Dalam wilayah yang seharusnya paling Islami dan konservatif di Indonesia, muslimah yang mengenakan cadar justru berulang kali dipandang sinis, dicemooh, bahkan dianggap berbeda dari perempuan kebanyakan. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan hukum syariat dan mewajibkan seluruh perempuan menggunakan pakaian Islami dengan menutup kepalanya dengan hijab. Tapi itu tak serta-merta membuat cadar mudah diterima di Aceh.
VICE Indonesia memperoleh kesaksian dari banyak perempuan bercadar tentang diskriminasi yang mereka alami. Di Aceh, tak jarang perempuan yang mengenakan niqab menutup seluruh tubuh kecuali mata dan telapak tangan, dituduh sebagai bagian dari kelompok ekstrem.
Sebaliknya, dari sebagian warga Negeri Serambi Makkah yang kami temui karena menolak pemakaian cadar, muncul tuduhan bila mereka yang memilih busana niqab terlalu berlebih-lebihan dalam beragama, atau mempersulit sesuatu yang telah dimudahkan oleh Tuhan.
Videos by VICE
Salah satu yang bersedia berbagi cerita pilu itu Anggi Wulan, perempuan 25 tahun asal Desa Keudah, Kota Banda Aceh. Dia satu-satunya perempuan bercadar di kampungnya. Kepada VICE, ia mengaku tetangga berulang kali melempar kasak-kusuk negatif tentang dirinya. Ia pun sempat dicela kerabat dekat karena penampilannya yang tertutup. “Sedih kalau aku ingat kata-kata tetangga, yang mengejek dan menertawakan, bikin down dibuatnya,” Kata Anggi.
Baru satu tahun belakangan Anggi memutuskan bercadar. Sebelumnya ia sehari-hari pakai hijab biasa, sebagaimana perempuan Aceh pada umumnya. Tak jarang pula ia mengenakan pakaian santai yang melanggar syariat Islam. Anggi dulu menyukai celana jins yang bila ketahuan oleh polisi syariah, maka ancamannya adalah kena razia—artinya dia akan ditangkap, didata, dan dikuliahi soal haramnya jins.
Hingga suatu hari, setelah mengikuti pengajian dan membaca beberapa kitab, Anggi menerima tafsir yang menyatakan pakaiannya selama ini melanggar ajaran agama. “Sekarang hijrah, karena saya takut pada Allah, karena sebagaimana disebutkan dalam hadis bila gunakan pakaian yang tampak aurat pada orang apalagi lawan jenis, akan berdosa besar,” katanya.
Dia memang tidak menyangka, keputusan berubah jadi religius justru mengundang celaan dari keluarga dekatnya. Ia malah dibilang aneh. Setelah sempat stres, Anggi kini berusaha tak ambil pusing. Sebab, menurutnya buruk atau baiknya manusia, Allah yang menilai. “Biarkan orang berkata apa, yang terpenting bagi saya telah melakukan yang terbaik buat saya dan Tuhan saya,” ujarnya.
Diskriminasi serupa dialami Mira, yang sebelumnya sempat berprofesi sebagai model busana Muslim di Banda Aceh. Mira mengaku setelah menggunakan cadar, perkataan bernuansa negatif sangat sering ia dengar. Sahabat dekatnya sampai tak mau lagi bergaul bersamanya, gara-gara Mira dinilai berlebihan dalam berbusana.
“Kata-kata yang tidak enak saya sudah anggap biasa, apalagi sebelumnya saya sering motret, tapi misalkan kalau teman yang tak mau lagi berteman dengan saya itu rasa sakit, karena mereka anggap saya sudah aneh,” kata Mira.
Setali tiga uang, Vera Wati (25), Warga Aceh Besar, harus tegar menghadapi penolakan dan celaan dari warga Negeri Serambi Makkah akibat pilihan busananya. Sejak pertama kali menggunakan cadar, ia langsung mendapat kritikan keras dari sejumlah kalangan, apalagi ia menghapus seluruh foto yang sebelumnya ia unggah di facebook dan instagram. Lagi-lagi, mereka yang menentang beralasan Vera terlalu berlebihan. Ditolak keluarga maupun teman, Vera berkukuh terus memakai cadar. Dia justru yakin, ketika pengguna cadar dizalimi, maka ukhuwah (persaudaraan) di antara pengguna cadar semakin kuat.
Komunitas pengguna cadar, yang semakin berkembang kian hari di Aceh, adalah alasan Vera, Anggi, maupun Mira bertahan walau rutin mengalami diskriminasi. Mereka merasa menemukan keluarga baru: sesama muslimah yang memilih berhijrah dan menutup nyaris seluruh aurat tubuhnya.
Sejak Syariat Islam diberlakukan di Aceh, perempuan bercadar mulai biasa hadir di ruang publik Aceh. Pemakaian cadar, menurut akademisi setempat, mulai marak sesudah kampus seperti Universitas Syiah Kuala ataupun Universitas Islam Negeri Ar-Raniry menerima mahasiswa asing dari Malaysia. Mahasiswi Negeri Jiran banyak yang mengenakan cadar, lantas diikuti pelajar Aceh. Uniknya, setelah penerapan syariat secara terbatas sejak 1999, sebagian warga Aceh yang kerap diasumsikan paling konservatif dalam beragama belum bisa sepenuhnya menerima komunitas cadar.
