Pertaruhan Warga dari Garis Depan Pembersihan Tumpahan Minyak Pertamina di Karawang

oil spill indonesia pertamina

Artikel ini merupakan bagian dari kolaborasi redaksi VICE lintas negara mengulas isu kerusakan lingkungan ekstrem, yang mengancam masa depan anak muda. Awak redaksi dari Indonesia, India, Filipina, hingga Australia menghadirkan laporan mengenai peristiwa paling penting yang butuh perhatian segera dari masyarakat dan politisi. Untuk membaca laporan lain kami tentang isu-isu tersebut, silakan klik Environmental Extremes.

Laporan dari staff writer kami Adi Renaldi mengenai dampak kebocoran kilang minyak Pertamina Hulu Energi yang dialami warga di pesisir utara Jawa ini dipecah menjadi dua bagian. Kalian sedang membaca bagian pertama tentang risiko yang mengintai warga Karawang akibat pembersihan limbah berbahaya tanpa alat memadai. Bagian kedua mendalami dugaan pelanggaran cara pengelolaan tumpahan minyak yang dikumpulkan warga yang dimobilisasi BUMN migas itu.

Videos by VICE


Sepanjang hidupnya Darsa menganggap laut sebagai sahabat karib. Suara deburan ombak merupakan lagu pengantar tidurnya. Selain berprofesi sebagai nelayan, pria 45 tahun itu tinggal begitu dekat di bibir pantai Cemara Jaya, Karawang, Jawa Barat. Karena abrasi parah yang melanda pantai itu satu dekade belakangan, rumah Darsa tinggal berjarak dua meter saja dari batas air laut. Sesesekali bila pasang, air laut tak terbendung menerjang dalam rumah. Tapi hal itupun tak terlalu merisaukannya. Dia masih menganggap laut sebagai sahabat.

Keakraban Darsa dan laut berubah, setelah laut tak hanya mampir membawa air asin. Emas hitam dari perut bumi turut menerjang, membuatnya kehilangan nyaris segala-galanya.

Semua bermula akibat insiden tumpahan minyak Pertamina pada pertengahan Juli 2019. Satu malam di akhir Agustus, ketika jarum jam merangkak naik ke angka 7, tumpahan minyak yang terbawa gelombang pasang dari laut lepa menerjang kediaman Darsa dan 20-an rumah lain di kampung Cemara Jaya. Malam itu kampung mereka dilanda kepanikan. Sebab sampai keesokan harinya, gempuran minyak mentah masih merangsek ke rumahnya. Darsa dan warga sekitar tak punya pilihan selain mengungsi.

Darsa baru dengan jelas tahu keadaan rumahnya saat matahari muncul. Dari luar, dinding rumah Darsa berubah menjadi hitam pekat. Tak cuma tembok depan, cairan hitam kental berbau menyengat itu leluasa masuk ke penjuru rumah. Di dapur dan toilet, minyak mentah yang menggumpal menumpuk hingga setinggi 30 cm.

1568705376346-Oil-Spill-Karawang-8
Kondisi pantai Cemarajaya, Karawang, yang kotor akibat tumpahan minyak dari kilang Pertamina Hulu Energi saat difoto Selasa (3/9). Tumpahan minyak belum berhenti lebih dari sebulan. Minyaknya mengalir ke sejumlah rumah warga. Imbas kebocoran ini juga dirasakan warga pesisir di Bekasi hingga Kep Seribu, Jakarta. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza.

“Baunya sangat menyengat. Saya enggak kuat, dan saya khawatir kesehatan anak,” kata Darsa. “Minyak-minyak terbawa air dan terus masuk ke celah-celah rumah dari malam sampai pagi, sehingga dapur dan toilet penuh oleh minyak.”

Karawang punya garis pantai sepanjang 84 km. Lebih dari separuhnya mengalami abrasi. Air laut dan pasir di sepanjang pantai Karawang memang berwarna coklat kusam. Seketika berubah menjadi hitam pekat saat terjadi kebocoran di sumur YYA-1 Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dioperasikan Pertamina Hulu Energi (PHE), yang cuma berjarak 2 km dari garis pantai Karawang. Sumur YYA-1 sebenarnya bukan sumur baru. Eksplorasi sumur milik anak usaha PT Pertamina pernah dilakukan pada 2011.

