Persetan dengan Represi, Kancah Tekno Turki Akan Terus Berdentum

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey

Setiap Jumat malam, hanya ada satu tempat di dunia di mana segerombolan remaja Saudi asik belanja di H&M, anak-anak kampus mabuk baru kembali dari Ibiza, sementara itu pekerja seks, pengedar narkoba, dan polisi membawa senapan mesin berada di jalan yang sama: Distrik Istiklal di Istanbul. Azan terakhir dibunyikan saat klub malam baru mulai beroperasi, membuat suasana jam 11 malam kota Istanbul ramai dengan melodi masjid dan beat EDM.

“Setiap orang butuh tempat untuk melarikan diri,” jelas Saïd, seorang desainer grafis yang kusut ketika kami sedang berjalan bersama. Bagi Saïd dan teman-temannya —sekelompok orang yang menolak gaya kehidupan warga Turki pada umumnya— tempat yang dimaksud adalah lantai dansa yang gelap pekat, hingga kamu tidak bisa melihat seberapa ramainya tempat itu, dan bunyi bass yang akan membuat molekul oksigen dalam paru-parumu bergetar. Di Turki, semakin sulit untuk menemukan tempat seperti ini, tapi mereka semua tahu spot-spot yang tepat.

Videos by VICE

Seperti biasa, mereka keluar malam hari demi menemukan lantai dansa dan bit yang enak. Mereka harus menghindari polisi yang kerap menyetop orang secara acak untuk mengecek tanda pengenal, karena kebanyakan dari mereka tidak memegang KTP. Setelah berjalan melewati gerombolan turis, mereka kembali harus merasa kecewa menemukan sebuah klub yang ternyata ditutup.

Klub itu bernama Kasette. Sebetulnya itu bukan klab yang gimana-gimana amat, di sana hanya ada DJ booth yang menghadap ke sebuah gang kecil. Tapi tempat itu selalu ramai dihadiri partygoer karena konsisten menghadirkan lineup DJ lokal yang oke-oke. Pada bulan Agustus lalu, polisi datang dan menyetop musik untuk mengecek tanda pengenal. Semua orang kabur dan pemiliknya memutuskan untuk menutup klub. Ini tentunya bukan kasus yang pertama. Lima dari klub malam terbesar Istanbul telah berhenti beroperasi dalam beberapa bulan terakhir.

ertewrtertert

Beginilah kondisi gawat darurat yang menaungi Turki selama 14 bulan. Tahun lalu, jalanan Istanbul sudah diterpa berbagai macam cobaan: serangan tank, pengeboman, kehancuran ekonomi, dan berbagai demo, serta protes politik.

Sebagai rangkuman, Juli lalu, sebuah usaha kudeta militer—kabarnya diprakarsai oleh anggota komunitas Gülen, semacam cult Turki gabungan dari Scientology dan Salvation Army—mengubah Istanbul menjadi medan perang semalaman suntuk. Dalam upaya pembersihan setelahnya, ribuan pekerja sosial dan jurnalis dipenjara, dipecat dari pekerjaan dan dituduh mendukung terorisme.

Dalam iklim negara yang penuh dengan rasa takut, ekonomi negara anjlok dan para ekspat berbondong-bondong meninggalkan Turki. Di negara sebelah, perang Suriah sudah berlangsung selama tujuh tahun. Di malam tahun baru, seorang pria bersenjata menyerbu klub malam kelas atas Istanbul bernama Reina dan membunuh 39 orang. Jalanan kota tersebut sunyi senyap selama tiga minggu sebelum si penembak akhirnya ditangkap. Lima bulan kemudian, pemerintah menghancurkan Reina tanpa penjelasan apapun.


Kita bisa menerka kondisi politik sebuah negara dengan melihat apa yang orang lakukan untuk kabur dari kepenatan. Masalahnya masyarakat Turki bukan hanya beraneka ragam, tapi mereka juga terbagi-bagi. Banyak yang merasa kebebasan mereka untuk bersenang-senang semakin dibatasi.

Mendapat banyak dukungan konservatif dan menang Pemilu dengan sangat tipis, Erdogan dan Partai Perkembangan dan Keadilan (AKP) yang bernuansa Islamis mengontrol seluruh pemerintahan negara tersebut. Pernah dipenjara oleh pemerintah sekuler karena membacakan puisi bernada religius di depan publik, 18 tahun kemudian, pemimpin AKP Tayyip Erdogan kini menjabat sebagai presiden, dan berusaha mengubah Turki sesuai dengan visi pribadinya.

