Perjuangan Biarawati Katolik Sepuh Membebaskan Orang-Orang dari Hukuman Mati

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly

Meski pelaksanaan hukuman mati telah menurun sejak dua dekade terakhir, kondisi politik global membuat hukuman ini bisa populer kembali. Termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat. Di negara bagian kawasan Selatan, hukuman mati masih terus dilaksanakan. Tak semua sepakat dengan tetap berlakunya hukuman barbar tersebut. Biarawati 78 tahun salah satunya. Dia mengabdikan hidupnya untuk melawan praktik hukuman mati.

Videos by VICE

“Tindakan terorisme sedang marak, dan kondisi politik bisa berubah dalam sekejap,” kata Suster Helen Prejean, saat menyinggung kondisi dunia akhir-akhir ini. Tak lama setelah seseorang melakukan serangan truk di New York City November lalu, Presiden Trump mencuit di akun Twitter pribadinya bahwa tersangka “HARUS DIHUKUM MATI.” Belakangan Trump kembali menegaskan keinginannya menerapkan hukuman mati di tingkat nasional, dengan mengusulkan agar terdakwa kasus perdagangan narkoba (opioid) sebaiknya diberi hukuman mati.

Sebanyak 31 negara bagian AS masih menerapkan hukuman mati bersama dengan pemerintah federal dan pasukan militer, tapi pelaksanaannya telah menurun sejak 1999. Salah satu alasannya karena obat untuk suntikan mematikan semakin sulit didapat. Sayangnya, awal pekan ini, Oklahoma mengumumkan bahwa mereka memiliki metode baru untuk praktik hukuman mati: mengurung tahanan di ruangan tanpa oksigen. Kalau dipikir-pikir, metode ini tidak beda jauh dari kamar gas. Prejean geram saat mendengar usulan ini.

“Tidak peduli apa yang pernah dilakukan seseorang di masa lalunya, mereka tetap berhak untuk hidup,” tandasnya dengan suara serak, menyiratkan kesedihannya dengan usulan ini. Prejean sudah terbiasa menunjukkan reaksi emosional yang stabil atas pekerjaannya, tetapi bukan berarti dia tidak sensitif. Dia telah mendedikasikan hidupnya untuk memberi dukungan emosional dan spiritual kepada napi hukuman mati dan keluarga korban sejak 1981.

“Sampai saat ini, saya sudah mengurusi tujuh orang,” ujar Prejean. “Sekarang saya sedang mengurus Manuel Ortiz, pria asal El Salvador yang diberi hukuman mati di Louisiana. Dia tidak bersalah. Dia orang ketiga yang saya urus dan tidak bersalah.”

Prejean terkenal atas buku-buku ciptaannya. Pada 1993, dia menulis pengalamannya selama menjadi saksi pelaksanaan hukuman mati terhadap Elmo Patrick Sonnier dan Robert Lee Willie. Bukunya berjudul Dead Man Walking. Pada 1995, bukunya diadaptasi menjadi film (Susan Sarandon yang memainkan perannya). Pada 2000, kisahnya diangkat ke panggung opera. Kemudian pada 2002, karyanya dibuat menjadi drama. Buku ketiganya, memoar River of Fire, akan dirilis akhir tahun ini.

Dia mengatakan bahwa keputusannya menjadi aktivis anti hukuman mati di Amerika Serikat datang secara kebetulan. Dia merasa bahwa pengabdian religiusnya “sangat jauh dan terputus” dari dunia nyata, dan dia mulai sadar politik saat berusia 41 berkat biarawati yang merupakan seorang sosiolog.

Perasaan tertekannya melihat ketidaksetaraan yang terjadi sejak dulu di Amerika membawanya bekerja di proyek perumahan bergaji rendah, terutama di lingkungan orang berkulit hitam di New Orleans. Di sana, temannya meminta Prejean menulis surat kepada seseorang yang terpidana mati, Elmo Patrick Sonnier, yang dihukum karena telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan di 1978.

“Saya menyaksikan proses eksekusi yang terencana ini. Rasanya sangat buruk.”

Meskipun Prejean membenci masa lalu Sonnier yang penuh kekerasan, dia tertarik dengan “sifat manusiawi” dan kebutuhannya untuk surat-menyurat. Pada akhirnya, kegiatan surat-menyurat mereka berubah menjadi kunjungan langsung. Lalu, pada 5 April 1984, Prejean menyaksikan proses eksekusi Sonnier.

“Saya muntah saat pertama kali keluar dari sel Pat Sonnier,” kenangnya. “Saya menyaksikan proses eksekusi yang terencana ini. Sangat buruk. Dari situ, saya menyadari bahwa tidak ada orang yang berhak untuk dihukum mati.” Setelah kejadian itu, Prejean berjanji akan menceritakan kisah Sonnier kepada dunia, agar kita bisa memahami realita hukuman mati dan menghentikan “keadilan yang gagal ini.”