Kebocoran ladang minyak YYA-1 bermula pada 12 Juli. Namun baru dua minggu kemudian kabar tersebut menyeruak ke media. Kronologi versi PHE, sebelum terjadi kebocoran sedang dilakukan pengeboran ulang untuk produksi minyak di akhir 2019. Pengeboran tersebut dilakukan kontraktor Halliburton. Kemudian muncul gelembung gas di sekitar sumur eksplorasi.

Gelembung gas sejatinya adalah hal lumrah dalam pengeboran minyak lepas pantai. Tapi dia juga bisa menjadi pertanda buruk pada kegiatan eksplorasi. Pada April 2010, sumur eksplorasi Deepwater Horizon milik raksasa British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko meledak setelah gelembung gas metana menerobos naik melalui pipa bor. Insiden itu menewaskan 11 orang pekerja dan memuntahkan 4.9 juta galon minyak mentah dari dasar Bumi dan menjadi peristiwa terburuk dalam sejarah eksploitasi minyak AS. Butuh waktu lima bulan untuk menutup sumur Deepwater Horizon secara permanen.

Insiden yang terjadi di lepas pantai utara Jawa memang tidak separah kasus Deepwater Horizon. Tapi bukan berarti imbasnya lebih baik buat lingkungan. Empat hari setelah kebocoran diketahui, lapisan tipis minyak (oil sheen) muncul di permukaan laut di sekitar kemunculan gelembung gas. Selang sehari kemudian, tumpahan minyak terlihat di sekitar anjungan dan mencapai pantai Karawang pada 18 Juli. Pihak PHE awalnya menduga, gelembung gas itu muncul karena anomali tekanan udara.

“Terkait penyebab masih dilakukan investigasi yang menyeluruh dan mendalam,” kata Direktur PHE Dharmawan H. Samsu kepada awak media.

Beberapa saat setelah tumpahan minyak muncul ke permukaan, PHE memasang blokade laut, biasa disebut oil boom, di sekitar lokasi tumpahan. Pertamina juga mengerahkan lebih dari 40 kapal buat membersihkan minyak di setiap titik yang terindikasi memiliki konsentrasi tumpahan tinggi. Tapi berbagai upaya tadi belum memadai. Tumpahan minyak tetap lolos dari blokade dan terbawa arus hingga ke pantai, dari Karawang hingga pesisir utara Banten.

Pertengahan Agustus, PHE mulai melakukan pengeboran sumur penyokong (relief well) buat menghentikan gelembung gas dan kebocoran minyak dengan cara menyuntikkan lumpur berat untuk menutup sumber kebocoran secara permanen. Sumur penyokong tersebut rencananya akan dibikin hingga kedalaman hampir 3.000 meter.

1568706778068-Oil-Spill-Karawang-10
Salah satu rumah warga yang tidak bisa ditinggali lagi lantaran terkena tumpahan minyak pertamina yang bocor, Cemarajaya, Karawang Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza.

Pertamina menyewa perusahaan pengontrol sumur asal Texas, Boots and Coots yang punya pengalaman menangani insiden pembakaran kilang minyak saat Perang Teluk dan Deepwater Horizon. Sampai artikel ini dilansir, kebocoran belum berhasil dihentikan sepenuhnya oleh anak usaha PT Pertamina.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendesak Pertamina agar transparan menjelaskan penyebab, setelah sumur yang bocor bisa ditutup. “Ini karena masalah teknis pipanya? Berarti menjadi lampu kuning buat pipa lain. Atau memang karena kebencanaan yang walaupun pipanya bagus, itu menjadi musibah,” kata gubernur akrab disapa Kang Emil itu.

Aktivis lingkungan menilai Pertamina menutup-nutupi masalah sebenarnya yang memicu kebocoran kilang. Tudingan itu dilontarkan Merah Johansyah, koordinator Jaringan Aksi Tambang Nasional (Jatam) saat jumpa pers awal Agustus lalu.