Mauli (26), Warga Meulaboh, salah satu yang tidak nyaman melihat kehadiran perempuan bercadar. Menurutnya, mereka yang menggunakan cadar agar terlihat suci di antara wanita yang biasa menggunakan busana Muslim pada umumnya. Jika memang ingin hijrah, kata Mauli, ia menyarankan bukan bercadar, tapi bertobat, tanpa perlu melebih-lebihkan cara berpakaian.
“Kalau ingin ingin mencari surga di pesantren saja biar tidak ada yang mengganggu, agar terjauh dari dosa dan zina. Bercadar sama juga orang tidak bisa melihat orang bercadar, tapi dia melihat yang lain bisa,” katanya kepada VICE.
Mauli lantas mencontohkan salah seorang temannya yang mengunakan cadar, selalu berbicara tentang kebaikan dan keburukan orang kepada Mauli. Padahal, menurutnya, berkata-kata buruk tentang orang itu juga adalah suatu perbuatan dosa.
“Menurut saya tentang dia itu, mengunakan cadar hanya ingin mendapatkan pengakuan agar dia itu alim dan baik,” ucap Mauli.
Selain itu, Mauli menuding beberapa pengguna cadar sekadar ikut-ikutan tafsir tertentu, tanpa meresapi bagaimana hakikat busana Islam sebetulnya. “Budaya kita beda (dengan Arab), jadi ikuti saja budaya yang ada, bahkan juga dalam agama masih bisa, jangan berlebihan,” imbulnya.
Hal sama juga dikatakan Izah (27), warga Aceh Besar. Dia menilai wanita yang mengunakan cadar adalah mereka yang hidupnya tidak ingin berbaur dengan lainnya. Sehingga ia melihat wanita bercadar hanya ikut-ikutan atau terpengaruh lingkungan.
Izah menceritakan, pengalamannya berteman dengan pengguna cadar tidak bertahan lama. Sebagian dari mereka selalu menghindar jika Izah tidak juga ikut bercadar. Beberapa perempuan kawannya yang bercadar tidak mau lagi menjalin kontak dengannya.
Tonton juga dokumenter VICE mengenai kehidupan warga Aceh setelah lebih dari satu dekade hidup dalam Syariat Islam:
“Saya pernah bercadar bercadar tapi sewaktu belajar ngaji. Memang itu ketentuan ditempat saya ngaji. Namun banyak kawan saya yang mengunakan cadar di tempat publik, itu hak mereka, tapi yang saya tidak suka mereka tidak mau berbaur dengan lainnya, padahal dalam lingkungan kita diajarkan berbaur,” katanya.
Makanya Izah merasa, alih-alih memusuhi, banyak perempuan cadar yang sengaja menutup diri dari pergaulan serta tidak mau lagi menyapa kawan-kawan lama. Jadi dia tidak bersedia dianggap mendiskriminasi perempuan bercadar. “Ada banyak yang menjauh, Kita merasa mereka itu tidak mau berteman dengan kita,” ujarnya.
Kampus UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, memiliki banyak mahasiswi yang memutuskan memakai cadar. Rektor UIN, Farid Wajdi Ibrahim ingat, awalnya baru mahasiswi dari Malaysia yang memakai cadar. Baru kemudian satu windu belakangan mahasiswi lokal ikut mengenakan pakaian menutup nyaris seluruh tubuh. Saat ini, mahasiswa asal negeri Jiran di UIN Ar-Raniry mencapai 200 orang, setengahnya memakai cadar.
“Kami tidak menganggap mereka ini sudah ditulari. Mungkin pemahaman dari mahasiswi-mahasiswi kita tentang ajaran agama Islam sudah meningkat,” kata Farid.
Karena itulah UIN Ar-Raniry memilih tidak mengadopsi kebijakan kontroversial Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang dua bulan lalu disorot karena menuntut mahasiswi berhenti mengenakan cadar.
Diskriminasi terhadap pengguna cadar di Indonesia adalah persoalan warisan kebijakan Orde Baru. Saat Presiden Soeharto berkuasa, jangankan cadar, mengenakan hijab biasa saja tak sepenuhnya terlarang di lingkungan pendidikan ataupun birokrasi. Barulah memasuki pertengahan Dekade 90’an, pemakaian jilbab, hingga kemudian cadar, tumbuh subur karena Orde Baru melonggarkan aturan. Namun sisa-sisa paranoia terhadap cadar, termasuk asumsi keliru bahwa penggunanya adalah penganut Islam radikal, belum sepenuhnya hilang.
Fajri berharap, di masa mendatang cadar dianggap sebagai ekspresi keagamaan biasa di negara ini, termasuk di Aceh. Karena itulah kampusnya, menurut Fajar, tidak akan memantau mahasiswi bercadar secara khusus. “Silakan bagi yang punya kesadaran memakai cadar. Yang tidak memakainya juga tidak apa-apaa,” tandasnya.
Mira bukan termasuk perempuan bercadar yang memperoleh jaminan perlindungan di area kampus seperti mahasiswi UIN Ar-Raniry.
Dia yakin masih rutin mengalami diskriminasi, selama persepsi warga Aceh terhadap pengguna niqab sepertinya tak berubah. Namun, Mira tak ingin sejengkal pun melepas cadarnya, yang baginya adalah pilihan untuk konsekuen dalam beragama.
“Bagaimanapun saya tetap seperti ini dan apa adanya,” ujarnya. “Semoga saya mampu bertahan.”