Lelaki berperawakan kurus, berkacamata, berusia pertengahan 20-an, dan memiliki rambut gondrong sebahu itu berlari-lari kecil menuju kerumunan dekat Gereja Santa Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. “Eh, Tugu Tani panas!” ujarnya. “Kita siap-siap.”
Dia bernama Ari. Jam baru menunjukkan pukul tujuh sekian malam, tapi wajahnya mulai agak pucat dan banyak bulir keringat berjatuhan, tanda kelelahan. Namun, setiap detik baginya sangat berharga. Sebab banyak hal bisa terjadi—termasuk kemungkinan eskalasi konflik paling buruk—dalam demonstrasi besar-besaran menolak pengesahan UU Cipta Kerja, yang berpusat di sekitaran bilangan Thamrin, Jakarta Pusat.
Videos by VICE
Setelah mengumumkan kondisi terbaru pada rekan-rekannya, Ari bergegas memasang masker dan helm pelindung kepala, lalu meminta teman-teman satu tim merapatkan barisan. Berjalan kaki dari Gereja Santa Theresia, rombongan ini berangkat menuju Tugu Tani, yang berjarak kurang lebih dua kilometer.
Ari menjadi koordinator relawan paramedis yang berada di garis depan demonstrasi. Tugasnya memberi pertolongan dan perawatan kepada peserta demonstrasi yang mengalami luka-luka atau sakit di tengah jalan.
“Sampai sekarang udah ada belasan [orang] yang kami rawat,” terangnya. “Yang paling parah itu luka berat karena bentrok sama aparat. Sisanya ada yang kena asma atau pusing.”
Relawan yang berada di bawah komando Ari mayoritas personel paramedis dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkumpul dalam satu atap: Koalisi Sipil. Di antaranya adalah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), LBH Jakarta, hingga Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Koalisi ini cair, karena sebagian anggotanya adalah warga biasa dengan beragam latar belakang. Ari sendiri tidak menghitung berapa orang yang menjadi relawan medis bersama komandonya sepanjang aksi panas 8 Oktober 2020.
Gerak Ari nyaris tanpa henti. Sebelum menyusuri jalan ke Tugu Tani, sepanjang sore dia lebih dulu beradu hadap dengan eskalasi aksi yang meningkat tajam, yang ditandai terbakarnya pos polisi di tengah Sarinah dan deretan halte TransJakarta.
“Masa-masa kritisnya di situ. Setelah jam 4 sore, massa mulai panas,” kata Ari. “Ketika sudah panas, kami wajib untuk stand by dan siaga. Jadi, kalau ada peserta demo yang luka atau kolaps, kami bisa langsung tangani.”
Eskalasi konflik memanas ketika ada beberapa sosok yang sengaja memprovokasi massa agar melempari polisi dan merusak fasilitas umum. Mahasiswa mengaku orang-orang yang agresif bukan bagian dari mereka. Sebelum bentrok sore pecah di Jl Thamrin, polisi lebih dulu menangkapi banyak peserta aksi.
Total, lebih dari 1.000 orang ditangkap aparat di 18 provinsi karena terlibat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Polisi mengklaim yang mereka tangkap adalah “anak anarko”. Beberapa peserta aksi, jurnalis mahasiswa, dan jurnalis yang meliput aksi juga sempat dilaporkan hilang, namun kini keberadaannya sudah ditemukan. Satu jurnalis ditahan di Polda Metro Jaya, padahal sudah menunjukkan kartu pers. Selain itu, dua pewarta alat kerjanya dirampas dan diintimidasi aparat ketika menjalankan tugas.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyatakan temuan di lapangan menunjukkan aparat menyerang dan langsung menahan demonstran lebih dulu, terutama menyasar mereka yang berbaju hitam. Pola macam ini sudah terjadi sejak gelombang demo dimulai pada 6 Oktober. Sementara Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati mengatakan, dari data di 18 provinsi, banyak polisi melakukan kekerasan pada peserta aksi menolak UU Cipta Kerja. “Kalaupun sudah ditangkap, buat apa mereka dipukuli? Itu namanya brutalitas. Bahkan ada yang ditelanjangi,” kata Asfinawati, seperti dikutip BBC Indonesia.
Ari tidak sempat memikirkan berbagai narasi itu, dan fokus sepenuhnya merawat demonstran yang luka. Perbekalan yang dibawa tim relawan paramedis cukup standar: dari perban, obat merah, hingga minyak kayu putih. Cara kerja mereka, menurut Ari, sebisa mungkin sederhana. Ketika ada peserta demo yang jatuh di tempat, mereka bakal segera meresponsnya, sebelum akhirnya dibawa ke tempat yang lebih aman atau posko terdekat.