“Kami mencurigai ada kelalaian dari aspek pengeboran. Ini kan persis seperti semburan lumpur. Tapi [Pertamina] kecil-kecilkan dengan kata kebocoran. Ini blow out, ini semburan minyak mentah, jadi harus dibuka datanya,” kata Merah.

Sumur YYA-1 diproyeksi dapat memproduksi minyak sebesar 3.000 barel per hari (Bph) dan menghasilkan gas 23 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Namun informasi lain mengatakan, tumpahan minyak per hari mencapai 400-600 barel per hari. Itulah kira-kira jumlah minyak mentah yang saat ini mencemari laut di pesisir utara Jawa, menyebar di Karawang, Bekasi, hingga Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta.

Ada lima pantai di Kabupaten Karawang: Tirtasari, Sedari, Tanjungsari, Cemara Jaya dan Karangsari. Kelima pantai tersebut menjadi ekosistem pesisir yang saling berkelindan. Ia menjadi rumah bagi nelayan dan memberikan rumah bagi beragam biota, sekaligus destinasi wisata favorit bagi masyarakat sekitar. Warung menjajakan aneka hidangan laut berderet rapi di pinggir pantai. Setiap akhir pekan, sebelum bencana ini terjadi, dipastikan kelima pantai tersebut senantiasa ramai pengunjung.

Setelah kabar tumpahan minyak muliat diliput media, pantai itu tetap riuh, tapi bukan wisatawan. Gantinya adalah kerumunan warga yang bahu membahu membersihkan tumpahan minyak di bibir pantai. Sejak akhir Juli 2019, ratusan warga dipekerjakan Pertamina untuk membersihkan limbah dengan bayaran antara Rp75 ribu-Rp120 ribu plus makan siang.

Kini susah melihat warga berada di rumahnya siang-siang. Mereka hampir pasti berada di bibir Pantai Sedari. Sisi kanan jalan menuju pantai adalah deretan tambak, mangrove, dan rumah warga yang terpaksa ditinggalkan. Sedangkan di sebelah kiri, Sungai Citarum mengalir tenang bermuara ke Laut Jawa.

Sebelum memasuki pantai, saya menghampiri dua orang nelayan yang tengah sibuk di atas kapalnya, memasukkan gumpalan minyak ke dalam karung. Tubuhnya yang hitam legam berlumuran minyak.

1568705597630-oilspill-2
Nelayan di Pantai Sedari menunjukkan jala yang kini penuh minyak.

Kedua nelayan itu habis melaut menjumputi minyak yang ditampung di tandon buatan ukuran 2×2 meter yang dilapisi terpal warna biru. Sudah setengah harian mereka melaut, membawa pulang 30 karung berukuran 5 kg. Dalam sehari mereka bisa membawa pulang 70 karung. Pertamina mengupah mereka Rp20 ribu untuk setiap karung.

“Tak ada ikan di laut gara-gara minyak,” kata salah seorang nelayan berbadan gempal yang menolak dikutip untuk laporan ini, karena khawatir tak lagi diberi pekerjaan mengumpulkan tumpahan minyak oleh Pertamina. Badannya legam karena dihajar sinar matahari dan berlumuran minyak mentah. “Kalaupun dapat ikan atau udang, baunya jadi menyengat sekali. Enggak bakal laku. Sudah sejak bulan lalu kami tak lagi mencari ikan. Ini [kebocoran minyak] juga tak akan berakhir dalam waktu dekat.”

Tak berapa lama mereka pamit menuju lepas pantai lagi, kembali mencari minyak mentah.

Iming-iming upah yang cukup besar itu akhirnya juga menarik warga dari luar Pantai Sedari. Luminto, seorang buruh serabutan yang biasa mangkal di pasar Karawang, menawarkan diri sebagai pembersih minyak saat mendengar upah yang diberikan Pertamina. Syaratnya cukup mudah, kata Luminto, cuma bermodalkan KTP.

“Daripada mangkal seharian belum tentu dapat kerjaan lebih baik mengerjakan ini. Lebih pasti bayarannya,” kata Luminto.

Luminto bukan satu-satunya warga luar yang rela bergumul dengan minyak demi uang. Di pintu masuk lokasi wisata, puluhan pengemudi sepeda motor mengantre di belakang sebuah truk engkel, menunggu giliran menyetor berkarung-karung limbah minyak. Seseorang dengan baju pelindung berwarna putih dengan masker menutup mukanya berdiri di atas bak truk, menyambut karung-karung yang terus berdatangan.

Saat jam makan siang, beberapa warga tengah bersantai menikmati bekal makanan di balai-balai bekas warung yang kini sepi. Di sepanjang bibir pantai, terdapat jaring pengaman yang berdiri tegak, mungkin berfungsi untuk meminimalisir masuknya tumpahan minyak ke daratan.

Bibir pantai tampak bersih dari tumpahan minyak.

“Sekarang kelihatannya bersih,” kata seorang lelaki sambil menunjuk pasir di pantai. “Tapi besok pagi sudah kotor lagi. Gelombang pasang di malam hari membawa tumpahan minyak masuk ke daratan. Begitu terus setiap hari.”

Kata-kata itu disampaikan lelaki paruh baya berperawakan kecil, yang menawarkan batagor jatah makan siangnya. Tawarannya saya tolak halus. Namanya Ciming. Usianya 55 tahun. Bersama istri dan dua orang anaknya, Ciming membersihkan minyak dari pantai sejak pukul 6 pagi sampai matahari terbenam.

Anaknya, Riki Aldiansyah yang berumur 24 tahun, duduk di sampingnya sambil mengisap rokok kretek. Sejak Pertamina mengerahkan warga buat membersihkan pantai, Ciming termasuk warga yang pertama kali diupah buat membersihkan tumpahan minyak. Dia punya usaha menyewakan ban pelampung buat wisatawan yang hendak berenang. Tapi semenjak pantai sepi pengunjung, usahanya praktis mati suri.

1568705727502-oilspill-21
Warga membersihkan pantai Cemara Jaya yang terkena tumpahan minyak mentah tanpa peralatan memadai.

Sejak Pertamina mempekerjakan warga, Ciming tak pernah mengenal hari libur. Sebab bayarannya lumayan dibandingkan saat dia menyewakan ban pelampung. Sekali membersihkan, Ciming bisa membawa 24 karung dengan sepeda motornya. Dalam satu hari dia bisa tiga kali bolak-balik menyetor karung minyak ke truk. Dia mengantongi Rp150 ribu per hari atau Rp4,5 juta per bulan. Sedikit di atas upah minimum Kabupaten Karawang yang mencapai Rp4,2 juta.

“Sebelumnya belum pernah saya menerima upah sebesar ini,” kata Ciming.

Riki mengangguk pelan mengiyakan kata-kata bapaknya. Pendapatan Ciming sebelumnya tak menentu. Bisa membawa pulang Rp3 juta per bulan saja sudah bagus. Untuk membantu keluarganya, Riki bekerja sebagai penjaga tambak milik tetangga. Upahnya selama jadi kuli tambak tak menentu. Kadang sampai Rp1 juta, kadang cuma ratusan ribu tergantung pendapatan juragannya. Sudah pendapatannya mepet, Riki malah kena penyakit syaraf selama kerja di tambak. Sebabnya sepele, begadang setiap hari kena angin laut, kata dokter.

“Sebelum mengangkut minyak kemarin sudah sempat periksa dulu ke dokter,” kata Riki. “Saya belum pernah kerja di kota. Seumur hidup di sini. Asuransi kesehatan juga enggak ada.”

Dalam jarak setiap meter, kerumunan warga terlihat menggali pasir untuk mencari sisa tumpahan minyak. Dengan tangan kosong dan tanpa pelindung apapun. Padahal baju pelindung dalam menghadapi insiden tumpahan minyak adalah wajib. Riki mengatakan Pertamina memberi satu set alat pelindung diri (APD) berupa sepatu bot, masker, dan baju nylon. Namun banyak warga tak menghiraukan, termasuk Riki dan keluarganya. Alasannya, Pertamina cuma memberikan satu stel baju pelindung untuk bekerja selama berbulan-bulan.

1568706978260-oilspill-22
Kebocoran pipa milik PT Pertamina yang terjadi sejak 25 Juli 2019 mengotori garis pantai utara Karawang hingga Muara Gembong Bekasi sepanjang 84 Km.

Riki juga mengaku beberapa warga tak mendapat sosialisasi tentang perlindungan diri. Meskipun ada yang tahu soal sosialisasi, kebanyakan dari mereka tetap tak mengindahkan risiko kesehatan. Padahal, sebuah spanduk berbunyi “Anda Memasuki Wilayah Wajib Penggunaan Alat Keselamatan” berukuran besar sudah menyambut siapa pun di pintu masuk Pantai Sedari.

Riki mengajak saya naik motor bebeknya mengambil limbah minyak di pantai Dobolan, sekira 7 km dari pantai Sedari. Di sana masih kotor, kata Riki. Saya mengiyakan ajakannya dan segera melompat ke jok motornya. Di bawah jok motornya, Riki sudah membawa 24 karung plastik kosong. Jika sudah terisi penuh, Riki akan kembali ke titik jemput dan memasukkan karung-karung itu ke bak truk.

“Saya sering merasa pusing juga [setelah membersihkan tumpahan minyak],” kata Riki. “Tapi itu mungkin karena seharian di bawah matahari saja. Baju pelindung dari Pertamina cuma satu buah, masak mau setiap hari dipakai?”

Dari data Dinas Lingkungan dan Kebersihan Kabupaten Karawang, 7.500 warga yang membersihkan minyak di wilayah mereka terserang gatal-gatal dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Data itu baru mencakup pertengahan Agustus, berdasarkan pendataan lapangan di posko yang tersebar di titik kontaminasi minyak sepanjang pantai utara Karawang. Sangat mungkin angka tersebut bakal terus bertambah selama sistem perlindungan diri diabaikan.

1568706691614-oilspill-3
Antrean Ojek yang mengangkut tumpahan minyak mentah yang diakibatkan kebocoran pipa bawah laut dari sumur Pertamina di Karawang.

Pertamina Hulu Energi menargetkan penutupan sumber kebocoran selesai sepenuhnya pada 8 Oktober. Hingga saat itu tiba, ratusan barel minyak bakal menyembur setiap hari, mengotori ekosistem pesisir utara Pulau Jawa. Pemerintah dan BUMN migas itu untuk sementara masih fokus pada kompensasi warga.

Karena dianggap abai pada dampak kesehatan dan kesejahteraan warga terdampak, Koalisi Mayarakat Sipil bersama mahasiswa pada 14 September lalu mengirim somasi pada Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana. “Pemkab Karawang malah sibuk mengurusi kompensasi,” kata Ravindra juru bicara koalisi warga. Sampai sekarang tidak ada pos kesehatan untuk memantau kesehatan warga yang terdampak. “Pemerintah abai terhadap korban pencemaran.”

Pada 11 September lalu, Pertamina mulai melakukan pembayaran senilai Rp18,54 miliar sebagai ganti rugi buat 10.271 warga yang terdampak kebocoran. Itu setara Rp900 ribu per warga setiap bulan, untuk jangka dua bulan mereka kehilangan mata pencaharian.

Wariyah, perempuan 43 tahun yang punya warung dan tambak, uring-uringan dengan skema kompensasi tersebut. Tambaknya butuh penggantian air laut secara rutin biar ikan-ikannya sehat. Namun jika sumber air lautnya saja sudah tercemar, bagaimana dengan tambak ikan, keluh Wariyah. Warungnya juga mengalami hal sama, yang jajan di sana kini cuma para pekerja pembersih minyak yang mencari kopi atau mi instan.

“[Rp900 ribu] tentu saja kecil. Lalu warung saya gimana? Ini sepi juga kan karena minyak tumpah.”

Sulit membayangkan dampak buruk kebocoran minyak itu bisa dengan mudah ditukar dengan ratusan ribu rupiah dan sebungkus nasi makan siang. Ciming dan warga lain kesulitan membayangkan hari-hari depan. Mereka hanya bisa pasrah pada keadaan.

“Apa boleh buat, ini sudah terjadi,” kata Ciming. “[Tumpahan minyak] juga bentuk rezeki dari Tuhan, walaupun lewat bencana.”

Elisabeth Glory Victory dan Iqbal Kusumadirezza berkontribusi dalam liputan ini