Panduan Memahami Perbedaan Esensi Gerakan Black Lives Matter di AS dan Papua

Persamaan dan Perbedaan Gerakan #blacklivesmatter di AS dan Papua

Kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu menambah deretan panjang kaum kulit hitam yang mengalami kekerasan oleh polisi di Amerika Serikat (AS) dan menyulut kembali gerakan protes Black Lives Matter (BLM).

Di tengah pandemi COVID-19, pendukung gerakan yang muncul pada 2013 ini kembali turun ke jalan untuk menuntut keadilan, dan kemudian mendapat dukungan global, mulai dari Afrika Selatan, Australia, Inggris, hingga Jepang.

Videos by VICE

Di Indonesia, sebagian publik membandingkan isu ini dengan isu Papua, dan memunculkan tagar #PapuanLivesMatter di media sosial. Salah satu diskusi yang terjadi adalah bahwa terdapat standar ganda yang di masyarakat Indonesia yang menunjukkan kepedulian tinggi terhadap rasisme di Amerika Serikat, namun cenderung diam mengenai isu diskriminasi terkait masyarakat asli Papua.

Di permukaan, kedua isu tampak sangat sesuai untuk dibandingkan karena keduanya memperjuangkan anti-rasisme. Namun, penting bagi kita untuk memahami sesungguhnya apa yang melatarbelakangi kedua gerakan ini dan apa yang menjadi tujuan dari masing-masing perjuangan.

Perbedaan kedua isu

Sejarah AS tidak dapat dilepaskan dari perbudakan keturunan kaum Afrika (biasa disebut di sana sebagai African American). Keturunan Afrika di Amerika berperan dalam membangun AS sebagai sebuah negara bangsa sejak abad ke-17, namun supremasi kaum kulit putih selalu menjadikan kaum African American diperlakukan sebagai masyarakat kelas kedua.

Meski perbudakan keturunan Afrika di AS dihapuskan pada abad ke-19, dan hak sipil serta hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum disahkan pada 1960-an, diskriminasi masih terus dialami oleh masyarakat African American.

Salah satunya adalah dalam hal sosial ekonomi. Sejumlah besar masyarakat kulit hitam saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, dan kebanyakan keluarga kulit putih memiliki kekayaan sepuluh kali lipat dibanding keluarga African American. Sebagian besar (40 persen) narapidana di negara itu adalah orang kulit hitam.

Kekerasan yang terjadi oleh polisi terhadap kaum African American salah satunya didasari oleh adanya struktur kelas dan hierarki ras yang mengakar dan menyebabkan bias rasial. Bias ini tidak hanya dimiliki oleh polisi, namun karena polisi adalah pihak yang berwenang untuk menggunakan senjata dan menangkap orang tertentu, bias rasial pada petugas kepolisian dapat menjadi sangat fatal.

Inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan Black Lives Matter, yang bertujuan agar pihak yang memiliki kewenangan besar seperti polisi tidak dengan mudah mengambil keputusan genting yang dapat berakibat pada hilangnya nyawa dengan didasari bias tersebut.

Dari sisi sejarah, Papua cukup berbeda dengan African American. Isu yang paling utama di Papua adalah adanya tuntutan kemerdekaan bagi Papua. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, pada Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, status Papua telah menjadi perdebatan antara Indonesia dan Belanda.

Belanda ingin menjadikan Papua sebagai negara tersendiri di bawah naungan kerajaan karena orang asli Papua memiliki etnis dan ras yang berbeda dari mayoritas masyarakat Indonesia. Konflik atas status Papua ini terus berlangsung walau pemerintah Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Dalam Pepera itu, 1.000 orang yang dipilih khusus diminta mewakili seluruh populasi Papua menyatakan sepakat untuk bergabung dengan Indonesia.

Berbeda dengan African American, masyarakat asli Papua telah menempati wilayah yang saat ini masuk menjadi provinsi Papua dan Papua Barat bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Sejarah yang berbeda ini juga menjadikan tujuan kedua gerakan berbeda.

Sebagian masyarakat Papua menuntut independensi dari Indonesia, karena sejarah status Papua yang cukup kompleks, ditambah posisi Papua yang merupakan salah satu daerah termiskin di Indonesia terlepas dari wilayahnya yang memiliki kekayaan alam yang besar.

Sementara tujuan gerakan anti-rasisme Black Lives Matter lebih kepada mendorong penghapusan ketidakadilan sistematis bagi kelompok African American sebagai bagian dari masyarakat AS.

Slogan Papuan Lives Matter menjadi ramai diperbincangkan karena adanya kekerasan berkelanjutan yang dialami oleh masyarakat asli Papua di tangan pihak berwenang, yang mengatasnamakan kedaulatan dan keamanan Indonesia, dan tidak jauh berbeda dengan kekerasan yang dialami kelompok African American.

Pada 2019, terjadi kerusuhan di Wamena yang diawali dengan peristiwa pengepungan dan rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, yang merendahkan masyarakat Papua.

Peristiwa tersebut hanya satu dari sekian banyak kekerasan rasis yang terjadi, sebagian karena secara fisik mereka merupakan bagian dari ras melanesia yang berbeda dengan mayoritas etnis di Indonesia.

Pasca peristiwa tersebut, semakin terlihat bahwa bagi masyarakat asli Papua, pembahasan mengenai rasisme tidak dapat dilepaskan dari diskusi mengenai perjuangan untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Ketika isu Black Lives Matter mencuat, tidak heran apabila kemudian diskusi mengenai Papua kembali diangkat. Adanya diskriminasi karena ras menempatkan masyarakat asli Papua dan kaum African American secara sosial dan ekonomi berada di bawah kelompok mayoritas di negara masing-masing.

Selain itu, keduanya mengalami kekerasan baik oleh anggota masyarakat lain maupun oleh pemerintah. Sehingga, memanfaatkan momentum Black Lives Matter menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa rasisme tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, namun juga di “rumah” kita sendiri.

Menyikapi kedua isu

Isu rasisme yang dialami African American maupun masyarakat asli Papua seharusnya mendorong kita untuk semakin sadar terhadap adanya ketimpangan yang bersifat sistemik dan merugikan kelompok tertentu.

Kesadaran ini perlu kita miliki terutama jika belum menyadari adanya privilese yang dinikmati dan tanpa sadar telah melakukan pembiaran terhadap ketidakadilan yang terjadi pada suatu kelompok.

Selain itu, perbandingan kedua isu juga sangat relevan terkait tuntutan kepada pemerintah masing-masing negara untuk mengambil kebijakan yang lebih berpihak pada keadilan. Namun, perlu disadari bahwa kedua isu memiliki tujuan yang berbeda sehingga apa yang kelak dapat menjadi solusi bagi satu isu, belum tentu dapat menjadi resep yang sama untuk gerakan perjuangan yang lain.

Hal ini perlu menjadi catatan penting agar kita tidak terjebak dalam diskusi remeh hanya karena kedua isu melibatkan kelompok kulit hitam.


The Conversation

Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.

Karina Utami Dewi adalah Assistant Professor Departemen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII)

Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.