum sepenuhnya mengakui kehadiran mereka.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), organisasi nonprofit yang fokus pada isu kelautan, menyebut realitas itu tidak luput dari anggapan perempuan sebaiknya berada di rumah saja, mengurus anak dan dapur, selain juga keyakinan semu “nelayan adalah dunia laki-laki.”
“Ini pandangan yang sudah muncul sejak era Orde Baru, ketika perempuan disingkirkan ke ranah domestik. Enggak boleh ini dan itu karena kodrat perempuan, ya, cuma berada di rumah,” ungkapnya saat ditemui VICE di tempat kerjanya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. “Di dunia kelautan, kondisinya juga sama. Padahal, untuk kemampuan sebagai nelayan, perempuan punya kualifikasi yang sama [dengan laki-laki].”
Konsekuensi yang ditimbulkan pun tidaklah main-main. Karena perempuan dianggap “semestinya di rumah,” mereka tidak bisa mengakses fasilitas negara yang wajahnya dapat dilihat lewat wujud kartu nelayan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Kartu Nelayan, dijelaskan bahwa kartu ini berfungsi, di antaranya, sebagai identitas profesi nelayan serta basis data untuk memudahkan perlindungan maupun pemberdayaan nelayan. Syarat yang diperlukan guna membikin kartu nelayan, salah satunya, yakni fotokopi KTP dan surat keterangan dari kepala desa atau lurah yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bekerja sebagai nelayan.
Masalahnya, dalam KTP yang dimiliki para perempuan nelayan, profesi yang dicantumkan sejak awal ialah ibu rumah tangga. Mereka tidak punya pilihan selain menerima fakta tersebut, walaupun kesehariannya berlayar dan mencari ikan di lautan.
“Mereka jadi enggak bisa nuntut apa-apa. Karena, syarat utama [mendapat kartu nelayan] di KTP profesinya harus tertulis nelayan. Sedangkan ini tidak. Ditulis aja, tuh, ibu rumah tangga,” tegas Susan.
Pun ketika akan mengurus ke pihak kelurahan setempat, mereka sering kali dipersulit oleh petugas administrasi dengan lempar sana-lempar sini hingga pernyataan bernada merendahkan.
“Kami sering diping-pong sama mereka, mas. Jadinya kami pun malas mengurus karena melelahkan. Lebih-lebih dari petugas kelurahan sendiri nggak ada inisiatif untuk membantu [pembuatan kartu nelayan],” ucap Asmania.
Bagi perempuan nelayan, sempitnya akses ke kartu tersebut merupakan kerugian yang cukup signifikan. Pasalnya, keberadaan kartu nelayan dapat membantu mereka memanfaatkan layanan keuangan hingga kepemilikan asuransi—bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kondisi makin diperkeruh regulasi yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam beleid tersebut, pengakuan terhadap profesi perempuan nelayan belum diletakkan pada satu posisi khusus. Perempuan nelayan dinilai sebagai bagian dari aktivitas rumah tangga. Kedudukan mereka tak kuat.
Kondisi tersebut bertentangan dengan konvensi internasional mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Terbatasnya akses perempuan nelayan terhadap pemenuhan hak maupun fasilitas yang disediakan negara merupakan pemandangan yang menyedihkan, mengingat peran perempuan dalam rantai perikanan dan kelautan tidaklah kecil.
Studi yang sempat dilakukan KIARA menjelaskan perempuan berandil di empat tingkatan: dari pra-produksi, produksi, pengolahan, hingga pemasaran. Jangan lupakan pula 48 persen pendapatan dari keluarga nelayan disumbang oleh kontribusi perempuan nelayan.
“Perempuan nelayan itu bukan mereka yang sekadar melaut. Mereka yang disebut perempuan nelayan adalah mereka yang juga berada di rumah untuk mengolah hasil tangkapan ikan hingga memasarkan produk-produk tersebut,” terang Susan. “Kalau definisi perempuan nelayan dipersempit jadi mereka yang cuma melaut, maka akan ada jutaan perempuan yang terlibat dalam mata rantai produksi yang enggak diakui.”
Upaya untuk mendobrak batasan ini bukannya tidak ada. Lewat Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), sepanjang kurun 2017 hingga 2019, sejumlah perempuan nelayan, terutama yang tinggal di Dukuh Tambakpolo, Demak, Jawa Tengah, berusaha mencari pengakuan pemerintah. PPNI sendiri merupakan organisasi yang menaungi perempuan nelayan di seluruh Indonesia dan didirikan pada 2010.
Mulanya, sebagaimana dituturkan Masnuah, perempuan nelayan asal Demak sekaligus Sekretaris Jenderal PPNI, langkah-langkah advokasi kerap menemui jalan buntu.
