Pro-Kontra Vaksin

Akar Kontroversi Vaksin Berbayar Kimia Farma: Berubah dari Niat Awal Buat Karyawan

Rencana penjualan vaksin oleh BUMN farmasi itu ditunda, alasannya terlalu banyak peminat. Kritik bermunculan, karena pemerintah mengubah permenkes 'vaksin gotong royong' yang awalnya gratis.
Kimia Farma tunda penjualan vaksin gotong royong Covid-19 untuk individu di 6 kota karena minat
Proses vaksinasi massal di Bandara Soetta pada 10 Juli 2021. Foto oleh Agung Kuncahya B./Xinhua via Getty Images

Media sosial geger Sabtu (10/7) pekan lalu begitu BUMN farmasi Kimia Farma mengumumkan akan menjual vaksin Covid-19 kepada masyarakat di level perorangan. Improvisasi bisnis itu rencananya dimulai Senin (12/7), hari ini, dimulai di enam kota Indonesia. Vaksin berbayar ini masuk dalam program Vaksin Gotong Royong, program vaksin berbayar yang semula hanya ditujukan untuk korporat, dan kini dinamakan vaksin Gotong Royong individu. Masyarakat bisa membelinya di klinik-klinik Kimia Farma Diagnostika.

Iklan

Inisiatif ini direspons negatif sebagian masyarakat, khususnya pengguna media sosial. Meski vaksin Gotong Royong tidak menghapus program vaksin gratis, pemerintah dinilai ngotot melanjutkan ide awal mereka sejak tahun lalu agar masyarakat yang tajir diarahkan membeli vaksin, sedangkan vaksin gratis hanya untuk warga tidak mampu.

Kementerian Kesehatan mengeluarkan dasar hukum melegalkan vaksin Gotong Royong individu dengan alasan program ini diselenggarakan atas masukan masyarakat. “Seiring lonjakan kasus yang terjadi saat ini, kami memperoleh banyak masukan dari masyarakat untuk mempercepat vaksinasi melalui jalur individu,” ujar Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada Merdeka, saat diwawancarai Senin (12/7).

Di tengah sorotan negatif, Kimia Farma memutuskan menunda penyediaan layanan vaksin Gotong Royong individu. Jika Anda mengira akibat protes publik, salah sekali. Alasannya karena yang mendaftar banyak banget sehingga periode sosialisasi program ini mau diperpanjang dulu.

“Kami mohon maaf karena jadwal vaksinasi Gotong Royong individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021 akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya,” ujar Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro kepada CNN Indonesia. “Besarnya animo serta banyaknya yang masuk membuat manajemen memutuskan untuk memperpanjang masa sosialisasi vaksinasi gotong royong individu serta pengaturan pendaftaran calon peserta.”

Iklan

Pernyataan ini mengingatkan kita pada konferensi pers kontroversial dari holding BUMN farmasi, Desember tahun lalu. Jika sudah lupa, acara itu berjudul “Bisnis Vaksin Corona Bakal Semakin Menyehatkan Holding BUMN Farmasi”.

Kimia Farma mengatakan program ini “tidak ada komersialisasi”. Namun, realitasnya saham Kimia Farma naik dari Rp3.130 pada Jumat lalu menjadi Rp3.340/lembar dalam perdagangan di Bursa Efek Indonesia pada 12 Juli 2021 akibat sentimen positif pasar, pada kemungkinan BUMN itu meraup untung besar dari penjualan vaksin.

Rencananya, akan ada delapan klinik Kimia Farma Diagnostika di enam kota Jawa-Bali yang akan membuka layanan vaksin berbayar. Mengacu pada aturan harga pemerintah, untuk mendapat paket lengkap dua kali suntikan, masyarakat mesti menyiapkan Rp900 ribu per orang. Dihitung dari kuota yang disediakan Kimia Farma, diperkirakan badan usaha ini bisa mendapatkan pemasukan Rp747 juta per hari dari berdagang vaksin.