Tapi, bila luka yang timbul tergolong berat, peserta demo langsung dibopong ke rumah sakit guna menjalani pemeriksaan yang lebih intensif serta proporsional.
“Harus pinter-pinternya kita buat tahu situasi di tengah kerumunan massa aksi yang enggak sedikit,” imbuhnya.
Demo menolak Omnibus Law menjadi keikutsertaan Ari yang kedua dalam konteks sebagai relawan. Sebelumnya, pada 2019, dia turut bergabung di garda depan penanganan korban kericuhan di aksi Reformasi Dikorupsi, berlangsung di sekitar Gedung DPR, diikuti aliansi mahasiswa-pelajar-sipil, dan ditujukan untuk memprotes berbagai produk hukum yang dianggap buruk seperti revisi UU KPK atau RKUHP.
Ari mengatakan keputusannya untuk turun ke jalan, dengan statusnya sebagai relawan, lebih-lebih di tengah masa pandemi seperti saat ini merupakan bentuk kepeduliannya terhadap kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi, Ari bilang, berada di titik nadir, dan semangat Reformasi yang sudah berusia dua dekade terlihat tak lagi punya taji. Sebab, kini pemerintah memaksakan lahirnya undang-undang pro-bisnis tanpa mempertimbangkan masukan masyarakat.
“Demokrasi udah kayak enggak ada harganya. Omnibus Law menjadi satu dari sekian contoh yang ada,” tegasnya.
Setelah berjalan nyaris 20 menit, rombongan medis sampai di simpang Cikini Raya. Massa telah berkumpul. Sorak-sorai peserta demo memenuhi sudut-sudut jalanan, menandakan energi mereka belum tandas. Tak lama berselang, keadaan berubah drastis. Dari arah Tugu Tani, massa berlarian, bercampur dengan kepanikan dan teriak lantang: “Awas, polisi!”
Saya lalu mengambil arah balik. Tepat di sinilah saya dan Ari berpisah. Sempat saya melihat sosoknya dengan kepercayaan diri tinggi terus melaju ke arah yang berlawanan dari massa aksi. Dari jarak yang tak terlalu jauh, samar-samar terdengar suaranya yang khas:
“Kami medis, pak!”
Ari kembali melanjutkan misinya.
Adhityo nampak sibuk dengan gawainya, sesaat setelah mobil bertuliskan “Maharani Peduli” yang dia kendarai tiba tepat di depan Sarinah. Tangannya sibuk mengarahkan kamera gawainya ke arah jalanan Thamrin yang sungguh berantakan.
“Situasi sekarang sudah mulai terkendali,” ucapnya di tengah lalu-lalang orang.
Sementara Adhityo masih menuntaskan laporan visualnya, tiga lelaki mulai mengeluarkan kotak kardus berisikan makanan yang terbungkus dalam plastik berukuran besar berjumlah tiga hingga empat buah.
“Hoi, ada makanan, nih!” teriak salah satu mahasiswa, memberi pertanda kepada yang lain.
Gayung bersambut. Ajakan itu direspons suka cita. Kurang dari lima menit, konsumsi yang dibagikan secara cuma-cuma tersebut langsung ludes. Senyum cukup lebar mengembang dari wajah Adhityo. Dia lega melihat bungkusan makanan yang dia bawa diserbu peserta demo.
“Sebelumnya kita lebih banyak terjun di daerah yang kena bencana seperti banjir, tanah longsor, atau gempa,” papar Adhityo.
Keterlibatan Maharani Peduli dalam aksi demonstrasi, kata Adhityo, dilandasi sikap dan kepercayaan yang menyebut bahwa politik—inti dari demonstrasi—termasuk bagian kemanusiaan.
“Terlepas dari apa paham politik yang kita bawa, yang jelas, secara keseluruhan, ini juga bagian dari kemanusiaan,” tambahnya. “Karena itu turun ke jalan di acara politik masih sesuai dengan visi dan misi yang kami anut.”
Sekali jalan, Maharani Peduli biasanya membawa pasokan logistik berupa makanan. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga turut membawa obat-obatan. Semua logistik diberikan dengan gratis. Prioritasnya adalah orang-orang yang berada di lapangan.
Adhityo menerangkan bahwa apa yang mereka tempuh bukan sekadar kegiatan amal; memupuk pahala untuk bekal akhirat. Aktivitas Maharani Peduli, Adhityo meyakini, lebih dari itu.
“Kalau dihubungkan dengan aksi demo menentang Omnibus Law saat ini, [kegiatan] kami kurang lebih bentuk dukungan juga. Enggak hanya dukungan kepada mereka yang demo, melainkan juga atas tuntutan yang sedang diperjuangkan,” katanya.
Untuk Adhityo, UU Cipta Kerja bukanlah hal utama yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Dia berharap pemerintah fokus mengeluarkan kebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan sengkarut pandemi. Selain itu, berdasarkan informasi yang dia kumpulkan dari berbagai sumber, RUU Cipta Kerja tidak sepenuhnya pro-rakyat, dan oleh sebabnya dia sepakat: lebih baik tidak perlu diundangkan.
“Karena, ujung-ujungnya, rakyat kecil seperti kami dan teman-teman yang ada di sini [Thamrin] sekarang yang [bisa] kena konsekuensinya,” jawabnya.
UU Cipta Kerja, yang disusun dengan metode omnibus alias sapu jagat karena menggantikan banyak UU lain, dijanjikan pemerintah bakal menjadi solusi mengatasi berbagai persoalan rumit: mulai dari memudahkan investasi, menutup celah korupsi, menggenjot pemasukan pajak, hingga membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang.
“Sebuah tradisi sedang kita mulai, yaitu dengan menerbitkan Omnibus Law. Satu undang-undang yang mensinkronisasikan puluhan undang-undang secara serempak,” ujar Presiden Joko Widodo, dalam sambutan acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, akhir Agustus 2020.
“Sehingga antar undang-undang bisa selaras memberikan kepastian hukum, serta mendorong kecepatan kerja dan inovasi dan akuntabel serta bebas korupsi.”
Akan tetapi, perangkat aturan hukum ini punya muatan yang berpotensi merugikan buruh, lingkungan, masyarakat adat, hingga penganut agama lokal. Penolakan keras konsisten bermunculan, termasuk saat UU Cipta Kerja pertama kali masuk Program Legislasi Nasional awal 2020.
Pemerintah terus meyakini Omnibus Law adalah solusi terbaik, sehingga dibantu DPR, nyaris 1.000 halaman draf pasal disahkan menjadi UU, dalam Rapat Paripurna di mana enam fraksi menyatakan setuju, sementara dua menolak.
Pengesahan itu memicu protes dan akhirnya rangkaian tiga hari aksi di berbagai kota Indonesia. Selain dinilai abai pada nasib buruh dan keberlangsungan lingkungan hidup, masyarakat sipil juga menganggap penggarapan UU Cipta Kerja cacat prosedural, tak transparan, serta mengangkangi prioritas berupa penanggulangan pandemi—yang makin ke sini makin belum memperlihatkan tanda-tanda selesai.
Di ruang maya, seruan tolak UU Cipta Kerja muncul secara simultan serta menjadi trending topic. Deretan poster, infografis, hingga kumpulan thread silih berganti mencuat ke permukaan membawa pesan serupa: UU Cipta Kerja punya bermacam problem yang berisiko merugikan banyak orang.
Upaya menggagalkan Omnibus Law sangat gencar di media sosial. Tagar yang berkaitan dengan penolakan terhadap legislasi itu meroket sampai jadi trending topic dunia. Lalu, dalam 24 jam terakhir, muncul tagar #MahasiswaBergerak yang diasosiasikan dengan panggilan untuk demonstrasi. Bermacam tips untuk melindungi diri saat aksi, serta nomor bantuan hukum jika demonstran ditangkap aparat juga diedarkan lewat media sosial. Kanal donasi, seperti yang mengongkosi Ari dan teman-teman, menampung bantuan dari netizen yang bersimpati pada agenda penolakan UU Cipta Kerja.
Namun pemerintah berkukuh aksi nasional selama kurun 6-8 Oktober tidak murni. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuding demonstrasi ini dibayar politikus tertentu, mendiskreditkan ketulusan partisipasi peserta aksi.
“Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind demo itu. Kita tahu siapa yang menggerakkan, kita tahu siapa sponsornya. Kita tahu siapa yang membiayainya,” kata Menko Airlangga Hartarto saat diwawancarai CNBC Indonesia. “Tokoh-tokoh intelektual ini saya lihat mempunyai, dalam tanda petik, ego sektoralnya yang cukup besar. Karena para tokoh ini tidak ada di lapangan, mereka adalah di balik layar.”
Secara tidak langsung, pemerintah menuding organisator mogok kerja buruh-buruh pabrik kawasan Jabodetabek, seperti yang digalang Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Selain itu, yang tidak kalah massif, adalah konsolidasi mahasiswa Makassar, Yogyakarta, Surabaya, hingga Semarang, yang mendatangkan massa ribuan orang di kota masing-masing.
Khusus demonstasi di Ibu Kota untuk 8 Oktober 2020, motor utama aksi menolak omnibus law hari itu adalah aliansi mahasiswa berbagai kampus. Ini berarti sudah dua kali dalam rentang waktu satu tahun terakhir mahasiswa tumpah ruah di jalanan Jakarta guna menyerukan kemuakan terhadap pemerintah. Sebelumnya pada September 2019, mahasiswa dan pelajar sekolah menengah mengguncang kawasan Gedung DPR dan sekitarnya lewat aksi Reformasi Dikorupsi.
Tidak ada yang bisa menghitung pasti berapa jumlah mahasiswa yang turun ke jalan dalam aksi tolak UU Cipta Kerja. Namun menurut penjelasan Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI), Remy Hastian, demonstrasi sehari sebelumnya, angkanya diperkirakan menyentuh 5.000.
“Diperkirakan [8 Oktober] bisa tembus 5.000-an massa kalau dilihat dari antusiasme publik. Antusiasme kampus banyak, ya. Kalau di Jakarta sekitar 20-an, nanti mereka mengirimkan mahasiswanya,” ucapnya.
Salah satu mahasiswa yang berpartisipasi dalam aksi tolak UU Cipta Kerja adalah Andi, yang datang dari Universitas Pamulang bersama tiga orang temannya. Jarak Pamulang-Thamrin dia terabas demi turut serta merapatkan barisan dengan massa yang lain.
“Sudah niat sejak beberapa hari lalu. Pokoknya harus dateng,” ucapnya kepada VICE. “Kecewa banget sama pemerintah sekarang.”
Selain Andi, ada pula Rahmat, mahasiswa Politeknik LP3I Jakarta, yang datang dengan tujuan serupa. Menurutnya, mahasiswa tak boleh tinggal diam tatkala berbagai kebijakan yang dibikin pemerintah malah membuka peluang penyelewengan dan merugikan banyak orang.
“Jangan sampai mereka diam saja. Turun ke jalan salah satu tujuannya, ya, itu: membuat mereka sadar,” katanya berapi-api.
Keikutsertaan Andi dan Rahmat dipicu setelah mereka mempelajari draf terlengkap omnibus law yang sejauh ini bisa diakses masyarakat. Naskah final UU Cipta Kerja sendiri sampai sekarang belum jelas rimbanya, karena DPR mengaku masih perlu ada perbaikan di sana-sini.
Menurut Andi, bersama teman-teman kampus mereka sudah mempelajari dulu rute aksi hingga kiat cepat terhindar dari terjangan aparat. Mereka juga terus berkoordinasi sehingga bisa saling jaga jika demonstrasi berubah kacau. Di lapangan, solidaritas nyatanya tak sekadar berlaku bagi mahasiswa satu almamater saja. Hal ini terlihat jelas di Cikini Raya, tak lama setelah massa aksi yang awalnya berorasi damai dipukul balik secara membabi buta oleh personel Brimob Polda Metro Jaya.
Mahasiswa beda kampus saling menjaga dan menguatkan. Yang dilakukan bisa dari hal paling sederhana seperti menawari minuman atau makanan, sampai yang paling berat sekalipun seperti bahu-membahu lari dari serbuan polisi.
Contohnya sosok Fajar dan Ardian, masing-masing mengenyam bangku perkuliahan di Universitas Bung Karno dan Universitas Kristen Krida Wacana. Keduanya baru saling mengenal malam itu, saat lari dari kejaran polisi.
“Tadi gue ditarik [Fajar] waktu hampir terjatuh pas lari sama Fajar,” cerita Ardian, yang masih menunjukkan wajah shock. “Gue enggak biasa demo, sekalinya demo langsung nemu [kejadian] kayak gini.”
Fajar beranggapan sudah sewajarnya antarmahasiswa, tak peduli asalnya dari mana, saling membantu, terlebih ketika situasinya berbalik arah menjadi ganas dan rusuh.
“Karena pada dasarnya gue percaya bahwa anak-anak yang turun di sini itu semua teman, semua pengin menyampaikan satu pesan dan tujuan,” ucapnya. “Kalau ada yang bilang ini massa bayaran, atau orang-orang yang suka bikin rusuh, lo salah besar.”
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram