Duduk Perkara Perkumpulan Stand-up Comedian Gugat Pembatalan Merek ‘Open Mic’

Perkumpulan Stand-up Comedian Gugat Pembatalan Merek 'Open Mic' oleh Ramon Papana di Ditjen HAKI sejak 2013 ke PTUN

Dunia lawakan tunggal di Tanah Air, atau lazim dijuluki stand-up comedy, sedang panas.

Pada Kamis, 25 Agustus 2022, sekelompok komika yang menamakan diri ‘Perkumpulan Stand-up Comedian Indonesia’ secara resmi mengajukan gugatan pembatalan merek ‘Open Mic Indonesia’ yang didaftarkan komedian senior Ramon Papana ke pemerintah sejak nyaris satu dekade lalu.

Videos by VICE

Penggugat merasa dirugikan karena penyelenggaraan acara latihan manggung komika di beberapa kafe rutin dikirimi somasi oleh tim Ramon, dengan alasan telah menggunakan kata open mic pada tajuk acara. Tindakan Ramon dianggap perkumpulan ini melanggar Pasal 20 huruf a dan Pasal 21 ayat 3 UU Merek No. 26/2016, karena dilandasi itikad buruk dan mengganggu ketertiban umum.

Selain Ramon, perkumpulan menjadikan Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham, sebagai pihak yang turut tergugat. Sebab Ditjen HAKI selaku pemeriksa merek dianggap lalai, sehingga meloloskan pendaftaran merek tersebut. Nama-nama komika populer seperti Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, dan Bintang Emon hadir di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk mendaftarkan berkas gugatan.

“Saya mewakili teman-teman komika se-Indonesia mendaftarkan gugatan pembatalan merek ‘Open Mic Indonesia’ yang telah mendapatkan sertifikat merek dari Ditjen Kekayaan Intelektual (HKI). Ini terpaksa kami lakukan karena istilah open mic yang jelas-jelas istilah umum dalam dunia hiburan, telah dibajak dan dimonopoli oleh satu pihak saja dan kemudian menyebar somasi melarang pihak-pihak lain menyelenggarakan acara yang bertajuk ‘Open Mic’,” ujar Ketua Perkumpulan Stand-up Indonesia Adjis Doaibu, di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Bagi pembaca yang tidak familiar dengan dunia komedi tunggal, izinkan kami jelaskan konteks kasusnya dulu. 

Istilah open mic mengacu pada kegiatan stand-up comedy di mana para komika mencoba materi-materi baru. Acara semacam latihan manggung ini kerap diadakan oleh pecinta dan penggiat kesenian tersebut di hampir semua daerah di Indonesia untuk menyediakan wadah bagi para komika berlatih membawakan lelucon yang ditulis, baik komika yang masih belajar atau yang sudah berpengalaman.

Lazimnya, komika yang ingin menggelar open mic bekerja sama dengan pemilik kafe sebagai penyedia tempat. Tidak jarang juga pemilik tempat lah yang meminta komunitas untuk menyelenggarakan acara open mic di tempatnya.

Rupanya, sejak 2013 Ramon Papana sudah mendaftarkan hak merek “Open Mic Indonesia” ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Intelektual. Tindakan ini membuat banyak penyelenggara acara yang menyematkan unsur ‘open mic’ pada publikasinya, berujung dikirimi somasi oleh tim pengacara Ramon sebagai pemilik merek. Tentu saja, kasus ini direspons keras oleh para komika yang menganggap kata open mic merupakan istilah umum yang seharusnya dimiliki publik.

Pakar Kekayaan Intelektual sekaligus kuasa hukum penggugat Panji Prasetyo menuturkan kliennya memutuskan menggugat pembatalan merek setelah upaya monopoli dari Ramon dianggap mengganggu, “Perkumpulan standup mereka terganggu sekali ya rekan mereka, penyelenggara acara [terpaksa] ganti nama lah, tawar-tawaran, didatengin lawyer lah,” jawab Panji saat dihubungi VICE.

“Jahatnya itu mereka [hanya mendaftarkan nama] ‘Open Mic Indonesia’ sebagai merek. Kalau kami pakai acara [menggunakan nama] ‘Open Mic Indonesia’ baru oke lah [disomasi]. Tapi, kan [para komika pakai] open mic aja [tetap disomasi]. Sama kayak ada merek Marathon Indonesia, tapi enggak jadi masalah karena kan dia enggak gangguin orang-orang lain yang bikin lomba maraton.”

