FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

'Orang Buruan': Rasanya Masuk Daftar Target Pembunuhan Presiden Duterte

Target pembunuhan misterius di Filipina rata-rata anak jalanan atau keluarga broken home yang kecanduan narkoba. VICE mewawancarai satu orang yang selamat walau masuk daftar operasi Rodrigo Duterte.
Foto oleh Associated Press

Sejak terpilih sebagai presiden Filipina Juni 2016, Rodrigo Duterte semakin getol menebar ancaman penggunaan kekerasan pada kriminal. Sebetulnya, ucapan-ucapan kontroversial bukan barang baru bagi mantan wali kota itu. Sejak masa kampanye pilpres, Duterte sudah berulang kali melontarkan kata-kata penuh ancaman.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Duterte, misalnya, dengan enteng menyebut anak-anak yang tewas dalam perang terhadap pengguna narkoba beberapa bulan terakhir sebagai "korban yang wajar", sembari terus sesumbar akan

Iklan

mengganyang 3 juta pecandu narkoba

di Filipina. Duterte tak ragu menyemangati warganya untuk i

kut membantai siapapun

yang mereka dapati tengah melakukan kegiatan kriminal.

Pada 12 Desember lalu, saat berpidato, Duterte mengaku pernah membunuh warga yang ditengarai sebagai pelaku kriminal dengan tangannya sendiri. Saat itu dia masih menjabat sebagai Walikota Davao sepanjang kurun 2013–2016.

Sampai sekarang, lebih dari 5.000 tersangka telah ditembak mati oleh polisi dan maupun kelompok tak dikenal setelah Duterte resmi menjadi orang nomor satu di Filipina.

Jay adalah salah satu orang yang diisukan masuk daftar operasi pembunuhan misterius di Filipina. Saya pertama kali bertemu Jay ketika tinggal di Davao pertengahan 2009. Waktu itu, saya bekerja untuk sebuah LSM. Jay mengaku bahwa dirinya sudah masuk "daftar"—merujuk pada datar buruan tak resmi yang dipegang oleh Davao Death Squad (DDS).

Kelompok bertopeng yang banyak menembak mati terduga pecandu maupun pelaku kriminal ini beraksi sangat rapi. Menyerupai operasi Penembakan Misterius di Indonesia pada pertengahan era 80-an yang direstui Presiden Soeharto. Banyak yang menduga grup bertopeng ini sebetulnya terdiri atas polisi atau militer Filipina. Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa pada 2009 menyoroti serangkaian pembunuhan di Davao yang terjadi di bawah kepemimpinan Duterte. PBB mengutuk keras tindakan Duterte yang ditengarai memberi dukungan pada kegiatan Davao Death Squad, kelompok yang suka main hakim sendiri membunuh kriminal. "Wali Kota Davao hanya diam saat pembunuhan massal sistematis terjadi. Komentar yang diberikan di depan publik dengan gamblang menunjukkan dirinya mendukung aksi ini," demikian yang tertulis dalam laporan PBB.

Iklan

Saya menemui Jay dan beberapa kawannya di sebuah taman tempat mereka biasa berkumpul. Kami ngobrol ngalor ngidul tentang banyak hal, tentang musik juga tentang betapa berbahayanya tinggal di lingkungan mereka.

Sekali masuk daftar (Duterte), maka tinggal tunggu waktu sampai kamu "dijemput" DDS, ujar Jay.

Banyak warga Davao mendukung DDS karena mereka menawarkan solusi praktis terhadap kasus kriminalitas di sana. Salah satunya bahkan dengan santai mengatakan bahwa apa yang dilakukan DDS baik bagi Davao—mereka cuma "bikin bersih jalanan saja." Operasi yang dilakukan DDS malah dianggap sebuah kisah sukses pemberantasan kejahatan hingga dijadikan model di Filipina. Pada bulan Mei 2015, beberapa kota lain di Filipina dilaporkan mulai membentuk epigon DDS mereka sendiri.

Dari sembilan anak yang nongkrong bersama saya di Davao, semuanya hidup di jalanan dan masuk daftar DDS. Mereka tahu urutan "penjemputan" mereka tapi tak pernah tahu kapan akan didatangi grup vigilante. Semuanya memiliki latar belakang keluarga yang bermasalah atau sekadar punya nasib buruk.

Di Davao, keputusan gegabah yang kamu ambil ketika masih belia bisa membuatmu mati muda. Bentuk keputusanmu bisa macam-macam dari menjadi penjahat kroco, salah memilih teman, hidup di jalan atau jadi pemadat narkoba murah, rugby —versi Filipina dari "ngelem." Rugby bisa digunakan untuk menahan lapar, sesuatu yang dicari oleh anak-anak yang tinggal di jalan.

Iklan

Pertemuan kedua saya dengan Jay terjadi lewat video call skype yang kembang kempis. Jay muncul dengan kepala dibalut perban. Dia baru saja selamat dari sebuah tikaman ke arah kepala. Seorang anggota vigilante menyatroninya ketika sedang bersepeda motor. Lima tusukan dilayangkan ke tubuh Jay, satu mendarat di batok kepalanya dan 2 lagi melukai dengkulnya. Insiden itu terjadi dekat sebuah warnet tiap ia menghubungi saya lewat Skype. Jay, tentu saja, bukan satu-satunya korban. Beberapa yang dianggapnya sebagai teman sudah lebih dulu tumbang.

Adalah mubazir untuk mengharapkan proses peradilan jika anda sudah masuk daftar. Ada berbagai laporan tentang kasus salah target. Beberapa saksi mengatakan bahwa para pembunuh itu berteriak "kita salah orang" tak lama setelah menghabisi target mereka. Menyoal hal ini, Duterte beberapa waktu lalu mengatakan "memangnya nyawa 20 pelaku kriminal ada harganya? Kalaupun saya yang berduka, apakah nyawa 100 orang brengsek ini ada artinya?"

Dalam berbagai kasus, korban DDS menemui ajal setelah ditikam dengan pisau jagal. Penyerangan biasanya dilakukan di ruang publik di depan banyak saksi. Sayangnya, saksi-saksi ini tak pernah dimintai keterangan atau malah kadung ciut untuk bicara pada polisi. Pembantaian terjadi di tempat yang sangat diakrabi Jay dan kawanannya—termasuk tempat mereka memarkir mobil atau di depan outlet restoran waralaba cepat saji Jollibee yang maskotnya mirip dengan Buzz Lightyear dari film Toy Story dengan paduan baju berwarna merah dan kuning lebah.

Selagi kami berjalanan, saya sempat bertanya kenapa Jay tak melarikan diri. Jay menimpali dengan mengatakan bahwa Davao adalah rumah baginya—Jay datang ke Davao setelah ibunya meninggal dan ayahnya makin abusif. Tak lama kemudian, ia mengenalkan saya dengan Seol, teman Jay yang percaya bahwa dirinya segera dijemput dalam waktu dekat.

Beberapa bulan kemudian, lewat sebuah pesan Facebook saya tahu dugaan Seol benar adanya. Seol sudah dijemput. Selama 7 tahun kemudian, salah satu saudara laki-laki Seol menemui nasib yang sama sementara satu orang lagi kini mendekam di penjara. Orangtua Seol—bersama ratusan orang tua lainnya di Filipina—dirundung duka mendalam karena solusi praktis pemberantasan kriminalitas ala Duterte.

Selasa lalu, 13 Desember waktu setempat, dua senator Filipina meminta Duterte dimakzulkan karena mengaku pernah membunuh orang dengan tangannya sendiri. Di minggu ini juga, pemerintah Amerika Serikat mengancam akan meninjau paket bantuan untuk Filipina yang bernilai jutaan dollar akibat bermacam pelanggaran HAM yang dilakukan Duterte.

Meski demikian, popularitas Duterte tetap tak tergoyahkan. Setiap usaha untuk menghentikan lelaki yang dikenal sebagai "The Punisher" seakan tak berdampak pada dirinya.