Hidup Kamaruddin sepenuhnya berubah, dari awalnya terampil menggunakan senapan dan pistol, kini dia harus beralih memegang obeng dan tang. Jika ilmunya dulu dipakai buat membunuh, sekarang Kamaruddin memakai keahlian untuk merawat sepeda yang mampir ke bengkel mungil miliknya di Lampeunurut, Aceh Besar.
Tempat kerja lelaki 54 tahun akrab disapa Udin itu jangan dibayangkan seperti bengkel pada umumnya yang memuat ratusan kaleng oli berjejer di etalase dan suku cadang menghiasi dinding. Bengkelnya sangat sederhana, hanya ada belasan kaleng oli dan kunci pembuka baut berserakan di lantai, ditambah mesin kompresor untuk mengisi angin.
Videos by VICE
Bengkel tak bisa memberinya pemasukan yang tetap. Kata Udin per harinya dia paling mendapat sekitar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. “Bahkan satu hari itu kadang tidak ada uang masuk,” sebutnya sembari membongkar sepeda seorang pelanggan siang itu karena bocor ban.
Kamaruddin dulunya Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk wilayah Nisam, Aceh Utara. Dia kombatan disegani, yang resmi bergabung dengan GAM pada 1997. Nyaris separuh usia dewasanya dihabiskan untuk kabur dari kejaran tentara maupun polisi Indonesia keluar masuk hutan. Kamaruddin, seperti anggota GAM lainya, bercita-cita melepaskan wilayah Aceh dari kendali Republik Indonesia. Jakarta dulu dianggapnya menyerap nyaris seluruh kekayaan alam Aceh, menyisakan kemiskinan bagi para penduduk asli sepertinya.
Perjuangan GAM berlangsung sejak 1976 hingga 2005, memakan korban lebih dari 12 ribu jiwa, mayoritasnya warga sipil. Pemerintah Indonesia membalas GAM secara agresif lewat penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer selama 1989-1998, memicu pelanggaran HAM besar-besaran akibat praktik impunitas tentara. Pertempuran terus berlanjut sesudah reformasi. Tsunami pada 2004 yang menewaskan lebih dari 280 ribu jiwa, dan memaksa 650 ribu orang kehilangan tempat tinggal, mengubah segalanya. Aceh, kawasan pesisirnya luluh lantak, memaksa para kombatan GAM melunak. Mereka akhirnya bersedia berunding dan mengakhiri pemberontakan melalui perjanjian Helsinki.
Setelah perang berakhir, sayangnya, Udin masih berkutat dengan keterbatasan ekonomi. Dia, seperti dua ribu kombatan GAM lainnya, tak punya keahlian apapun kecuali pengetahuan perang. Sesudah luntang-lantung ketika Aceh berdamai dengan Indonesia, akhirnya Udin memilih belajar ilmu perbengkelan.
Mendirikan bengkel sendiri, kata udin saat dijumpai VICE, bukan persoalan mudah. Sebelum memiliki bengkel berukuran 4X4 meter tersebut, ia sempat berpindah-pindah dari bengkel ke bengkel agar semakin mahir merakit ataupun memperbaiki sepeda. “Lima kali sudah pindah, sempat menumpang dengan orang belajar membengkel sepeda,” kata Udin.
Keahlian tambahan di luar reparasi, misalnya tambal ban, ia pelajari secara otodidak. “Kalau menambal ban ini kan mudah, satu hari kita belajar besoknya sudah bisa,” ucap pria berkumis tebal ini.
Udin termasuk segelintir kombatan yang bersedia mencari keahlian baru demi menyambung hidup. Sebagian rekan-rekan sejawatnya yang dulu juga petinggi GAM lebih suka menjajal peruntungan lewat politik. Mereka berusaha menjadi pejabat di birokrasi Aceh yang mendapat otonomi khusus berkat perjanjian damai 2005. Sebagian mantan rekannya yang sudah sukses di politik mengupayakan bagi-bagi lahan kopi dan sawit bagi eks-kombatan. Sebagian besar mengaku belum memperoleh apa yang dijanjikan. Tahun lalu, Pemprov Aceh menjanjikan bantuan Rp650 miliar untuk ribuan mantan anggota GAM. Lagi-lagi, banyak mantan kombatan yang tak merasa mendapat dana tersebut. Pembukaan lapangan kerja bagi eks-kombatan adalah satu dari sekian pekerjaan rumah yang bertumpuk di Nangroe Aceh Darusalam sesudah perjanjian damai Helsinki, namun belum juga terselesaikan.
Dampaknya sebagian eks-kombatan GAM kembali mengangkat senjata tiga tahun lalu, dipimpin Din Minimi. Kelompok ini mengaku kecewa karena perdamaian Aceh tidak diikuti pemerataan ekonomi bagi para pejuang kemerdekaan maupun masyarakat pada umumnya. Sampai sekarang, aktivitas kelompok kriminal tersebut belum sepenuhnya berhasil ditangani aparat.
Udin menolak menggantungkan hidup dari bantuan pemerintah ataupun janji manis soal hibah lahan. Namun dia memang akhirnya kesulitan membiayai kebutuhan keluarganya. Banyak kawan seperjuangannya memilih jadi wakil rakyat di parlemen hingga kepala daerah. Tak sedikit yang sekarang betulan jadi pejabat terpandang. “Meski banyak (yang jadi pejabat-red), tapi saya tidak mengharap bantuan dari mereka,” ujarnya.