Saat dikonfirmasi terpisah, Ramon Papana mengaku tak ambil pusing terkait gugatan tersebut. Dia menjelaskan upaya semacam ini sudah berulang kali terjadi. “Tinggal kami serahin saja sama Kemenkumham. Saya kan bukan penjahat, saya daftarin sesuai prosedurnya, saya merasa itu ‘Open Mic Indonesia’ itu hak saya. Memang ciptaan saya, saya membuat formatnya,” ujar Ramon kepada VICE Indonesia. 

Ditanyai seputar alasannya mendaftarkan istilah tersebut, Ramon menyatakan ia ingin mengontrol kegiatan open mic yang beberapa tahun belakangan ini—mengutip kata-katanya—”terlalu banyak berisi kata-kata kasar dan jorok.”

Ramon punya persepsi sendiri tentang bagaimana stand-up comedy sebaiknya dijalankan secara benar. Konsep “kontrol” inilah yang ia anggap berbeda dari open mic yang umum di luar negeri.

Mengenai tudingan bahwa apa yang ia lakukan merupakan monopoli, Ramon mengaku tidak pernah melakukan somasi kepada komika dan tidak mendapatkan uang sepeser pun dari teguran-teguran tersebut. Ia turut menyinggung pendaftaran merek ‘Open Mic Indonesia’ pada 2012 sebagai reaksi pihaknya karena nama Stand Up Comedy Indonesia (SUCI), yang Ramon klaim sebagai buatannya, tiba-tiba sudah terdaftar di Kemenkumham atas nama PT. Kompas Gramedia. 

Lawyer ini saya tugaskan untuk menegur perusahaan, kafe-kafe yang mengkomersialisasikan open mic, menyelenggarakan open mic. Saya tegur kafe-kafe itu juga enggak dapat duit, Mas. Cuma teguran,” imbuhnya.

Apabila pada akhirnya merek dagang ‘Open Mic Indonesia’ dibatalkan, Ramon juga tidak akan mengambil langkah lanjut. “Kalaupun dicabut oleh Kemenkumham, mereka menjilat ludahnya sendiri, terserah. Kan mereka juga orang-orang pintar. Kalau itu public domain, kenapa Kemenkumham menerbitkan sertifikatnya pada 2013? Terserah sih apapun keputusannya, saya enggak apa-apa.”

Mungkin banyak dari kita tak sependapat dengan langkah hukum yang Ramon ambil, namun ia memaparkan sebuah pertanyaan penting yang darurat diselesaikan: Iya ya, kenapa Kemenkumham melalui Ditjen HKI bisa semudah itu memberikan merek dagang kepada orang tanpa pengecekan mendalam terlebih dahulu tentang sejarah di balik nama yang diajukan? 

Panji mengamini bahwa memang ada masalah pada mekanisme pendaftaran merek dagang sehingga kasus semacam ini kerap terjadi. Pada 2011 misalnya, Ditjen HKI menerima pendaftaran merek dagang dari perusahaan Bagus Intikarya Properti untuk nama “Kopitiam” sehingga menjadi sengketa di kemudian hari. Padahal, Kopitiam berasal dari bahasa Hokkien yang berarti kedai kopi, istilah umum yang digunakan sejak lampau. Kasus lain yang cukup fenomenal tentu saja adalah merek “Superman” yang di Indonesia lebih diakui Ditjen HKI sebagai merek wafer dibanding karakter komik. DC Comics baru memenangkan sengketa sebagai pemilik nama Superman pada 2020.

“Hak Kekayaan Intelektual paling besar itu ada lima: Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, dan Rahasia Dagang. Di antara itu semua, Merek yang paling tidak ‘intelektual’ karena dia cuma mensyaratkan bahwa nama merek [yang didaftarkan] itu belum terdaftar di sistem mereka saja. Ini jadi problem, sebab waktu diajukan, pemeriksa merek kadang cuma memeriksa apakah nama ini sudah ada yang punya atau belum. Kalau belum ada, yaudah dimasukkan [diterima pendaftarannya],” tambah Panji.

Penting menurut Panji bagi para pemeriksa merek agar memperluas wawasan dan perspektif terkait istilah-istilah umum dari dalam dan luar negeri. Ia menyebut Ditjen HKI harusnya bisa membedakan mana kata yang populer secara umum (famous), dan mana kata umum yang populer dalam segmen-segmen tertentu saja (well-known). Keduanya tidak bisa didaftarkan begitu saja sebagai merek dagang pribadi, membuat tanggung jawab pemeriksaan dari Ditjen HKI menjadi lebih besar.