Di atas kertas, 91% penduduk Turki beragama Islam. Namun setiap orang memiliki tingkat konservatisme sosial yang berbeda-beda. Ada Muslim yang tidak keberatan minum satu-dua gelas alkohol, namun ada juga yang tidak segan-segan memukul Muslim lain yang minum bir dan mendengarkan Radiohead pada bulan Ramadan. Seperti itulah kira-kira situasinya menurut pengakutan Mujo, manajer sebuah restoran di area Istiklal.

“Setengah masyarakat Turki lainnya sedang membalas dendam,” kata Mujo. Ayahnya adalah seorang kaum kiri yang dipenjara di era 80=an yang bermasalah—periode yang melahirkan rezim sekuler militeristik yang membangun bibit kebangkitan populisme, seterusnya melejitkan Erdogan ke posisi puncak.

“Istiklal sedang mengalami perubahan. Sekarang orang tidak ke sini untuk alkohol dan musik yang kencang,” kata Mujo, merujuk kepada meningkatnya “turis halal” yang datang dari negara-negara teluk Persia lainnya. “Orang khawatir di bawah kekuasaan AKP, keadaan akan semakin memburuk. Semua orang menutup mata dan berharap ini akan cepat berakhir.”

Pemerintahan daerah yang bertanggung jawab menjadikan Istiklal sebagai atraksi turis dan pusat kehidupan malam kota Istanbul perlahan-lahan semakin memperketat regulasi bagi para penyedia venue. Awalnya, tempat duduk di luar venue dilarang, kemudian area merokok juga dilarang, kemudian volume musik dibatasi, waktu tutup venue diatur, dan ongkos pembaruan izin menjual minuman beralkohol dinaikan menjadi Rp4.7 miliar, atau bahkan, menurut tiga pengelola yang kami wawancarai, permohonan izin yang mereka ajukan ditolak mentah-mentah.

“Secara sistematis, mereka berusaha mematikan kancah musik di Istiklal,” jelas Çağdaş selagi kami jalan-jalan di malam hari. Çağdaş adalah seorang DJ yang memiliki Anatolian Sessions, sebuah label indie yang berfokus di mix orisinil eastern downtempo house. Memiliki sejarah kaya sebagai ibukota clubbing Eropa timur, Istanbul identik dengan musik tekno dan house. Çağdaş khawatir iklim politik negaranya saat ini akan meredupkan kancah musik elektronik mereka.

“Hasilnya sekarang musiknya sampah semua, tinggal sisa bar-bar norak memutar musik pop sampah,” jelas Çağdaş. Tentunya penyebab semua ini adalah faktor ekonomi dan politik. “Dulu banyak sekali klub yang bisa didatangi. Kami selalu memulai dan mengakhiri malam di tempat yang berbeda,” jelas Fuat Demiraoğlu, seorang DJ/produser yang dikenal sebagai Illumina. “Uang berpindah tangan di Turki dalam sepuluh tahun terakhir, karena pemerintah hanya memberikan pekerjaan ke orang-orangnya sendiri, jadi kelas menengahnya berubah. Kelas menengah baru ini tidak suka keluar, tidak minum atau pergi ke klub, dan orang-orang yang suka justru tidak lagi punya cukup uang.”

Anatolian Sessions sibuk mengendalikan mixer

Tentu saja masih ada venue-venue kelas atas pretensius di distrik Beyoğlu seperti Klein Garten—yang berusaha keras untuk terlihat seperti sebuah klub eksklusif—dan Soho House, sebuah klub private dengan biaya masuk Rp14 juta. Mereka memang memainkan musik house, tapi mengidap semacam kesombongan borjuis dan tak mengerti semangat yang dibawa oleh musik house.

“Underground itu bukan sekedar tempat, tapi juga sikap,” jelas DJ B-Drive. “Underground itu intinya menikmati musik. Semacam pesta pribadi di mana semua orang diundang.”

Bagi penikmat musik underground Turki, B-Drive bukanlah sekedar DJ. Dikenal sebagai seorang legenda tekno di Anatolia, dia sudah nge-DJ semenjak era kaset dan CD dan dijuluki “the guru of groove.” Kalau kamu ingin berjoged seperti kamu berada dalam sebuah subwoofer, B-Drivelah jagoannya. Sebuah basement yang berada di bawah restoran Turki dilengkapi dengan sound system 24.000 watt, Temple merupakan pusat dari kancah musik bawah tanah Istanbul.

“Kami butuh tempat-tempat seperti ini, bersama orang-orang dengan frekuensi yang sama,” jelas Saïd. Pernah mengalami pengasingan, sikapnya sangat jelas tanpa tedeng aling-aling. “Saya gak peduli dengan politik, saya hanya ingin menikmati hidup, dan itu hak saya. Saya hanya butuh sebuah tempat gelap dengan soundsystem kencang agar saya bisa berjoged dan menikmati kebebasan, hal yang sulit kita temukan di siang hari.”

Klub Temple sebenar-benarnya ada di bawah tanah. Inilah tempat di mana dengan hantaman frekuensi bas terberat di seantero Turki

Menyerupai sosok revolusioner klasik, Saïd.dan Batool bertemu di sebuah apartemen Damascus sebelum perang mengubur mimpi-mimpi mereka. Dibuang dari sebuah kota yang sempat dikenal sebagai “ibukota revolusi Suriah,” Batool mendarat di Istanbul di 2014 dan menemukan rumahnya dalam kegelapan kancah musik bawah tanah Turki. Lambat laun, dia mulai mencoba nge-DJ dan menggunakan nama OM.EL.BEAT.

Dia benci ngomongin masa lalu dan politik, tapi sound khas dari kampung halamannya bisa didengar dalam set livenya—setiap sampel dimasukkan untuk membuat sebuah pernyataan, menyerang nostalgia tanpa ampun dengan perspektif post-war expressionist. Dalam sebuah track, suara jet tempur diputar di atas bebunyian elektro sementara sampel dari film Full Metal Jacket berteriak “LEMME SEE YOUR WAR FACE” sebelum disusul beat trap yang menemani nyanyian “nawari” Islamik yang digunakan dalam video propaganda.

“Ketika saya menggunakan nawari dicampur dengan beat yang akan membuat orang bergoyang, ini sama dengan mengatakan ‘fuck you.’ Mungkin orang akan suka, mungkin juga mereka bakal ingin membunuh saya,” jelasnya sambil tersenyum. Ketika sedang tidak sibuk meracik beat, biasanya dia sedang mendengarkan DJ lain beraksi. “Saya membutuhkan musik karena ketika saya sedang asik, saya tidak memikirkan hal lain dalam hidup,” jelas Batool. “Saya tidak peduli orang ingin mendengar apa. Saya hanya menyetel musik yang saya dengar di kepala.” Sejauh ini penonton yang niche masih terus berdatangan.

DJ B-Drive, legenda lokal

Malam yang tipikal bagi orang-orang terbuang ini biasanya dimulai di Pixie—sebuah dive bar tanpa penerangan selain cahaya dari sound board. Dibuka di 2008, Pixie merupakan salah satu venue pertama di Istanbul yang khusus memainkan drum & bass, elektro dan acid house. Hanya meminta biaya masuk kurang dari Rp40.000, Pixie menyajikan lineup musisi lokal yang menyatu dengan penontonnya, sesuai dengan semangat musik house.

Di tengah gang yang penuh dengan asap rokok, jalan menuju kancah musik bawah tanah muncul. Di sini, tidak aneh bertemu dengan penumpang gelap berambut pirang platinum dari Tehran, seorang drag queen, atau seseorang yang bekerja di toko shawarma setempat. “Orang-orang underground adalah orang paling menyenangkan di Turki,” jelas Anda, seorang pengusaha Turki. “Tidak peduli mereka datang dari mana, mereka tahu artinya melupakan sistem sejenak, dan menikmati hidup.”

DJ OM.EL BEAT dari Homs, Suriah mencampur-baurkan melodic tekno, trip-hop, dan bas.

Pixie ditutup sekitar pukul 2 pagi, namun gerombolan ini sudah siap dengan rencana selanjutnya. Nyetok dulu di Tarlabaşı—sebuah area kumuh di samping Istiklal—seorang penjaga toko memasukkan banyak botol bir ke dalam tas ransel Saïd. Minum di jalanan masih diperbolehkan, tapi toko-toko tidak diizinkan menjual alkohol di atas jam 10 malam. Di belakang counter, suara doa dibacakan Presiden Erdogan terdengar lewat radio FM. “Saya memutar ini kalau-kalau ada petugas yang lewat. Tapi kalian mah asik-asik aja,” ujar penjaga toko sambil tertawa.

Lanjut ke klub berikutnya: Glow, sebuah venue kumuh terbuat dari batu bata yang sering diisi DJ veteran lokal dan internasional. Ini adalah tempat tujuan afterparty. Istanbul memang bukan Berlin atau Paris—tapi komunitas musik elektroniknya yang erat menghasilkan sound unik yang tidak bisa ditemukan di daerah lainnya.

Di Temple, campuran unik antara tekno old-school dengan musik eksperimental Timur menjadi pilihan kurasi B-Drive. “Kami berusaha membangun selera musik,” jelas B-Drive. “Memang butuh waktu untuk mengembangkan sebuah genre, tapi perlahan-lahan Istanbul mengembangkan soundnya sendiri.”

Nongkrong di depan Pixie. Satu-satunya penerangan di sana adalah plang di atas pintu itu

Nihad Alabsi dan Philippe Zarif dari dio Boshoco menggabungkan elemen dari kampung halaman mereka Aleppo, Suriah ke dalam tekno dan progressive house.

“Musik dance elektronik menyatukan orang tanpa menghapus kultur. Musik elektronik memberikan ruang bagi identitasmu untuk berkembang namun tetap menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas di seluruh dunia,” kata Philippe. “Apa yang kami berusaha lakukan adalah menggunakan instrumen, scale melodik, dan transposisi dari musik Arabik dan memasukkannya ke dalam deep house dengan cara yang unik.”

“Ya beginilah bagaimana kami berdoa,” tambah Nihad.

“Orang-orang jauh lebih lepas kalau mereka dengerin musik bareng-bareng di tempat yang gelap,” kata seniman performans Onur Gökhan (kanan foto).

Kolaborasi terbaru antara Boschoco dan Anatolian Sessions menggambarkan dengan baik diversitas sound musik Istanbul. Menaruh lapisan syncopated pulse di atas beat four-to-the-floor, melodi tradisional diambil dari “tarab”, sebuah puisi bebas dari musik Arabik yang bebas dari ritme dan scale hingga beatnya kembali masuk. Ada berbagai nama diberikan kepada musik eksperimental ini, misalnya “oriental soul house,” “Arab trip-hop,” “ethnic techno,” atau “eastern deep house.” Tapi mereka sendiri tidak ambil pusing soal nama genre.

“Sound timur memang semakin marak di EDM sekarang, mungkin bukan genre baru ya, tapi semacam tren,” jelas Viken Arman, seorang produser Perancis kelahiran Armenia. Arman sudah berpengalaman ngeDJ di mana-mana, mulai dari klub super besar di Berlin, Burning Man, hingga acara private dan hutan di Perancis. “Alami aja sih sound yang keluar seperti itu ketika produser dari bagian dunia ini masuk ke dalam musik elektronik.”

Mereka yang pernah datang ke sebuah pernikahan di Mesir pasti akan mengatakan bahwa menggabungkan musik timur dan barat bukanlah hal baru. Yang unik, sekarang banyak musisi menciptakan musik dance elektronik berdasarkan pengalaman hidup pribadi mereka, dan fusion sound ini kini muncul di banyak festival musik elektronik terbesar di dunia. “Kami masih berada di tahap eksperimentasi awal menyangkut seberapa banyak budaya warisan kami—scale oriental, ritme, microtuning—bisa kami masukkan ke dalam musik elektronik sambil tetap menghibur penonton internasional,” jelas Viken.

Kancah musik Istanbul mungkin memang kecil, terisolasi dan diganggu ketegangan politik, tapi tekanan ini justru melahirkan orisinalitas.

“Memang, dulu di Suriah tidak ada perang, tapi kamu tidak bebas sebagai seoarang individu,” jelas Batool.


“Ada lebih sedikit kebebasan untuk menjadi seniman di sini dibanding di Eropa karena kancah musiknya yang lebih kecil. Tapi kancah musik di Istanbul bagus kok, mungkin orang jadi produktif karena keterbatasan itu,” jelas Nihad dari duo Boshoco.

Viken Arman mengoplos musik house dengan melodi-melodi dari skala harmonik Armenia

Seni selalu menjadi bentuk perlawanan di masa-masa yang berat. Mengingat kecilnya harapan situasi politik akan bertambah baik di manapun di dunia, orang-orang terbuang Istanbul menggunakan kancah musik underground sebagai pelarian dari masalah mereka.

“Tentu saja terorisme sangat mempengaruhi kami, politik juga mempengaruhi kami—tapi kancah musik underground akan selalu ada di sini—Istiklal adalah nyawa kami,” teriak B-Drive ke para penonton yang masih setia nongkrong hingga matahari terbit.

“Ketika saya sadar bahwa revolusi Suriah gagal secara politik, saya menyadari juga bahwa revolusi diri harus terus berlanjut,” jelas Saïd. “Saya bisa berempati dengan apa yang dirasakan warga Turki, kita semua hanya berusaha untuk kabur dari masalah yang sama.”

Batool mengkoreksi pernyataan barusan, “Musik itu bukan eskapisme, tapi penyembuh.”