Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.
Muhammad Amin Sidik belum lama ini melaut di Teluk Saleh, dekat Pulau Sumbawa. Perahunya terombang-ambing ombak di lautan hari itu. Sidik tak sedikitpun khawatir. Pria itu sedang gembira. Perahunya penuh mengangkut ikan karang bernilai tinggi seperti kakap dan kerapu. Dia lantas mengeluarkan ponsel pintarnya yang bermerk Huawei, lantas bersiap mengukur panjang tubuh ikan-ikan yang dia tangkap. Sidik merasa perlu melakuan ini untuk memastikan dua jenis ikan yang keberadaaannya terancam di Teluk Saleh tetap bisa dia tangkap.
Videos by VICE
Sidik termasuk dalam grup percobaan beranggotkan beberapa nelayan kecil yang terlibat Program Penyelamatan Kerapu dan Kakap di Teluk Saleh—sebuah upaya kolaborasi yang digagas Direktorat Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan organisasi nirlaba Wildlife Conservation Society. Program tersebut bertujuan untuk mencatat populasi kakap dan kerapu dengan menggabungkan pencatatan oleh para nelayan setempat dan analisis ilmiah.
Program yang dimulai sejak April 2016 itu melatih nelayan setempat dan para pengepul untuk mencatat hasil tangkapan mereka dan memasukkan dalam sebuah database yang besar. Kebanyakan jumlah kerapu dan kakap di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Sidik membantu mengumpulan beragam jenis informasi dari mulai jumlah tangkapan, besar dan panjang ikan, jenis peralatan penangkap ikan yang digunakan dan frekuensi melaut. Data-data tersebut dikumpulkan saban hari pada titik-titik pendaratan perahu di lima desa sekitar Teluk Saleh lewat sebuah database yang dikelola oleh WCS Indonesia.
Sidik memeriksa kerapu marah yang ditangkapnya hari itu. “Panjang rata-rata ikan jenis ini 320 milimeter. Kalau panjangnya segitu, berarti ini ikan dewasa,” kata Sidik. Lebih dari 50 persen kerapu merah yang ditangkap di Teluk Saleh masih belia. Artinya, mereka belum mencapai panjang maksimalnya. Nelayan setempat sadar hasil tangkapannya menyusut dari tahun ke tahun karena penangkapan ikan tak terkendali. “Banyak dari kami menggantungkan pasokan makanan dan pendapatan kami pada ikan. Kami harus melakukan sesuatu untuk menjaga keberadaan ikan-ikan itu,” imbuh Sidik.
Kakap dan kerapu di Teluk Saleh mulai ditangkap besar-besaran mulai dekade ‘90an, seiring meningkatnya permintaan dari Hong Kong, Taiwan, Jepang dan Amerika Serikat. Provinsi Nusa Tenggara Barat, tempat Sidik Bermukim, adalah sentra pemasok utama Kerapu dan Kakap dan sampai saat ini. Indonesia, di sisi lain, tercatat sebagai produsen hasil laut nomor dua di dunia.
Sayangnya, kerapu dan kakap tidak dianggap dilindungi keberadaannya oleh undang-undang di Indonesia. Alhasil, kosongnya beleid yang mengatur penangkapan kedua jenis ikan ini dimanfaatkan oleh raksasa penangkapan ikan lokal untuk melakukan penangkapan besar-besar. Imbasnya, nelayan kecil macam harus puas melihat jumlah tangkapan terus menerus turun.
Seperti nelayan kecil lainnya di NTB, Sidik melaut dekat terumbu karang dengan menggunakan perahu motor kecil. Tentu saja, perlengkapan melaut sidik sudah jauh ketinggalan zaman dibandingkan dengan pelacak posisi ikan seperti SPOT Tracer, yang mengirimkan sinyal live ke ponsel atau laptop para ilmuwan dan membantu mereka memetakan area yang tepat untuk menangkap kerapu dan kakap di Teluk Saleh. Semestinya, pola pengumpulan data macam ini digunakan untuk mencegah kepunahan kedua jenis ikan itu alih-alih digunakan untuk membantu perusahaan penangkapan ikan raksasa.
Ponsel pintar sudah lazim digunakan di Teluk Saleh. Oleh karenanya, ponsel pintar jadi gawai yang sangat berguna bagi 400 nelayan yang bergabung dalam program pencegahan kepunahan kerapu dan kakap. Rata-rata menghabiskan uang sekitar Rp50-100 ribu untuk membeli paket data. Ponsel Sidik sendiri telah memiliki aplikasi bernama ‘WCS Fish’. Sayang, aplikasi ini punya kelemahan. Tak semua jenis Android bisa menjalankan aplikasi ini.
Dengan mengunggah foto ikan lewat ponsel atau kamera anti air sederhana ke database WCS, para nelayan ini telah ikut ambil baian dalam mengumpulan informasi berharga tentang jumlah kerapu dan kakap yang telah dipasarkan. Para ilmuwah yang bekerja di WCS kemudian bisa menentukan apakah ikan-ikan yang dipasarkan masih beli atau mengukur dampak penangkapannya pada kemampuan kedua jenis ikan melakukan reproduksi.
Sepanjang kurun April 2006 hingga Maret 2017, data-data tersebut diunggah ke database WCS dari 922 perjalanan melaut di Teluk Saleh. Data-data tersebut kemudian digunakan untuk menyusun rencana pengelolaan ikan terumbu karang skala kecil pertama di Indonia yang diluncurkan November tahun lalu.
Komunitas nelayan di Teluk Saleh bekerja keras untuk mengembalikan populasi ikan seperti sedia kala dengan mengandalkan data ilmiah tentang populasi ikan, yang dikumpulkan secara teliti oleh nelayan, pedagang ikan dan pecinta lingkungan, serta pengambilan keputusan berdasarkan data. Dengan menggunakan data ukuran optimal ikan dewasa, baru-baru sebuah kesepakatan mengenai ukuran ikan yang boleh ditangkap bisa disahkan setelah melewati proses konsultasi sebanyak 13 kali dengan pemerintah daerah NTB. Kini, nelayan dan pengepul ikan tak lagi menangkap kakap dan kerapu dengan berat di bawah 500 gram.
Informasi penting ini bisa diakses oleh pemerintah provinsi atau kabupaten agar bisa digunakan untuk menyusun kebijakan ilmiah untuk melindungi potensi kelautan Teluk Saleh. Program ini direncanakan berlanjut sampai sepuluh tahun mendatang.
“Saya sudah mulai menangkap ikan di sini sejak umur sepuluh tahun. Menjadi nelayan sudah jadi bagian hidup saya,” kata Sidik yang percaya tangkapan meningkat beberapa bulan terakhir meski belum ada data yang mendukung klaimnya. “Saya berharap bila komunitas nelayan di sini ikut ambil bagian dalam melindungi populasi ikan, kondisi di Teluk Saleh akan membaik.”