Korban penganiayaan Satpol PP saat razia PPKM Darurat di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 14 Juli 2021 kini dibayang-bayangi kriminalisasi. Nur Halim dan Amriana, suami istri yang dipukul oleh Sekretaris Satpol PP Gowa Marhani Hamdan, kini tengah dilaporkan oleh sebuah ormas atas tuduhan membuat pengakuan bohong. Pasalnya, korban sempat mengaku sedang hamil saat dipukul. Belakangan klaim itu dikoreksi suami korban yang bilang istrinya tidak dalam keadaan mengandung.
Fakta tersebut membuat keduanya kini harus menjalani proses hukum gara-gara laporan pihak ketiga. Pelapornya adalah seorang warga bernama Muhammad Zulkifli. Ia datang ke kantor Polres Gowa pada Kamis (22/7), mengaku atas nama ormas bernama Brigade Muslim Indonesia. Di sana Zulkifli melaporkan Nur Halim dan Amriana atas dugaan penyebaran berita bohong terkait kehamilan.
Videos by VICE
“Kami laporkan kedua orang itu di Mapolres Gowa. Alat bukti yang kami bawa salah satunya rekaman video live Facebook si Ivan [Nur Halim] yang menyatakan istrinya itu tidak hamil,” ujar Zulkifli kepada CNN Indonesia. Ia mengaku tak mewakili siapa-siapa. “Saya tidak kenal dengan Pak Satpol PP. Saya juga tak kenal dengan pemilik kafe. Ini murni untuk keadilan hukum.”
Video penganiayaan tersebar luas di media sosial dan menjadi konsumsi nasional, salah satunya karena Amriana diklaim hamil sembilan bulan ketika dipukul. Belakangan Nur Halim membuat pengakuan istrinya tidak sedang hamil. Ia menjelaskan, klaim kehamilan itu spontan dikatakan demi melindungi istrinya dari kekerasan fisik aparat Satpol PP.
Awal mula kasus penganiayaan dan pengakuan hamil terjadi saat Satpol PP Gowa menertibkan sejumlah warung kopi setempat selepas jam delapan malam. Kafe milik Nur Halim dan Amriana jadi salah satu target karena aparat merasa masih mendengar musik lewat dari batas jam buka. Dari sana, adu mulut terjadi dan diakhiri dengan adegan Mardani menampar Nur Halim dan Amriana.
Nur Halim mengklaim, saat Satpol PP masuk, kafe miliknya sudah tutup. Namun, mereka memang memutar musik untuk keperluan live di Facebook.
Laporan Zulkifli sendiri telah dikonfirmasi Kasubag Humas Polres Gowa Mangatas Tambunan. “Pengaduan tentang berita bohong. Jadi ini kan kita baru terima laporan, nanti kita lihat tindak lanjut reskrim bagaimana,” kata Mangatas kepada Detik. “Benar memang ada dari Brigade Muslim Indonesia mengadukan terkait postingan pemilik kafe, tentang kehamilan.”
Si pelaku kekerasan Mardani Hamdan sendiri juga tengah diproses hukum. Tak cuma dipecat dari Satpol PP, kini Mardani jadi tersangka penganiayaan dengan ancaman dua tahun penjara menurut KUHP Pasal 351.
Pertanyaannya, apakah memberi keterangan bohong untuk membela diri tetap salah di mata hukum? Kalau menurut penjelasan Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu kepada VICE, aparat penegak hukum perlu melihat duduk perkaranya terlebih dahulu. Pertama, untuk kasus penganiayaan. Ketika korban menyatakan dirinya hamil, harus dilihat apakah dalam koridor pembelaan diri.
“Kalau saya mukul, lalu kamu bilang sedang sakit dengan tujuan menyampaikan kondisi agar saya enggak lanjut mukul, itu dimungkinkan. Dalam hukum pidana bisa, akan dihapus pidananya karena bagian dari pembelaan diri,” kata Erasmus kepada VICE.
Ia juga menekankan agar penegak hukum melihat apakah pengakuan kehamilan tersebut bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelaku. “Misal, dia [korban] mengaku hamil dan keguguran, itu kan bisa mengubah pasal, bisa kena [KUHP] Pasal 352 atau 351 ayat 2 karena penganiayaan berat. Kalau dalam kasus ini, enggak ada [konsekuensi hukum dari pengakuan hamil]. Mau dia hamil atau enggak, ya enggak berubah pasalnya.”
Kedua, menanggapi pelaporan akan berita bohong dari ormas, Erasmus mengaku heran karena enggak menemukan pasal di UU ITE yang bisa menjerat pengakuan hamil tersebut.
“Misalnya, dia kena [tuduhan] berita bohong di Pasal 14, masuk enggak dalam syarat berita bohong? Kan enggak. Dia enggak menyiarkan karena konteksnya hamil untuk pembelaan. Lalu, berita bohong itu kan ada efeknya, menimbulkan keonaran di tengah-tengah masyarakat. Ini kan enggak ada keonaran karena pelaku memang melakukan pelanggaran hukum. Yang bikin keonaran itu kan si Satpol PP yang mukulin si Ibu ini,” tambah Erasmus.
Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat Yosua Octavian juga berkomentar senada. “Yang saya soroti adalah pelapor tidak berkaitan dengan kerugian yang dialami [kedua belah pihak]. Memang, tidak ada larangan bagi siapa pun untuk melaporkan dugaan tindak pidana ke kepolisian. Tapi pertanyaannya, apakah si pelapor juga sudah memiliki bukti kuat terkait dugaan bohong tersebut?” ujar Yosua kepada VICE.
“Kalau bukti yang dipakai adalah rekaman video yang menarasikan: ‘Kenapa saya katakan istri saya hamil, karena saya tidak mau istri saya diapa-apain oleh Satpol tersebut. Saya ingin melindungi istri saya. Takutnya dia pukuli istri saya. Jadi secara spontan saya bilang hamil,’ jelas ini tidak nyambung dengan istilah berita bohong,” tambah Yosua.
Sebagai penutup, Erasmus memberi rekomendasi pada penegak hukum untuk jernih melihat kasus ini. Ia berharap kasus penganiayaan diperlakukan sebagaimana kasus penganiayaan sehingga pengakuan hamil enggak perlu diperhatikan. Sementara untuk pelaporan berita bohong dari ormas, Erasmus menilai penegak hukum tak perlu melanjutkan. “Enggak usah diacuhkan, enggak penting.”
Kasus pemukulan pengusaha kafe di Gowa ini jadi contoh kesekian pelaksanaan penertiban PPKM Darurat yang diwarnai tindakan temperamental aparat. VICE pernah merangkum kisah beberapa korban dan saksi kejadian di laporan ini.