Pertaruhan Pemilu 2019: Menilik Kemungkinan Lahirnya Poros Oposisi Baru

Untitled design (1)

Sebelum semua kampanye dipaksa senyap setelah 13 April, dua kubu yang bertarung dalam pemilihan umum 2019 coba menggelorakan massa untuk terakhir kalinya. Saga yang dimulai sejak tahun lalu, yang diliput secara intensif oleh VICE Indonesia, segera memasuki babak akhir.

Stadion Gelora Bung Karno menjadi lautan putih Sabtu (13/4) lalu. Sejak pukul 6.00 pagi waktu setempat, ribuan orang memadati jalanan dan komplek halaman GBK, padahal stadion belum resmi dibuka. Seiring jarum jam merangkak naik, gelombang manusia memadati area GBK. Sejumlah poster dan spanduk raksasa warna merah terbentang di pinggir GBK.

Videos by VICE

“Mari Kita Putihkan GBK Bareng Jokowi,” begitu nyanyian dan yel-yel mengelukan nama capres dukungan mereka, bergaung sahut menyahut di pelataran. Acara megah di GBK siang itu diinisiasi Tim Kampanye Nasional (TKN), sebutan resmi organisasi pemenangan kubu pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin.

1555412003193-DSC06125
Pendukung Jokowi memadati GBK di rangkaian kampanye terakhir. Foto oleh Muhammad Ishommuddin/VICE

Santi Saraswati rela datang jauh dari rumahnya di Bekasi Timur, demi mendukung politikus idolanya. Dengan baju serba putih dan hijab merah, Santi sengaja datang sejak pukul 7 pagi agar mendapat tempat strategis di tribun stadion.

Maklum, selain ikut kampanye mendukung Jokowi, Santi ingin menyaksikan Konser Putih Bersatu yang diisi penampil seperti Slank, Glenn Fredly, Yuni Shara, dan lainnya. Ia dan kawan-kawan menyewa minibus demi datang ke GBK.

1555412260399-DSC06224
Pendukung Jokowi berpose di depan GBK. Foto oleh Muhammad Ishommuddin/VICE

“Tadi dateng sama teman-teman dan tetangga,” kata ibu rumah tangga 40 tahun tersebut di depan pintu gerbang GBK. “Ini momen terakhir sebelum pemilu, sudah direncanakan buat wajib datang.”

Di hari yang sama, rival Jokowi menggelar hiruk pikuk yang lebih kalem di Surabaya, kota terbesar kedua republik ini, berjarak 780 kilometer dari GBK. Kubu Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno sudah menggelar kampanye akbar di stadion yang sama sepekan sebelumnya. Mengakhiri masa kampanye, Prabowo memilih pendekatan berbeda: mengumumkan kandidat menteri, serta pejabat-pejabat yang akan membantunya di pemerintahan, seandainya dia menang pemilu.

Prabowo menyebut lebih dari 20 nama. Sebagian pendukung setianya, seperti Fadli Zon. tapi yang mengejutkan adalah munculnya barisan mantan pendukung serta orang yang pernah membantu Presiden Joko Widodo di pemerintahan. Misalnya Sudirman Said (mantan menteri energi dan sumber daya mineral), Ferry Mursyidan Baldan (sempat dipercaya sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang), Rizal Ramli yang sempat menjabat Menko Maritim, serta mantan Pangliman TNI Gatot Nurmantyo. Sosok lain yang kini berbelok mendukung Prabowo adalah Dahlan Iskan, bos media yang pada 2014 mendukung Jokowi.

“Jadi Insya Allah kami menerima mandat, kira-kira inilah orang-orang yang akan membantu saya,” kata Prabowo di atas podium Dyandra Convention Center Surabaya, disambut tepuk tangan meriah ribuan pendukungnya. “Kita bergabung secara alamiah. Saya tidak bikin iklan dicari putra-putri terbaik, mereka datang sendiri.”

Badan Pemenangan Nasional (BPN), sebutan tim pendukung Prabowo-Sandi, berharap pengumuman sebagian nama calon menteri itu bisa mempengaruhi swing voters. “Tokoh-tokoh itu masing-masing punya jaringan, punya komunitas, punya pengikut, punya followers. [Pengumuman nama calon menteri] pasti berpengaruh,” kata Sudirman Said, yang kini menjadi Direktur Materi Debat Prabowo-Sandi.

Berbagai jajak pendapat kredibel menempatkan Jokowi unggul dengan selisih signifikan dari Prabowo, walau ada lembaga lain melihat selisih riil cuma 5,5 persen. Tapi, jumlah undecided voters secara nasional pun masih tinggi. Hingga pekan kedua April, jumlahnya mencapai 12 persen.

Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah masih akan jadi ruang perebutan suara paling penting dalam pemilu kali ini. Jika bisa mengimbangi Prabowo di Jawa Barat, dan unggul di dua provinsi besar Pulau Jawa lainnya, Jokowi dipastikan memenangkan kembali rematch dengan Prabowo.