Iklan

Aksi terbaru pemerintah ini membuat diskusi distribusi vaksin mundur lagi ke pro-kontra Desember tahun lalu. Saat itu, publik menentang rencana pemerintah agar warga yang mampu diberi vaksin berbayar (disebut “vaksinasi mandiri”) dan warga tak mampu diberi vaksin gratis. Presiden Jokowi meredakan debat dengan mengumumkan bahwa vaksin Covid-19 akan sepenuhnya gratis.

Namun, sejak itu pemerintah masih terus berusaha mengadakan vaksin berbayar. Dengan alasan mempercepat vaksinasi nasional, serta didesak Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin), pada Januari 2021 Menkes Budi Gunadi Sadikin membahas lagi ide vaksin berbayar khusus untuk korporasi.

Tak sedikit yang menentang, program yang kemudian dinamai vaksin Gotong Royong ini akhirnya dimulai Mei lalu. Skema ini memungkinkan perusahaan memvaksinasi sendiri karyawannya menggunakan vaksin Sinopharm. Pemerintah mengatur harganya, Rp Rp320.660/dosis dengan tarif pelayanan vaksinasi paling mahal Rp117.910/dosis.

Di bulan Mei itu juga, pada 28 Mei, Menkes meneken dasar hukum vaksin Gotong Royong untuk individu dalam Permenkes 19/2021.

Iklan

“Kimia Farma berkomitmen untuk berkolaborasi dan bersinergi dengan seluruh pihak untuk mempercepat vaksinasi nasional melalui VGR [vaksin Gotong Royong] perusahaan maupun individu,” kata Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury kepada Tirto.

Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan menyatakan keberatannya atas kebijakan vaksin berbayar untuk masyarakat umum. Koalisi dimotori organisasi sipil seperti LaporCovid-19, YLBHI, Indonesian Corruption Watch, KontraS, KawalCOVID-19, Aliansi Jurnalis Independen, dan LBH Masyarakat.

Ada tiga masalah yang disorot koalisi. Pertama, vaksin berbayar melanggar semangat dan mandat konstitusi, seperti UU Kesehatan 36/2009 dan UUD 1945, karena setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan negara bertanggung jawab atas penyediaannya.

Kedua, pemerintah dianggap memanipulasi terminologi herd immunity untuk kepentingan bisnis. “Pemerintah menggunakan salah satu argumen untuk melakukan program vaksinasi adalah untuk mempercepat tercapainya kekebalan kelompok. Ini harus diluruskan. Kekebalan kelompok bisa lebih cepat dicapai jika vaksinasi dilakukan sesuai dengan prioritas kerentanan, melalui tata laksana yang mudah, efikasi dan keamanan vaksin yang kuat, serta edukasi vaksinasi yang kuat guna mengurangi vaccine hesitancy [keraguan untuk divaksin] di masyarakat,” demikian keterangan tertulis sikap koalisi yang diterima VICE.

Ketiga, terbitnya Permenkes secara diam-diam dinilai sebagai upaya pemerintah melakukan permainan regulasi yang terus berubah dan tidak konsisten. Sebab, pada Permenkes 84/2020 pemerintah menjamin vaksin tidak dipungut biaya, namun diubah ke Permenkes 10/2021 bahwa badan usaha di bawah Kadin dikasih keistimewaan membeli dan menyebar vaksin ke karyawan lewat program vaksin Gotong Royong, lalu diubah lagi jadi Permenkes 19/2021 yang menyebutkan kini vaksin Gotong Royong bisa diakses masyarakat umum dengan pendanaan dibebankan kepada yang bersangkutan.

Eksekusi program percepatan kekebalan kelompok lewat Vaksin Gotong Royong untuk korporat sendiri tidak selancar yang dibayangkan. Kadin mencatat baru ada 500 dari 28.499 perusahaan pendaftar yang merealisasikan vaksinasi Gotong Royong di lembaganya per akhir Juni 2021.

Artinya, dari 10,6 juta karyawan yang terdata, baru 500 ribu pekerja yang kena dampak program tersebut. Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani menyebut rendahnya tingkat partisipasi dikarenakan terbatasnya jumlah vaksin yang diterima pihaknya.