Andai ada penghargaan “tempat paling sering memicu pelanggaran HAM di Indonesia”, ruang tahanan di kantor kepolisian punya kans besar menang. Untuk kesekian kalinya, tahanan yang belum diadili harus meregang nyawa setelah mengalami penyiksaan di kantor polisi. Hendra Syahputra, tahanan Polrestabes Medan, Sumatera Utara, menjadi korban terbaru.
Keengganan Hendra membayar Rp2 juta sebagai “uang kebersamaan” di ruang tahanan, berujung pemukulan serta pemaksaan melakukan masturbasi menggunakan balsem oleh napi lain. Hendra akhirnya tewas akibat penyiksaan tersebut setelah sempat dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan. Saat meninggal, status Hendra masih saksi, belum menjadi tersangka untuk kasus kekerasan seksual yang menjeratnya.
Videos by VICE
Tewasnya Hendra terjadi pada 24 November 2021, namun akhirnya diusut beberapa bulan setelahnya, sampai berlanjut diproses ke Pengadilan Negeri Kota Medan. Dalam sidang yang berlangsung 11 Juni 2022, muncul fakta baru mengejutkan. Salah satu terdakwa penyiksaan mendiang Hendra, yakni Hisarma Pancamotan, bersaksi bahwa dia dan 12 tahanan lain berani melakukan penyiksaan, karena diberi perintah seorang personel Polrestabes Medan, berpangkat ajun inspektur dua (aipda) bernama Leonardo Sinaga.
Upaya meredam kontroversi segera diambil Polrestabes Medan. Kabid Humas Polda Sumut Hadi Wahyu membenarkan kesaksian Hisarma, sembari mengumumkan ancaman pemecatan bagi Leonardo. “Kapolda Sumut tidak menolerir adanya penyimpangan yang terjadi,” kata Hadi dilansir Detik, Minggu (12/6).
Leonardo dinilai telah melanggar kode etik pasal 7, 11, dan 13 Peraturan Kapolri 14/2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Sejak 13 Juni lalu, Hadi menyebut Leonardo menghadapi proses pidana terpisah atas tindakannya memerintahkan penyiksaan tahanan.
Kasus kematian Hendra ini ramai disorot publik, membuat polisi memindahkan 306 tahanan dari Polrestabes Medan ke beberapa rumah tahanan (rutan) di Kota Medan. “Saat ini sudah over kapasitas, jadi 306 tahanan yang sudah divonis dan statusnya inkrah kita pindahkan ke Lapas Tanjung Gusta dan beberapa lapas lain di Medan,” tambah Hadi.
Wakil Direktur LBH Medan Irvan Saputra mendesak pengusutan kasus tewasnya Hendra secara tuntas, mengingat ruang tahanan di kantor polisi sudah terlampau sering jadi wadah penyiksaan.
“Dalam dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) Pantun Marojahan Simbolon terungkap jika HS dipaksa oleh tahanan bernama Rizki untuk masturbasi pakai helm. [Usut tuntas kasus] Dikarenakan bukan kali ini saja adanya keterlibatan anggota kepolisian dalam dugaan penyiksaan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kapolda Sumut,” ucap Irvan kepada Suara.
Merujuk arsip yang dirangkum VICE, kematian tahanan di polres atau polsek terlampau sering terjadi. Pada Januari 2022, FNS tewas saat ditahan di Polres Jakarta Selatan. Sebelum meninggal, ia mengaku sering dipukuli sehingga banyak luka-luka di sekujur tubuhnya. Pada Agustus 2021, Hendri Alfred meninggal di tahanan Polresta Batam juga dengan lebam di sekujur tubuh.
Pada 2011, LBH Masyarakat mencatat dari 388 tersangka kasus narkotika di seluruh Tanah Air, 115 di antaranya mengalami penyiksaan. Data Komnas HAM selama setahun pada 2020-2021 melaporkan kedegilan yang tidak jauh beda, dengan catatan 11 kasus kematian tahanan di tingkat kepolisian dan meninggal kurang dari 24 jam setelah ditangkap. Adapun sepanjang tahun lalu, dari 150 peserta penyuluhan hukum rumah tahanan Jakarta, 22 orang mengalami penyiksaan di rutan kepolisian.
Dengan kasus sebanyak dan sepanjang ini, jelas ada yang salah dari sistem penahanan di ruang tahanan kantor polisi. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut bahwa praktik ini mustahil hilang apabila tidak ada revisi KUHAP yang menghadirkan pengawasan oleh pengadilan dalam proses penangkapan dan penahanan.
“Hal ini perlu dilakukan sebagai usaha mengakhiri akar penyebab masalah yang terletak pada kewenangan kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penahanan tanpa ada mekanisme pengawasan yang ketat, terlebih ketika kantor kepolisian juga digunakan sebagai tempat penahanan,” tulis peneliti ICJR Genoveva Alicia dalam siaran pers yang diterima VICE.
Untuk itu, otoritas yang mengelola tempat penahanan sejatinya harus dipisahkan dari otoritas yang melakukan penyelidikan. “Jaminan ini harus ada dalam KUHAP untuk menghindari adanya praktik-praktik penyiksaan dan pemeriksaan di waktu-waktu yang tidak wajar, sebagaimana terjadi di dalam kasus-kasus penyiksaan yang ada saat ini,” tambahnya.
Melihat belakangan lembaga legislatif justru diam-diam lembur meloloskan RKUHP yang kontroversial tanpa upaya melibatkan publik, harapan agar DPR mendorong reformasi sistem penahanan agaknya masih jauh panggang dari api.