News

Perempuan Kamboja Memprotes RUU Seksis dengan Posting Foto ‘Seksi’

Perempuan Kamboja merayakan hari Valentine sambil naik skuter di Phnom Penh pada 14 Februari 2009. AFP Photo/Tang Chhin Sothy

Kantor berita Reuters melansir pada Kamis, (6/8) lalu, bahwa pemerintah Kamboja mengusulkan “RUU Ketertiban Umum” yang akan melarang perempuan berpakaian “terlalu pendek” atau “menerawang” begitu disepakati oleh parlemen.

Jika lolos jadi UU, maka mereka terancam dikriminalisasi hanya karena apa yang dikenakannya. Tak terima, para perempuan Kamboja mengecam kebijakan tersebut dengan memposting foto-foto “seksi” ke media sosial.

Videos by VICE

“Gaya berpakaian yang sebaik-baiknya yaitu tidak di atas lutut,” kata Menteri Dalam Negeri Kamboja Ouk Kimlek saat diwawancarai Reuters membahas RUU tersebut.

RUU tersebut juga melarang laki-laki bertelanjang dada di tempat umum, serta mengatur kebisingan warga di tempat umum.

“Kebijakan ini tidak hanya mementingkan ketertiban umum, tetapi juga adat dan tradisi,” lanjut Ouk.

RUU tersebut langsung menuai kontroversi di Kamboja, terutama di kalangan perempuan Khmer. Mereka mengunggah foto berpakaian “tidak senonoh”—seperti yang diatur dalam RUU—ke medsos dengan tagar #mybodymychoice. Beberapa mengenakan pakaian renang, menurut Reuters.

Tan Molika, remaja yang baru lulus SMA, memulai petisi online yang mendesak agar pemerintah mencabut RUU-nya. Dia telah mengumpulkan lebih dari 17.000 tanda tangan sejauh ini.

Kepada VICE News, Tan mengaku ingin meningkatkan kesadaran lewat petisi tersebut, tetapi banyak yang menyarankan agar dia mengirimkannya ke pihak berwenang.

“Saya senang melihat semakin banyak orang berani memperjuangkan haknya, terlebih lagi di saat sebagian besar masyarakat Kamboja masih konservatif dan berpikiran sempit,” tuturnya.

Chak Sopheap selaku Direktur Utama Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja mengungkapkan kepada Reuters pekan lalu, RUU ini menandakan upaya baru untuk melumpuhkan kebebasan perempuan di Kamboja.

“Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan tertinggi sudah mulai memolisikan tubuh dan pakaian perempuan, mengabaikan hak mereka untuk mengekspresikan diri, dan menyalahkan perempuan atas kekerasan yang dialaminya,” kata Chak kepada Reuters.

Norma sosial yang berlaku di Kamboja merupakan hasil dari kode etik perempuan Khmer yang biasa disebut Chbab Srey. Kode etik ini dulunya menjadi pelajaran sekolah wajib hingga 2007.

Chbab Srey mengajarkan perempuan untuk bersikap lemah lembut, mematuhi suami, dan membatasi diri dari dunia luar agar bisa menjalani kehidupan yang mulia.

Pada April, perempuan Kamboja bernama Ven Rachna dipenjara enam bulan atas tuduhan pornografi karena mengenakan pakaian tidak senonoh selama siaran langsung Facebook.

Voice of America News melaporkan sebelum Ven ditangkap, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen memerintahkan polisi untuk melacak keberadaan semua perempuan yang berpakaian “terlalu seksi” ketika menjual produknya di internet.

Ming Yu Hah, wakil direktur Amnesty International kawasan Asia Pasifik, mengkritik kebijakannya melanggengkan praktik menyalahkan korban.

“Menghukum perempuan karena gaya berpakaiannya hanya akan memperkuat anggapan mereka pantas disalahkan jika mengalami pelecehan seksual, serta budaya impunitas yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender,” terangnya kepada Reuters.

Sejumlah aktivis HAM Kamboja, termasuk Eng Chandy dari Gender and Development for Cambodia, kritik terhadap RUU ini dapat meningkatkan pembahasan seputar kesetaraan gender di sana.

“Jarang-jarang ada RUU yang diperdebatkan sehebat ini. Masyarakat mendapat peluang untuk mendiskusikannya,” lanjutnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.