Pemilihan umum Thailand merupakan salah satu peristiwa politik paling heboh di Asia Tenggara, selain pemilu serentak di Indonesia April mendatang. Pemilihan pada 2019—yang diklaim sebagai pemilu demokratis pertama sejak terjadi kudeta militer 2014—menghadirkan banyak sosok mengejutkan di panggung politik nasional.
Misalnya pada awal Februari, Kerajaan Thailand dikejutkan keputusan Partai Thai Raksa Chart mencalonkan Puteri Ubolratana Rajakanya sebagai calon Perdana Menteri. Ubolratana menjadi anggota keluarga raja pertama yang mencalonkan diri untuk jabatan sipil tersebut sepanjang sejarah Thailand modern. Nominasi ini dibatalkan atas intervensi raja, dan partai yang mencalonkannya segera dibubarkan sepihak oleh Komisi Pemilihan Umum.
Videos by VICE
Selain sejarah keterlibatan anggota kerajaan (walau hanya seumur jagung), Pauline Ngarmpring juga ikut menggegerkan kancah politik Negeri Gajah Putih. Dia merupakan calon menteri perdana transgender pertama di Thailand. Ngarmpring bergabung dengan Partai Mahachon pada November 2018 dan merupakan satu dari tiga orang yang dipilih partai sebagai calon petinggi pemerintahan.
Sebelum menjalankan operasi ganti kelamin di Amerika Serikat, Ngampring sudah dikenal sebagai jurnalis dan pengusaha terkemuka di kancah olahraga Thailand. Setelah sepenuhnya bertransisi jadi perempuan, ia menjadi duta sekaligus juru bicara komunitas LGBTQ Thailand. Dia memutuskan terjun ke politik demi membela hak-hak komunitas ini yang masih terpinggirkan—bahkan di Thailand yang relatif sangat toleran terhadap LGBTQ dibanding negara Asia Tenggara lain.
Tonton dokumenter VICE saat nongkrong bersama bangsawan Thailand yang gemar naik Ferrari:
“Saya beruntung karena mempunyai karir panjang di dunia bisnis, dan meraih kesuksesan sebelum saya melakukan transisi kelamin,” ujarnya saat diwawancarai Reuters. “Kalau tidak, transgender di negara ini tidak mempunyai banyak peluang kerja dan terpaksa bekerja di industri hiburan atau perhotelan.”
Thailand sekilas adalah wilayah aman bagi komunitas LGBTQ, karena pemerintah setempat mengizinkan praktik operasi kelamin sejak lama. Pada 1956, Thailand juga tak lagi memasukkan homoseksualitas sebagai pelanggaran hukum pidana. Sekilas, komunitas LGBTQ Thailand sepertinya disambut ramah sebagai anggota masyarakat. Rupanya komunitas transgender masih berjuang melawan diskriminasi dan stigma, terutama di bidang tenaga kerja. LGBTQ juga tidak memiliki perlindungan hukum memadai di Thailand.
Pada 2015 pemerintah Thailand—di bawah kepemimpinan junta militer—sempat mengesahkan Undang-undang Kesetaraan Gender demi melindungi komunitas LGBTQ dan menghukum diskriminasi berbasis ekspresi gender atau orientasi seksual. Faktanya, sampai sekarang Thailand secara legal belum mengakui perubahan gender, atau adopsi anak oleh pasangan sesama jenis.
Seorang aktivis berkata kepada Reuters jika komunitas LGBTQ di Thailand berharap Ngarmpring akan menyorot dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka.
Ngarmpring mengakui peluangnya menjadi perdana menteri sangat kecil, ia terus berkampanye untuk mempromosikan kesetaraan hak komunitas LGBTQ . “Kami tidak menganggap diri lebih unggul dari laki-laki atau perempuan. Kami hanya ingin mengatakan kami setara,” tuturnya kepada Associated Press.
Thailand sebelumnya pernah mempunyai perdana menteri perempuan, yakni Yingluck Shinawarta—yang melarikan dan mengasingkan diri dari Thailand setelah digulingkan militer—partisipasi perempuan dalam kancah politik Thailand masih cukup rendah.
Menurut Persatuan Inter-Parlementer, perwakilan perempuan dalam politik di Negeri Gajah Putih terendah di kawasan ASEAN. Perempuan setempat hanya menduduki hanya lima persen kursi di parlemen Thailand–setara 13 dari 500 kursi. Menariknya tujuh perempuan, termasuk Ngarmpring, mencalonkan diri sebagai perdana menteri tahun ini.
Saat diwawancarai Khaosod English, juru bicara Partai Demokrat dan calon perdana menteri lainnya, Siripa Intavichein, menjelaskan peran perempuan dalam politik Thailand kerap diremehkan sekadar “wajah cantik” atau pemanis saja. Dia percaya seharusnya politikus dipilih “berdasarkan kemampuannya, bukan gendernya.” Siripa juga percaya jika sistem berbasis kuota sangat diperlukan demi meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik di negaranya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.