Berbeda dari Udin yang masih bisa mencari nafkah, cerita tragis datang dari kesaksian Fajri. Sesudah perang sampai sekarang dia terpaksa bekerja serabutan. Lelaki 32 tahun itu tinggal di rumah petak mungil kawasan Lampakuk, Aceh Besar. Dia hidup di bawah garis kemiskinan.
Kepada VICE, pria berbadan kurus ini mengaku ikut perang karena ajakan dari temannya saat masih 17 tahun. Fajri meninggalkan sekolah, memilih naik turun gunung di Seulawah, melakukan pemantauan lapangan tentang gerak-gerik TNI ataupun Polri.
Keahlian memantau pergerakan manusia di gunung tak bisa menghidupnya sekarang. Fajri hanya bisa meratapi aksi heroiknya semasa muda dulu. “Kini masih gini-gini aja. Paling ngopi di warung,” sebutnya saat ditanya kabar. Keseharian Fajri dihabiskan hanya berkumpul dengan warga di warung kopi. Untuk menyambung hidup, dia kadang menjadi kuli bangunan, sesekali menjadi buruh tani, membantu pemilik lahan menanam padi.
Ia mengaku pernah menerima bantuan melalui dana otonomi khusus berupa uang. Tapi uang tersebut hanya cukup untuk membeli rokok. “Untuk modal usaha kecil saja tidak cukup,” ujarnya.
Setelah itu tidak ada lagi bantuan yang datang seperti dijanjikan pemprov berupa tanah untuk berkebun. Janji yang tertuang dalam MoU Helsinki soal lapangan pekerjaan juga belum dirasakannya. Tahun berganti tahun, harapan Fajri mendapatkan semua kesempatan memperbaiki hidup perlahan hilang dari ingatannya.
Perang pun merenggut kesehatan Fajri. Selama berada di gunung, terutama pada 2004, dia jadi sering mengidap penyakit seperti malaria dan hipotermia. Penyakit itu sering kambuh hingga akhirnya mereda 2006, pasca tercapainya perdamaian.
Dari itu, hingga sekarang ia tidak bisa terkena paparan angin yang berlebihan. “Takut kambuh lagi, ini saja saya jarang keluar malam,” katanya.
Cerita lain datang dari Abdul Hadi, 37 tahun, mantan kombatan Wilayah Pasee, Aceh Utara. Dia sekarang berprofesi sebagai fotografer lepas untuk media daring lokal. Hadi bergabung dengan GAM semasa remaja. Awalnya dia saban hari berlatih memegang senjata AK-47. Nasib memberinya peruntungan lain. Sang komandan menugaskannya belajar menggunakan handycam pada 1998, untuk merekam kegiatan GAM. Pada tahun itu pula, ilmunya tentang fotografi dan videografi bertambah. Di markas, beberapa kali Hadi bertemu wartawan lepas asal Amerika Serikat bernama William Arthur Nessen yang datang hendak melakukan wawancara khusus dengan petinggi GAM. William mau mengajarinya cara memotret dan merekam pada lelaki yang sekarang akrab disapa Adi gondrong ini.
Setiap datang wartawan asing ke markas GAM, Adi selalu mencuri ilmu tentang cara merekam. Keahlian macam ini tak banyak dimiliki kombatan lain. Makanya transisi hidup Adi dari masa perang ke periode damai berjalan relatif lebih lancar dibanding rekan-rekan GAM lain.
Dari tahun 1998 hingga 2003 Sejumlah peristiwa mulai dari kontak senjata, apel pasukan GAM, maupun kegiatan seremonial lainnya tak pernah lepas dia abadikan. Ketika perdamaian tercapai pada 2005, Adi sempat dipercaya menjadi fotografer Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, yang dulunya panglima Gerakan Aceh Merdeka.
Tak mau lama-lama menjadi fotografer pejabat, Adi sekarang bekerja sebagai freelancer. Dia merasa tak cocok dengan lingkungan politik. Apalagi mengikuti rekan-rekannya mencari nafkah dengan berupaya jadi pejabat. Dari hasil kerja kerasnya, perangkat penunjang profesinya saat ini terbilang cukup. Apalagi Abdul Hadi telah mahir menggunakan, bahkan memiliki sendiri, pesawat tanpa awak (drone) untuk memotret. Adi sekarang sibuk mengelola organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) wilayah Aceh. “Saya lebih suka menjadi seperti saat ini, karena saya sudah nyaman dengan pekerjaan (freelance-red),” katanya.
Luka akibat pemberontakan Aceh memang mulai terkubur setelah 13 tahun masa damai. Namun tak sedikit eks-kombatan yang masih menyimpan kekecewaan. Adi, yang cukup beruntung bisa menyesuaikan diri di masa damai, merasa kecewa melihat sebagian temannya sesama kombatan saling bertikai karena jabatan atau berebut bantuan sekadar buat menyambung hidup. “Karena perubahan zaman, kebersamaan hilang karena sudah bersaing pada dunia politik.”