Penetapan Papua sebagai salah satu provinsi yang investasi pabrik minuman beralkohol diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Sebagai salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja, beleid tersebut diteken Presiden Jokowi 2 Februari 2021. Dalam peraturan ini dijelaskan apa dan di mana saja investasi bisa dilakukan, termasuk industri minuman beralkohol.
Enggak semua wilayah dibuka. Investasi produksi minuman mengandung alkohol hanya bisa dilakukan di empat wilayah, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Pemerintah beralasan keempatnya dipilih karena punya budaya dan kearifan setempat yang lekat dengan konsumsi miras. Pesan moralny: kalau budaya setempat sejalan dengan kepentingan ekonomi negara, tentu pemerintah akan melestarikannya penuh sukacita. Yah, tapi kok Solo Raya beserta ciu bekonangnya yang terkenal enggak masuk?
Videos by VICE
Balik ke kebijakan. Dengan perpres ini, industri miras di empat daerah tersebut bisa didatangi modal asing atau domestik, dari koperasi maupun UMKM. Uang bisa digunakan pengusaha untuk mengembangkan usaha, termasuk membangun pabrik. Selain soal penanaman modal, di empat provinsi itu pedagang minol eceran pinggir jalan bakal punya izin resmi beroperasi apabila memenuhi syarat jaringan distribusi dengan tempat khusus.
Perpres ini mendapat penolakan dari Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga politik di tingkat provinsi yang diisi orang-orang asli Papua. Pada Minggu, 28 Februari 2021, MRP secara resmi meminta Presiden Jokowi mencabut aturan tersebut untuk Papua. Alasannya, kebijakan tersebut membuat usaha para pemangku adat dan tokoh agama di Papua melawan penyebaran minuman keras di tengah masyarakat jadi sia-sia.
“Tidak pernah dilibatkan [bahas Perpres Miras]. MRP dengan tegas menolak perpres tentang miras dan meminta kepada presiden segera cabut Perpres No. 10/2021. Segera cabut,” kata Ketua MRP Timotius Murib kepada CNN Indonesia. “Peredaran miras di Papua selama ini sudah mengganggu ketertiban umum. Bahkan, kata dia, penyalahgunaan miras juga mengganggu ketenteraman umat beragama di Papua selama ini sehingga kami menolak adanya industri miras di tanah Papua.”
Kebijakan ini menimbulkan diskusi menarik di internet terkait pelabelan budaya dan adat sebagai justifikasi penentuan empat daerah tersebut. Di Papua, isu menjadi lebih kompleks. Terjadi perdebatan antara kubu yang menganggap Papua emang punya budaya miras melawan kelompok yang menyebut miras di Papua sebagai bawaan kolonialis dan perusahaan tambang. Jadi miras budaya Papua atau enggak nih?
Arkeolog Peter Bellwood dari Australian National University dalam buku Man Conquest of the Pacific: The Prehistory of Southeast Asia and Oceania (1978) menyebut Papua mengenal minuman beralkohol dari orang Austronesia dari Asia. Orang-orang Austronesia yang datang ke sana membagi ilmu pengetahuan pembuatan miras dari pohon aren, nipah, dan kelapa. Belakangan, miras yang lebih modern diperkenalkan pasukan Amerika, Belanda, dan Australia Ketika Perang Pasifik 1944 pecah.
Meski minol sudah lama ada di Papua, seniman dan aktivis Papua Max Binur yang tinggal di Sorong menolak menyebutnya bagian budaya Papua.
“Memang di awal dari zaman Belanda banyak informasi minuman lokal yang dibuat dari kelapa, nipahm dan dikonsumsi sebagai minuman beralkohol. Tapi, itu tidak digunakan secara umum, biasanya hanya untuk kebutuhan kegiatan adat dan budaya, atau konsumsi sendiri orang yang memproduksi. Menurut saya, itu bukan budaya, itu sama saja dengan saya membuat kebun [dan menikmati hasilnya] dan kerja-kerja yang lain,” kata Max kepada VICE.
Khusus melihat perpres miras, Max mengajak masyarakat tidak fokus berdiskusi ini soal budaya atau bukan, melainkan menengok apakah kebijakan tersebut produktif untuk masyarakat secara umum.
“Jangankan pabrik, penjualan miras di Papua saja sudah kasih dampak buruk bagi banyak orang. Banyak kriminalisasi terjadi berawal dari miras. Banyak kematian karena konsumsi miras. Selama ini tidak ada peraturan yang jelas untuk membatasi [peredaran miras ilegal],” kata Max.
Ia menambahkan, sebenarnya ada beberapa kota/kabupaten yang sudah punya peraturan daerah melarang miras dijual umum. “Tapi faktanya, sampai hari ini masih banyak orang konsumsi miras, dan banyak kecelakaan, konflik, kekerasan, dan kematian karena miras. [Miras] dikonsumsi dari anak-anak kecil yang masih sekolah, dan jadi penyebab utama kekerasan dalam rumah tangga.”
Max menekankan masih banyak masalah di Papua yang perlu diselesaikan pemerintah alih-alih membuka investasi pabrik miras. Misalnya, ia menyebut akan lebih manusiawi jika pemerintah mengembangkan pabrik pengolah sagu, ubi-ubian, minyak kelapa, atau singkong, yang dampaknya langsung dirasakan rakyat.
“UU Cipta Kerja itu lebih baik gimana pengembangan ekonomi rakyat, bukan memberikan ruang pada investor menerapkan modal di bidang miras. Bingung juga melihat kebijakan seperti itu,” keluhnya.
Sikap Max tegas menolak perpres miras. Namun, ia tidak menolak peredaran miras. Menurutnya pemerintah harus mengatur pola distribusi agar anak-anak usia sekolah tidak bisa menyentuhnya.
“Contohnya di Kota Sorong. Itu sudah dibuat perda untuk melarang peredaran miras secara umum. Tapi, faktanya sampai hari ini banyak kejadian KDRT dan banyak orang masih mabuk dan tertidur di trotoar, depan toko, pinggir gereja, masjid, sampai depan polres. Bayangkan bagaimana distribusi miras kalau pembangunan pabrik miras diperbolehkan,” tutup Max.