Tonton dokumenter VICE soal pendapat dan aspirasi anak muda dari berbagai kota seputar pemilu 2019:


Saat tampil di ruang publik, kedua kubu yang sekilas mengulang pertarungan pemilu 2014 tampil optimis. Cerita berbeda muncul dari balik layar. Kantor BPN di jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, terasa tegang saat VICE datang. Belasan pendukung Prabowo-Sandiaga di salah satu ruangan bolak-balik mencocokkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Mereka meyakini pasangan jagoan mereka jadi korban kecurangan lawan politik. Di mata pendukung paslon 02, insiden surat suara telah tercoblos di Kuala Lumpur untuk Jokowi merupakan bukti nyata musuh bermain kayu. “Kami menemukan ada ribuan TPS yang memuat ratusan orang bertanggal lahir sama,” kata Agus Muhammad Maksum, juru bicara BPN, saat dihubungi VICE.

1555411868071-Pekerja
Pekerja bersantai setelah mempersiapkan kotak suara pemilu 2019 di sebuah gudang di Jakarta. Foto oleh Willy Kurniawan/Reuters.

Tim pemenangan Jokowi pun mengklaim jadi korban kecurangan. Termasuk kericuhan di Sydney, membuat ratusan pendukung Jokowi di Australia tak bisa memberikan suaranya di TPS. Gara-garanya panitia menutup akses ke kotak suara ketika calon pemilih yang mengantre masih banyak, dengan dalih sewa gedung sudah berakhir.

“TKN agak terganggu dengan berbagai kericuhan ini, sehingga kami akan menyurati KPU dan Bawaslu agar cepat jangan sampai membiarkan kecurangan terjadi,” kata Maman Imanulhaq, Direktur Relawan TKN Jokowi kepada VICE. “Saya sebagai direktur relawan akan mengarahkan supaya mengawal proses pencoblosan tanggal 17 nanti.”

Serupa dengan 2014, potensi gugatan berlarut-larut di Mahkamah Konstitusi bakal terulang. Pemilihan presiden hanya berlangsung dalam satu putaran, membuat khawatir pendukung kedua capres. Mereka tidak yakin bisa bersatu lagi, setelah iklim politik membuat ikatan masyarakat, bahkan antar sahabat, retak.

“Saya khawatir Indonesia pecah gara-gara hasil pemilu nanti,” kata Bayu Gusti Reza, 20 tahun, yang mendukung Jokowi. Dia ingin republik ini tidak terpecah oleh politik identitas yang menurutnya dilakukan kubu Prabowo-Sandi. “Dari sekarang aja udah kelihatan gesekannya.”

Henti Putri, pendukung Prabowo sekaligus simpatisan Front Pembela Islam, merasakan kekhawatiran serupa. “Saya dan seorang teman SMA sekarang perang dingin di medsos gara-gara pilihan pemilu.”

Henti punya alasan lain sehingga sulit membayangkan Jokowi berkuasa kembali. Sebab dia meyakini 2019 adalah pertaruhan penting untuk bagi orang konservatif sepertinya mengamankan ideologi. “Rezim sekarang diskriminatif dan kerap menyudutkan Islam. Jokowi selama ini tidak janji untuk menghentikan kriminalisasi ulama. Habib Rizieq pun akhirnya juga difitnah,” kata Henti. “Kalau menang saya harap Prabowo bisa menyetop kriminalisasi terhadap ulama.”

1555412107036-PRabowo
Dua perempuan bercadar memberi dukungan di depan poster paslon Prabowo-Sandiaga saat kampanye di Bandung. Foto oleh Willy Kurniawan/Reuters.

Pengamat tidak merasakan pesimisme serupa. Polarisasi memang terjadi, namun masih dalam batas wajar. Perpecahan inipun terjadi, akibat ketidakmampuan Jokowi maupun Prabowo mengusung platform kebijakan yang sepenuhnya berbeda.

“Diferensiasi antarkandidat tidak tampak jelas. Minimnya perdebatan substantif antar kandidat membuat isu-isu penting tergantikan oleh pertengkaran di sosial media,” kata Noory Okthariza, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Penyelanggaraan pilpres serentak dengan pemilihan legislatif membuat masyarakat kebingungan dengan narasi politik. Elit pun sulit mengendalikan isu. Pada 17 April nanti, selain kertas bertuliskan nama Jokowi dan Prabowo, tiap pemilih harus melihat wajah 128 orang calon anggota DPRD, DPR, serta DPD.

“Pemilih tidak punya kemampuan memproses semua informasi terkait Pemilu yang ada di depan mata. Akibatnya, pemilih bertumpu pada shortcut alias jalan pintas dalam rangka membantu mereka mengambil keputusan. Shortcut paling mudah adalah politisasi agama, isu-isu SARA, dan penggunaan nama besar keluarga, atau klan.”

Yohanes Sulaiman, dosen politik Universitas Jenderal Achmad Yani, melihat potensi gugatan kecurangan selepas KPU mengumumkan perhitungan tak membuat suasana di masyarakat lebih panas. Sekalipun Jokowi kalah, dia melihat semua indikator menunjukkan bahwa republik ini tidak serta merta dikuasai kelompok Islamis, seperti dikhawatirkan pemilih liberal yang mendukung petahana.

“Setelah pemilu nanti tidak akan ada yang mengganti Pancasila. Oposisi enggak punya cara melawan secara ideologis,” ujarnya kepada VICE. “Saya lihat demokrasi di Indonesia masih cukup stabil, bahkan seandainya Prabowo menang.”

Kekecewaan mereka yang peduli pada agenda progresif makin membuncah, karena Jokowi selama lima tahun terakhir tidak serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Maria Sumiarsih, yang kehilangan putranya saat terjadi penembakan mahasiswa oleh militer saat 1998, memberi rapor merah untuk Jokowi maupun Prabowo. “Apa yang sudah dilakukan Pak Jokowi selama lima tahun ke belakang? Dua capres ini di bidang HAM sangat buruk,” ujarnya. “Pak Jokowi mengangkat orang-orang terduga pelanggar HAM berat di jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya. Kemudian Pak Prabowo, bagaimanapun dia adalah terduga dalang pelaku pelanggaran HAM berat.”

Badai, agaknya, justru tak berasal dari mereka yang memenangkan pemilu 17 April mendatang. Pusaran angin bermula dari sekelompok anak muda yang tidak puas pada dikotomi politik nasional saat ini. Jumlah mereka membesar. Jajak pendapat terakhir menyatakan jumlah generasi millenial dan generasi Z yang golput mencapai 40 persen—melampaui elektabilitas Prabowo dan membuntuti Jokowi.

Kekecewaan ini karena tiadanya pilihan selain dua nama tersebut, serta berbagai catatan miring Jokowi selama lima tahun memimpin di isu progresif, misalnya perlindungan kebebasan berekspresi, agresifnya pemakaian UU ITE untuk mengkriminalisasi warga sipil, defisit transaksi berjalan dan tingginya utang luar negeri di perekonomian, hingga tidak adanya komitmen dari petahana menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Kelompok Golput ini sudah mulai menguat seiring dengan popularitas akun shitposting macam Nurhadi-Aldo sejak akhir 2018. Belakangan, gerakan mengampanyekan aksi tidak memilih Jokowi ataupun Prabowo menjadi lebih terorganisir, dan sangat ekspresif di media sosial. Golput turut menumpang popularitas film dokumenter Sexy Killers mengungkap hubungan kedua kubu paslon dengan industri batu bara yang merusak lingkungan.

Alghifari Aqsa, pengacara yang terlibat kampanye #SayaGolput, mengaku siap memobilisasi massa penolak Jokowi ataupun Prabowo agar melakukan gerakan sosial konkret setelah hari H pemilu.

“Akan ada agenda-agenda politik yang akan disiarkan oleh teman-teman #SayaGolput. Jadi 17 April kita anggap sebagai gong awalan kerja-kerja politik kita yang lebih besar,” ujarnya.

Sinte Galeshka, anak muda yang ikut dalam gelombang golput, merasa komitmen tidak memilih adalah pendidikan politik bagi semua pihak. Baik itu masyarakat, maupun elit politik. Menjadi golput memang tidak mempengaruhi jalannya kekuasaan, kata Galesh, panggilan akrabnya. Namun baginya keresahan atas cacat Jokowi dan Prabowo perlu disuarakan lewat jalur ekstraperlementer. Dia mencontohkan tekanan kelompok progresif atas revisi Undang-Undang KUHP yang intoleran, nyatanya juga sukses mengubah sikap politikus. “Artinya, orang-orang yang cuma teriak-teriak di sosial media pun punya pengaruh,” kata Galesh. “Kita dapat kebebasan berekspresi juga dari apa? Reformasi. Dan itu dari luar sistem.”

Toh, menurut Galesh, baik tim Jokowi maupun Prabowo sama-sama berasal dari jaringan elit yang sama. Baik itu elit militer, maupun konglomerat kawakan yang menguasai berbagai sektor perekonomian. Pertemuan tertutup Luhut Binsar Panjaitan, tangan kanan Jokowi, dengan Prabowo tahun lalu jadi salah satu indikator bagi kelompok golput bahwa pemilu tahun ini cuma sandiwara elit.

“Polarisasi yang diciptakan kedua kandidat itu sangat parah. Solidaritas kita sebagai warga negara benar-benar dikoyak habis,” kata Galesh. “Lantas apakah kita masih bisa percaya ini adalah sebuah kompetisi? Ini mah cuma ketoprak berbiaya Rp25 triliun.”

*Arzia Wargadiredja, Adi Renaldi, dan Muhammad Ishommuddin berkontribusi untuk laporan ini