Kasus Mahkamah Agung 1972 sempat menangguhkan hukuman mati, tetapi mereka menerapkannya lagi di 1976, memacu gerakan politik populis yang menguntungkannya, terutama di negara-negara bekas Konfederasi. “Saat saya menulis Dead Man Walking pada 1993, sekitar 80 persen rakyat mendukung hukuman mati,” kenang Prejean. “Di negara bagian Selatan, jumlahnya mencapai 95 persen.” Menurut laporan Pew Research, pada 2016, pendukung hukuman mati berada di sekitar angka 49 persen, sedangkan 42 persennya menolak.

Prejean menganggap dirinya sebagai “utusan yang menceritakan kisah mereka.” Dia berupaya untuk mengakhiri hukuman mati. Aktivismenya berkembang sejak buku pertamanya. Di tahun 90an, dia turut serta membentuk Kampanye Moratorium, yang berhasil mengumpulkan jutaan tanda tangan yang mendesak PBB memulai moratorium global atas hukuman mati. Dia juga pernah bertugas di dewan kelompok-kelompok aktivis anti hukuman mati, ikut mendirikan “Survive,” kelompok advokasi korban di New Orleans yang menyediakan konsultasi terhadap napi hukuman mati dan keluarga korban pembunuhan. Saat ini, dia sering berpidato di depan umum dan tetap memberikan dukungan spiritual kepada napi dan keluarga korban. Dia juga aktif menyuarakan pendapatnya di media sosial.

Prejean menantang segala bentuk kekerasan. Dia sering mengatakan, “Mengapa kita membunuh pelaku pembunuhan untuk menunjukkan kalau membunuh itu tidak baik?” Secara spiritual, dia memercayai emulasi Yesus, tetapi secara politik, dia menganggap hak asasi manusia tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Selain itu, Prejean merasa perdebatan tentang hukuman mati lebih didasarkan pada sisi politik, bukannya kemanusiaan. “Semuanya bermula pada 1980an. Politikus akan menyerang lawannya yang tidak menyetujui hukuman mati. Benar-benar murni politik,” katanya.

Walaupun Prejean berbicara tentang keadilan sosial dan pembaruan sistem hukum, dia menganggap cara paling efektif menghentikan hukuman mati yaitu dengan mendekatkan kita pada kenyataan mengerikan itu.

“Proses eksekusi bersifat rahasia dan aneh. Ada protokol yang ketat. Proses kematiannya sangat terencana. Tidak ada yang boleh berbicara atau mengeluarkan suara saat proses berlangsung. Mereka mengikat napi. Ada sipir yang menganggukkan kepala kepada pria yang ada di belakang kaca satu arah, yang bisa melihat ke luar, tetapi tidak bisa melihat ke dalam,” katanya.

“Kita seharusnya berfokus pada akar permasalahan kekerasan: kemiskinan dan keputusasaan yang membuat keputusan mereka berakhir pada pembunuhan.”

Walaupun Prejean berbicara tentang keadilan sosial dan pembaruan sistem hukum, dia menganggap cara paling efektif menghentikan hukuman mati yaitu dengan mendekatkan kita pada kenyataan mengerikan itu.

“Proses eksekusi bersifat rahasia dan aneh. Ada protokol yang ketat. Proses kematiannya sangat terencana. Tidak ada yang boleh berbicara atau mengeluarkan suara saat proses berlangsung. Mereka mengikat napi. Ada sipir yang menganggukkan kepala kepada pria yang ada di belakang kaca satu arah, yang bisa melihat ke luar, tetapi tidak bisa melihat ke dalam,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa unsur penting lainnya untuk mengubah opini publik terhadap hukuman mati yaitu dengan aktif memberikan tempat kepada keluarga korban pembunuhan untuk meredam politikus yang menyetujui hukuman mati. “Di New Jersey sepuluh tahun yang lalu, badan legislatif mereka mengadakan sidang untuk membatalkan hukuman mati. 62 keluarga korban pembunuhan bersaksi: ‘Jangan bunuh pelaku untuk membawa keadilan bagi kami,’” katanya. “Mereka mengatakan bahwa hukuman mati hanya akan membuat mereka menjadi korban lagi, menempatkan mereka dalam pola bertahan menunggu “keadilan”, yang berupa pembunuhan lainnya.”

Meskipun Prejean merupakan aktivis independen yang menentang hukuman mati, dia yakin akan semakin banyak orang yang mendukung aksinya. Terlebih lagi apabila kita melihat murid sekolah sudah berani melakukan aksi protes untuk menuntut pengendalian senjata api setelah insiden penembakan yang terjadi di Stoneman Douglas High School, di mana pelaku, Nikolas Cruz, bisa saja dihukum mati.

“Sangat penting bagi kita untuk mengkaji ulang masalah ini,” katanya. “NRA menumbuhkan ketakutan dalam hidup kita, bahwa kita harus melindungi keluarga dan diri sendiri, serta bertahan saat menangani kekerasan.”

“Kita seharusnya berfokus pada akar permasalahan kekerasan: kemiskinan dan keputusasaan yang membuat keputusan mereka berakhir pada pembunuhan,” katanya. “Sangat membanggakan apabila kita memiliki arus kuat dalam melawan kekerasan.”