Perancang Sepatu Ini Memiliki Impian Lebih Banyak Laki-Laki Mau Pakai Heels

Perancang Sepatu Ini Memiliki Impian Lebih Banyak Laki-Laki Mau Pakai Heels

Bagi Shaobo Han dan Henry Bae, pendiri merek SYRO, laki-laki bersepatu hak tinggi lebih dari sekedar tren. Dengan merancang sepatu hak tinggi untuk laki-laki dan orang yang tak pandang gender (gender non-conforming), keduanya ingin membangun komunitas queer yang nyaman mengekspresikan diri dengan sepatu hak tinggi untuk keperluan sehari-hari. Proses ini penting bagi kisah gender pribadi mereka masing-masing.

Merek ini lahir karena kedua pendirinya ingin mengenakan heels sesuai selera mereka dalam ukuran sepatu mereka masing-masing, yang tergolong cukup besar. Henry adalah perancang sepatu, sementara Shaobo mengurus bisnisnya.

Videos by VICE

“Rancangan kami ditujukan pada komunitas drag dan bondage, atau konsumen produk mewah/custom,” kata Shaobo. Sebelum mendirikan SYRO, sepatu hak tinggi biasanya hanya dikenakan laki-laki untuk merayakan Halloween atau Pride. Setelah menggarap uji coba produksi pada 2016 dengan respons sangat positif, mereka mendapati bila banyak laki-laki ternyata mengidamkan sepatu hak tinggi. Salah seorang pendukung SYRO, Sam Smith, sempat memposting foto sepasang heels SYRO di halaman Instagramnya.

“Permintaan konsumen untuk sepatu hak tinggi dalam ukuran besar sangat tinggi,” kata Shaobo. “Kami sedang mempelopori gerakan generasional yang berada di luar gagasan biner.” Oleh karena itu, situs web SYRO menyebut mereknya sebagai “sepatu idaman queer dengan heels yang menantang sistem.” Dengan memusatkan istilah gender non-conforming alih-alih gender-neutral, Henry dan Shaobo ingin menyampaikan jika SYRO adalah merek queer yang diciptakan orang queer juga anggota minoritas (karena mereka takut gaya gender non-conforming akan dieksploitasi merek-merek arus utama). Mereka juga menegaskan inklusivitas ukuran sepatu, dan menawarkan sepatu hak tinggi dalam ukuran laki-laki AS 8-14, yang sebelumnya sulit ditemukan di toko.

Pelanggan SYRO, menurut Shaobo dan Henry, adalah kaum yang “hidup secara semangat.” “Mereka mendambakan kebebasan, mereka ingin mengambil resiko, mereka transgresif, mereka suka cari masalah, dan kami mencintai mereka,” kata Shaobo.

Syro heels for men
Foto oleh Luis Corzo

Duo kreatif ini pertama kali bertemu karena saling nge- stalk satu sama lain di Facebook pada 2009, sebelum keduanya resmi bertemu pada 2014. Menurut Shaobo, ini membuktikan bahwa medsos dapat menyatukan orang. Setelah itu, mereka saling memberdayakan satu sama lain untuk bereksperimentasi dengan feyen dan ekspresi gender. “Kami memotong-motong baju, merias wajah secara belepotan, dan bersenang ria menjadi diri kita yang gay,”kata Shaobo. “Kala itu kami berusia 26, tapi berperilaku kayak remaja. Kami melanggar segala peraturan–seru banget.”

Keduanya dibesarkan orang tua kreatif. Henry kagum dengan fesyen feminin dan rutin menyerbu lemari ibunya, sementara Shaobo berfokus pada kesenian di SMA dan kuliah. “Menurutku semua orang queer itu kreatif. Kami tumbuh besar dengan sistem yang tidak menyukai kami, sehingga kami terpaksa mencari sarana kreatif untuk mengatasi tantangan itu,” kata Shaobo. Henry tumbuh besar di California dengan orang tua konservatif keturunan Korea, sementara Shaobo bermigrasi ke AS dari Tiongkok pada usia 11 tahun.

Kini keduanya berusia 28 dan tinggal di Bushwick, New York. Mereka menggunakan pengalaman mereka sebagai orang tak pandang gender sebagai basis karya mereka. “Inspirasi desain kami berasal dari dalam diri kami,” kata Shaobo. “Aku sering ngidam-ngidam kayak begini: ‘Aku pengin sepatu boot femme, tapi dengan hak tebal yang lebih kokoh daripada hak biasa. Sepatunya juga harus lebar, biar nyaman. Tapi enak enggak, ya?’” Bekerja di studio di Bushwick, mereka bekerjasama secara kolaboratif menggarap perancangan, pemasaran, pembuatan prototipe, menjawab pertanyaan pelanggan, dan pengiriman pesanan.

syro men's heels
Foto oleh Dylan Thomas

Menurut Henry dan Shaobo, kehidupan di New York itu seperti berada di gelembung dunia sendiri. Tiap orang bisa bersikap bodoh amat soal fesyen. Mereka berharap semangat tersebut bisa diadopsi queer di manapun.

“Kami mengenakan pakaian sesuai keinginan. Kami enggak peduli pandangan orang lain,” kata Shaobo. SYRO memandang laki-laki pakai sepatu hak tinggi sebagai lebih dari sekedar tren dan berfokus pada kebahagiaan kaum queer. Mereka berharap SYRO dapat memberdayakan komunitas ini sehingga bisa menghadapi kebencian dan kekerasan terhadap LGBTQ.

Saat ngobrol dengan Shaobo dan Henry, bisa terasa bila pertemanan mereka dan hasrat mereka untuk memberdayakan ekspresi gender itulah yang membuat SYRO sukses. Berkat rasa saling percaya dan menghormati satu sama lain, mereka dapat mendukung insting kreatif satu sama lain.

Henry dan Shaobo berharap gaya ini akan berevolusi menjadi lebih dari sekedar “tren” di masa depan. Keduanya akan terus berjuang untuk inklusivitas gender melalui SYRO. “Kaum queer takkan pergi kemana-mana. Mereka akan selalu ada dimana-mana,” kata Shaobo. “Tapi aku enggak bisa memprediksi bagaimana tampaknya sepatu mereka di masa depan. Kalau mereka pakai sepatu SYRO di Mars pada 2029 sambil mengantar anak-anak alien non-biner mereka ke sekolah memakai boots angkasa, itu keren banget.”

1566326579481-IMG_3207copy
Foto oleh Dylan Thomas

Artikel ini pertama kali tayang di i-D