Hal paling menyakitkan, Masnuah bilang, ketika para perempuan nelayan ini ditertawakan oleh anggota DPRD setempat dalam forum resmi. Mereka disebut tak patut melaut dan segala anggapan miring lainnya yang bisa dirangkum lewat satu pernyataan tegas: perempuan tempatnya di rumah.
“Jujur waktu kejadian itu bikin saya sedih sekali. Mengapa kami diperlakukan seperti itu? Kami ini juga bisa bekerja. Kami bisa mencari ikan. Apakah hanya karena kami perempuan lalu kami tidak bisa melaut?” tanya Masnuah retoris, saat dihubungi VICE.
Setelah bergelut dengan dinamika dan segala caci maki, akhirnya perjuangan para perempuan nelayan ini terbayar. Sebanyak 31 perempuan nelayan berhasil mengubah status identitas yang tertera dalam KTP, yang kemudian disusul dengan pengakuan secara resmi atas profesi mereka.
Kendati demikian, hasil tersebut bukanlah ujung dari segalanya. Masnuah mengaku di banyak tempat di pesisir Indonesia, para perempuan nelayan masih mengalami diskriminasi maupun korban perampasan ruang hidup. Contoh gamblangnya dapat dilihat melalui reklamasi, aktivitas pertambangan, hingga konflik perebutan lahan dengan dalih “menggenjot sektor pariwisata.”
“Saya tumbuh dalam lingkungan yang menempatkan perempuan ke ruang domestik. Pengalaman itu membuat saya merasa tidak memperoleh keadilan. Bukan hanya saya saja, tapi juga banyak perempuan di seluruh Indonesia. Pelan-pelan, kami akan berusaha untuk mewujudkan kesetaraan, terutama untuk perempuan nelayan,” pungkasnya, dengan nada yakin.
Hampir lima bulan lamanya dunia dibikin limbung oleh serangan pandemi yang kita kenal dengan Covid-19. Jutaan orang terinfeksi, beberapa di antaranya dinyatakan sembuh, sedangkan yang lain mesti mengalami kondisi yang pahit: meninggal dunia. Sementara di saat bersamaan, perekonomian terpaksa tak bergerak secepat biasanya. Kolaps. Jatuh. Tak ayal, 2020 berubah jadi tahun yang mengerikan.
Sektor perikanan pun turut kena getahnya. Para nelayan di Pulau Pari terpaksa gigit jari manakala pendapatan yang mereka terima tak maksimal akibat, salah dua di antaranya, pembatasan operasional seturut diberlakukannya kebijakan PSBB dan turunnya permintaan akan produk ikan di perkotaan.
“Kerasa banget dampaknya. Sekarang, ketika udah dapet ikan, bingung mau jual ke mana,” kata Juleha, salah satu perempuan nelayan Pulau Pari, ketika kami berbincang di pelataran rumahnya.
Namun demikian, mereka tak langsung jadi pesimistis melihat keadaan yang serba tak menentu. Solidaritas sesama perempuan nelayan pun segera terbangun demi keberlangsungan hidup di masa pandemi, juga waktu-waktu setelahnya.
Wujud solidaritas itu dapat disimak kala para perempuan nelayan di Pulau Pari membuka pantai bernama Renggae. Usaha ini, Asmania bilang, sudah dirintis sejak 2019.

Mulanya, kawasan Pantai Renggae adalah semak belukar tak terurus. Oleh para perempuan nelayan, semak belukar tersebut dipangkasi. Mereka lalu membikin jalan setapak yang bisa dilewati dua sepeda motor dari arah berlawanan.
Sementara di lahan-lahan yang kosong, para perempuan nelayan membuat perkebunan sederhana yang berisikan sawi, cabai, hingga tomat. Tujuannya agar pasokan pangan masyarakat Pulau Pari tetap terjaga.
“Pantai ini yang buka ibu-ibu semua,” ucap Asmania, seraya menunjukkan lokasi Pantai Renggae. “Masih belum tertata, tapi setidaknya udah bisa dinikmati.”
Pantai Renggae menjadi pantai kedua, setelah Pantai Perawan, yang dikelola swadaya oleh masyarakat Pulau Pari. Menurut Asmania, pengelolaan dua pantai ini menjadi bukti bahwa masyarakat Pulau Pari dapat berdiri di atas kaki sendiri, tanpa intervensi dari korporasi yang tamak.
Matahari mulai turun dari peraduannya, membentuk pemandangan yang begitu indah ketika saya melihatnya dari bibir Pantai Renggae. Ombak berdesir dan menyapu kedua kaki saya yang tengah berpijak di atas pasir putih, dengan begitu lembut.
Surga seperti tengah berada di hadapan mata. Bagi perempuan nelayan Pulau Pari, perjuangan untuk mempertahankan surga tersebut masih amat panjang.
Laporan ini dapat terselenggara berkat dukungan dana hibah dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram