Pondok pesantren kembali tercoreng skandal akibat ulah predator seksual mencari mangsa. Tepat pada pergantian tahun 2022, pemimpin salah satu pondok pesantren di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dilaporkan ke Mapolresta Bandung gara-gara memperkosa santriwatinya sendiri. Lelaki berinisial H itu mengakali korban, dengan cara memijit-mijit tubuh korban berbekal alasan pemberian tenaga dalam. Dalam momen pemijatan itulah, sang kepala ponpes melakukan pencabulan dan pemerkosaan.
“Dugaan tindak pidana persetubuhan subsider pencabulan yang dilakukan oleh saudara H, ini adalah pemilik ponpes yang dilakukan kepada tiga santri yang ada di ponpes tersebut,” kata Kapolresta Bandung Kusworo Wibowo, Senin (10/1), dilansir Kompas. “Kejadian dari mulai 2019 sampai dengan 2021.”
Videos by VICE
Kasus terkuak setelah salah satu korban mengambil langkah berani dengan menceritakan apa yang terjadi ke orangtuanya. Pihak keluarga langsung melaporkan kasus pada 1 Januari lalu. Aparat segera mengumpulkan keterangan dari korban dan saksi, serta melakukan visum. “Tidak sampai seminggu, sudah kita lakukan pengamanan terhadap tersangka, dan kita tetapkan statusnya sebagai tersangka,” tambah Kusworo. Proses ini membuka fakta bahwa korban bukan hanya satu, melainkan tiga murid.
Pelaku kini dijerat Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara.
Camat Ciparay Gugum Gumilar menyatakan pihaknya bersama warga sekitar langsung melakukan penyegelan terhadap ponpes. “Untuk di lokasi kejadian, jajaran telah melakukan penutupan sementara berbagai kegiatan apapun yang berada di lingkungan ponpes tersebut,” kata Gugum saat dikonfirmasi Pikiran Rakyat. “Kegiatan dihentikan sementara waktu sampai dengan waktu yang belum ditentukan. Untuk para santri semua sudah dipulangkan.”
Lebih lanjut, pihak Gugum berkoordinasi dengan pemerintah desa, RW, RT, dan Linmas untuk melakukan patroli sekitar wilayah demi mencegah ponpes menjadi sasaran amukan warga.
Gugum menyebut Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung sudah turut mendampingi korban.
Ia meminta awak media untuk tidak terlalu fokus pada identitas korban demi menjaga kesehatan mental korban. “Kalau untuk tersangka silakan saja untuk blow up. Namun, untuk korban diharapkan jangan,” tambah Gugum. Dia sekaligus berasumsi bisa jadi korban H bukan hanya tiga santriwati.
Kekhawatiran serupa diutarakan Ketua KPAD Kabupaten Bandung Ade Irfan, “Memang ada persetubuhan tiga orang santriwati, tapi hasil pengawasan kami justru lebih dari tiga orang. Kemungkinan [korban lain] tidak berani mengakui, karena takut tercemar [nama baiknya] atau lainnya. Kemungkinan masih banyak korbannya, karena yang lainnya ada yang diduga dicabuli juga,” kata Irfan, dilansir dari IDN Times.
Ade menginformasikan korban mengalami beban psikis berat. Salah satu korban masih kerap pingsan apabila diminta mengingat kembali kejadian traumatis yang dialaminya di ponpes asuhan H. Maka dari itu, Ade meminta Kementerian Agama Kabupaten Bandung memberi sanksi tegas kepada lembaga pendidikan berbasis keagamaan, yang pengurusnya terbukti cabul atau melakukan kekerasan seksual pada anak.
Kasus ini menjadi berita buruk lanjutan bagi upaya menjaga keamanan murid di institusi pendidikan. Akhir Desember tahun lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan sepanjang 2021, terjadi 18 kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan dengan korban sebanyak 207 anak, terdiri dari 126 perempuan dan 71 laki-laki di rentang usia 3-17 tahun.
Pelajar SMP/sederajat jadi yang paling sering menjadi korban (36 persen), diikuti SD/sederajat (32 persen), SMA/sederajat (28 persen), dan TK (4 persen). Kekerasan seksual di sekolah ini menyebar di 17 kabupaten/Kota di 8 provinsi: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Papua.
Kasus terbanyak disumbang institusi pendidikan dengan format asrama, boarding, serta pesantren sebanyak 66 persen, dengan pelaku terbanyak adalah tenaga pendidik (55,55 persen) dan kepala sekolah/pimpinan institusi (22 persen).