Perjuangan Bangladesh Merebut Kemerdekaan Di Lapangan Hijau

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports UK.

Oleh: Shirsho Dasgupta

Videos by VICE

25 Juli 1971, di sebuah stadion mungil yang disesaki penonton, kesebelasan dari wilayah yang kala itu masih dianggap bagian dari Pakistan Timur bermain melawan Tim Distrik Nadia, Bengal Barat. Beberapa detik menjelang kick-off, kapten tim Pakistan Timur membentangkan selembar bendera hijau. Di tengah bendera itu tertera peta wilayah Bangladesh yang kita kenal saat ini. Bendera tersebut diarak beriringan dengan bendera India, dengan sambutan tepuk tangan riuh dari 10.000 penonton yang hadir saat itu.

Dalam sebuah stadion kecil penuh debu, di sebuah pojok bumi yang tak keren-keren amat, pemain Pakistan Timur tercatat dalam keabadian. Ini adalah kali pertama bendera Bangladesh—sebuah negara yang belum diakui secara resmi sampai saat ini—dibentangkan di luar negeri. Sebagia duta dari perang kemerdekaan yang kala itu tengah berkecamuk di Pakistan Timur, Bangladesh XI—kesebelasan nasional Bangladesh pertama—sekelompok pejuang kemerdekaan yang “nyambi” menjadi pemain bola.

* * *

Pada 1947, tentara Inggris dan aparat kolonial Inggris angkat kaki dari seluruh anak benua India. Ada dua warisan yang mereka tinggalkan: Republik India dan Republik Islam Pakistan. Pakistan kelak akan dibagi menjadi dua wilayah besar: Pakistan Barat dan Pakistan Timur, mengapit semenanjung India. Kemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris adalah hasil perjuangan gigih yang panjang. Namun, kemerdekaan yang akhirnya diraih harus dibayar mahal. Akibat pemecahan subkontinen India menjadi dua negara terpisah, masa menjelang dan awal kemerdekaan India-Pakistan diwarnai eksodus massal penduduk menuju wilayah sesuai agama yang mereka anut: Hindu dan Islam. Imbasnya, kerusuhan dan pembantaian massal meletus di Provinsi Bengal dan Punjab.

Di saat yang sama, hubungan antara Pakistan Timur dan Pakistan Barat tak begitu hangat. Luasnya wilayah India yang memisahkan kedua kawasan itu menyisakan agama sebagai satu-satunya hal yang menyatukan kedua wilayah. Secara linguistik dan budaya, Penduduk Pakistan Timur lebih dekat dengan penduduk provinsi Bengal Barat dan Assam daripada budaya orang-orang Punjabi dan kultur Pashtun di Pakistan Barat.

Perbedaan budaya ini bertambah kontras seiring waktu. Walau memiliki populasi yang lebih tinggi, penduduk Pakistan Timur memiliki pengaruh politik yang terbatas di Islamabad, ibu kota Pakistan yang terletak 3.200 kilometer dari Pakistan Timur. Jurang kesenjangan segera menganga. Penduduk Pakistan Barat menikmati anggaran belanja APBN yang tinggi, sementara penduduk Pakistan Timur dipandang inferior dan para perempuannya dianggap tidak pantas “dinikahi.”

Pertengahan 1970, sebuah gerakan nasionalis populer di Bengali mulai muncul dan berusaha memperjuangkan otonomi di wilayah Pakistan Timur. Gerakan politik ini membuat Jenderal Yahya Khan marah—yang saat itu baru saja menjabat sebagai Presiden Pakistan setahun sebelumnya. Maret 190, Sheikh Mujibur Rahman, pemimpin Liga Awami, membacakan sebuah pidato yang ditutup dengan kalimat “Perjuangan kami bertujuan mencapai kebebasan. Perjuangan kami bertujuan mencapai kemerdekaan.”

25 Maret 1971, Islamabad memulai sebuah operasi militer yang diberi nama “Operation Searchlight” guna memberantas para pemberontak—baik itu yang sifatnya politis, sosial atau bersenjata—di kawasan Pakistan Timur. Beberapa bulan kemudian operasi militer tersebut memicu terjadinya genosida sistematis yang menelan korban jiwa sebanyak 3 juta warga. Diperkirakan 10 juta warga Pakistan Timur terpaksa memutuskan mengungsi ke India akibat operasi militer tersebut.

Merespons agresi Pakistan, pemerintahan sementara dibentuk di Bangladesh, yang kemudian berpindah ke Kalkuta di India akibat pengasingan. Diam-diam pemerintah India ikut mengucurkan dana kepada pemerintahan Bangladesh. Tentara dan Badan Intelejensi India ikut memberikan pelatihan perang gerilya. Berbekal pelatihan ini, Mukti Bahini (“Tentara Pembebasan”) menyatakan perang terhadap tentara Pakistan yang menguasai Pakistan Timur.

Unjuk rasa kemerdekaan di Dhaka. Peserta membawa julir untuk menegaskan perjuangan mereka merebut kemerdekaan, pada bulan Maret 1971. Sumber gambar: PA Images

Pemerintahan sementara Bangladesh menunjuk Shamsul Haq untuk membentuk asosiasi olah raga Bangladesh. Syahdan dibentuklah Banglasdeh Krira Samity (Komite Olah Raga Bangladesh). Setelah mendapatkan pertolongan dari sekretaris komite pertama Lutfor Rahman, mantan pemain dan pelatih sepakbola Ali Imam, serta mantan pemain bola East End Club Saidur Rahman Patel, Haq membentuk kesebelasan sepakbola yang bertugas sebagai duta revolusi perjuangan kemerdekaan Bangladesh di lapangan hijau.

Tak lama kemudian All India Radio dan Shadhin Bangla Betaar Kendro menyiarkan undangan bagi seluruh pemain sepakbola Bangladesh menghadiri seleksi masuk tim nasional. Pelatih Nani Bashak berhasil memilih 25 pemain untuk mengikuti pelatihan khusus sebelum menjalani tur keliling dunia. Rencananya, mereka akan bermain dalam serangkaian pertandingan persahabatan guna mengumpulkan dana mendukung Mukti Juddo (“Perang Kemerdekaan”).

Beberapa pemain yang kini melegenda terpilih masuk skuad setelah pelatihan dimulai. Kazi Salahuddin, salah satu pemain sepakbola Bangladesh paling berbakat, awalnya ikut kamp pelatihan pejuangan gerilya. Di sanalah, Salahuddin bertemu seorang jurnalis foto yang menyampaikan informasi pembentukan timnas sepakbola Bangladesh. Sebelum bergabung, Salahuddin telah lebih dahulu menjadi seorang binytang di Dhaka club Mohammedan Sporting. Salahuddin bergegas terbang menumpang pesawat Angkatan Udara India ke Kalkuta untuk bergabung dengan kesebelasan pertama Bangladesh.

Lahir kemudian  Shadhin Bangla Football Dol (“Kesebelasan Pemebasan Bengal”). Zakaria Pintoo ditunjuk sebagai kapten tim, sementara Protap Shankar Hazra menjadi wakilnya. Bersama pemain seperti Kazi Salahuddin, Nurunnabi, Saidur Rahman Patel, Ali Imam, Govinda Kundu, Amalesh Sen dan Sheikh Ashraf Ali, mereka mulai mengukir reputasi di lapangan hijau, yang sampai sekarang tercatat dengan tinta emas dalam hikayat olah raga dan politik Bangladesh.

Akhir Juli 1971, tim nasional Bangladesh menjalani debut pertandingan di stadion Krishnanagar, Bengal Barat, India. Kapasitas stadion tempat pertandingan itu sebetulnya sangat kecil. Sebagian penonton sampai harus memanjat pohon dan naik atap rumah di sekitar stadion untuk menyaksikan laga. Pertandingan berlangsung ketat dan berakhir dengan kedudukan 2-2. Di antara penonton, terdapat perwakilan pemerintahan pengasingan Bangladesh, termasuk Perdana menteri Tajuddin Ahmed. Dalam pertandingan inilah, bendera Bangladesh pertama kali dikibarkan.

“Aku masih ingat hari itu sampai sekarang. Menjadi orang pertama yang membentangkan bendera Bangladesh di luar negeri adalah pengalaman tak terlupakan. Pertandingan tersebut adalah momen bersejarah bagi Bangladesh,” ujar Zakaria Pintoo saat mengingat-ingat pengalaman 40 tahun lalu dalam sebuah wawancara dengan Daily Star, harian berbahasa Inggris ternama di Bangladesh.

Mengibarkan bendera jelas sebuah tindakan politis dan terhitung sangat kontroversial. Apalagi, saat itu India belum mengakui resmi keberadaan Bangladesh sebagai sebuah negara berdaulat. Penyelenggara pertandingan dari India sempat merayu kesebelasan Bangladesh untuk mengurungkan niat membentangkan bendera. Bujukan itu sempat berhasil meski akhirnya bendera tetap dikibarkan di awal pertandingan. Tindakan Pinto membuat Pemerintah India geram. Sebagai konsekuensinya, Pemimpin Distrik Nadia mendapat teguran keras dari Pemerintah India, lalu dibebastugaskan karena dianggap teledor membiarkan pemain asal Bangladesh mengibarkan bendera nasional. Di samping itu, Nadia juga kehilangan posisi dalam Asosiasi Sepakbola India selama setahun gara-gara peristiwa itu.

Di pertandingan selanjutnya Bangladesh XI bertemu tim Mohun Bagan dari Kalkuta, salah satu kesebelasan paling ditakuti di Asia saat itu. Lantaran kontroversi yang terjadi dalam debut Bangladesh XI, Bagan harus bermain di bawah bendera Gostha Pal XI guna menghormati salah satu pemain legendaris mereka dan raksasa sepakbola India. Sekalipun menang mudah 4-2, kapten Bagan saat itu—Chuni Goswami—menunjukkan penghargaan mendalam bagi kesebelasan Bangladesh yang rata-rata diisi pemain amatir.

“Saat pertama kali menyandang ban kapten Mohun Bagan, aku berniat ikut ambil bagian dalam gerakan kemerdekaan…dengan segala kecintaan kami pada sepakbola, kami berbagi lapangan bersama para pemain timnas Bangladesh dalam upaya merebut kemerdekaan,” ujarnya setelah pertandingan usai.

Pada tanggal 14 Agustus—hari kemerdekaan Pakisan, Bangladesh XI menekuk Calcutta XI 4-2. Menjelang kick-off, dalam sebuah gestur untuk mengolok-olok politikus Islamabad, anggota kesebelasan Bangladesh menginjak-injak bendera Pakistan, membakar, dan melemparkan sisa-sisa bendera ke tanah. Lagi-lagi, Pemerintah India dibuat naik pitam karenanya.

Berdasarkan catatan Kausik Bandopadhyay, sejarawan sekaligus penulis buku Bangladesh Playing: Sport, Culture and Nation, pertandingan Bangladesh XI yang paling banyak memancing perhatian adalah laga melawan Sports Week XI di Kota Bombay. Khalid Ansari, editor Sports Week, adalah figur penting yang mengatur laga tersebut. Sports Week bahkan diperkuat oleh pemain criket India kenamaan Mansour Ali Khan. Tak sekedar jadi bintang, Khan mencetak satu gol dalam pertandingan itu.

Kesebelasan Bangladesh menang telak 3-1. Setelah pertandingan usai, Gubernur Bombay dan bintang TV Bollywood Dillip Kumar menyumbang sejumlah uang kepada Bangladesh Relief Fund. Hasil penjualan tiket hari itu mencapai angka £1,800 (setara dengan Rp29 juta).

Bangladesh XI bertemu Balurghat XI dalam pertandingan terakhir mereka di Bengal Barat. Laga ini jadi sangat emosional lantaran sebuah kamp pelatihan perang gerilya terletak di Balurghat dan pemain Bangladesh XI menyempatkan diri menemui para pejuang kemerdekaan sebelum bertanding.

Pada tanggal 3 Desember 1971, Angkatan Bersenjata Pakistan menyerang 11 lapangan udara yang tersebar di wilayah utara India. Malam itu juga, Perdana Menteri India saat itu Indira Gandhi menyatakan perang terhadap Pakistan. Dua minggu kemudian, pasukan Pakistan takluk. Mereka secara resmi menyatakan menyerah pada sore tanggal 16 Desember 1971.

Petinggi Militer Pakistan berpangkat Letnan Jenderal menandatangani kesepakatan penyerahan diri di bawah pengawasan pejabat India. Sumber foto: PA Images

Bangladesh XI tengah bersiap-siap menuju Delhi untuk menjalani pertandingan penggalangan dana berikutnya ketika berita gembira itu tiba: Bangladesh resmi merdeka. Timnas Bangladesh menjalani 16 laga di tanah India—menang 12 kali, kalah tiga kali, dan seri satu kali—serta berhasil mengumpulkan dana sebesar 500,000 Taka (sekitar Rp89 juta), angka yang tentunya tak bisa dibilang kecil pada masa itu.

Timnas Bangladesh XI pulang sebagai duta revolusi. Sebagian besar anggotanya terus bermain baik di liga dalam maupun luar Bangladesh. Banyak dari mereka menerima anugrah dari Pemerintah Bangladesh atas perjuangannya menyokong kemerdekaan.

Sayang sekali, di luar Bangladesh, kiprah para pesepakbola yang luar biasa ini tak banyak diketahui.

Ikuti akun penulis di: @ShirshoD