The VICE Guide to Right Now

Kebiasaan Netizen Menghakimi Perempuan di Video Seksual Viral Harus Dihentikan

Aktivis perempuan geram melihat respons masyarakat Indonesia tiap ada video viral macam ini. Belum lihat, gerilya mencari videonya. Sesudah lihat, menghakimi pakai alasan moral
Netizen Indonesia Hobi Menghakimi Perempuan di Video Seksual Viral
ILUSTRASI VIDEO BERMUATAN SEKSUAL VIA CHARLES DELUVIO / UNSPLASH

Kemunculan video seksual yang diduga melibatkan sejumlah selebritas sejak Sabtu (7/11) lalu cuma menegaskan kegemaran lama orang Indonesia: pornografi. Bukannya bersikap abai karena ini perkara urusan privat orang, publik malah gempar sampai politisi multiltalenta Roy Suryo turun gunung memberi analisis. Netizen dengan jempol tanpa saringan juga menyerang Instagram pribadi si selebritas dengan lelucon standar “bagi link”. Cih….

Iklan

Barisan K-popers yang kemudian jadi juru selamat. Berbekal kekuatan digital yang sudah teruji berkali-kali, K-popers menyabotase kata kunci video seksual dengan mengunggah video dan foto artis K-pop menenggelamkan video seksual yang terlanjur banyak disebar. Upaya bisa dibilang berhasil karena pencarian video tersebut, khususnya di Twitter, menjadi lebih sulit karena kata kunci sudah dikuasai K-popers.

K-popers mengajarkan publik bahwa pertama, video seksual tanpa kesepakatan adalah pelanggaran hukum. Kedua, budaya mencari dan bagi-bagi link video seksual non-konsensual harus diruntuhkan.

Penulis dan aktivis perempuan Kalis Mardiasih menyesali bagaimana dalam setiap kasus penyebaran konten intim non-konsensual, alam bawah sadar masyarakat selalu lebih dulu menghakimi perempuan dan tidak membahas pihak laki-lakinya.

“Tubuh perempuan dikenai beban sebagai penjaga moral masyarakat sehingga ketika tubuh itu melakukan kegiatan yang tak sesuai standar kepatutan moral masyarakat, perempuan akan dihakimi. Sebaliknya, laki-laki tetap dibicarakan dalam konteks dominasi maskulinitasnya bahwa seolah ia semakin ‘jantan’ karena bisa menaklukkkan perempuan [lewat aktivitas seksual],” kata Kalis kepada VICE.

Kasus penyebaran video seksual sudah terbukti kerap jadi ajang balas dendam (revenge porn) dan eksploitasi kepada perempuan. Di Ponorogo, Jawa Timur, seorang perempuan berinisial PK (21) diperas mantan pacarnya, MR (22), dengan ancaman penyebaran video PK sedang telanjang. Total, PK sudah ditodong Rp5,7 juta. Korban kemudian melapor ke Polres Ponorogo, yang kemudian menjerat MR dengan UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara. Lewat pencarian singkat saja, kita bisa tahun kasus serupa turut terjadi di TasikmalayaSingkawangWonogiri, dan Yogyakarta

Iklan

Video seksual juga baru saja membuat seorang korban berusia anak di Garut dikriminalisasi. Sudah jatuh tertimpa tangga, V sempat dipenjara meski jelas-jelas jadi korban perdagangan seksual setelah video intimnya diperjualbelikan sang suami. Sudah disebar tanpa kesepakatan, berusia anak, masih juga kena hukuman gara-gara jeratan UU Pornografi.

Kalis menilai, kasus penyebaran konten intim non-konsensual terbaru ini sebagai momentum untuk segera pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual [PKS]. “RUU PKS tak hanya bicara soal acara pidana, tapi juga meliputi pemantauan kasus dan pemulihan korban. Pemulihan korban dalam kasus kekerasan berbasis gender online penting sekali. Trauma yang disebabkan oleh persebaran jejak digital bisa jadi lebih berat.”

Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) melaporkan, banyak remaja dan remaja dewasa berusia 14-25 tahun mengalami kejahatan seksual siber, termasuk revenge porn. Komnas Perempuan mencatat kekerasan siber menimpa 65 perempuan pada 2017, 19 kasus di antaranya disertai ancaman penyebaran video.

Apa yang harus dilakukan apabila kita atau kerabat menjadi korban? Kepada Jawa Pos, ahli hukum persekusi dari SGRC Riska Carolina menjelaskan langkahnya. Pertama, cari teman yang dipercaya untuk bercerita.

Kedua, yakinkan lingkungan terdekatmu bahwa kamu mendapat ancaman, bisa mengadu pula ke Komnas Perempuan. Ketiga, apabila mau membawa kasus ke kepolisian, pastikan memiliki pendamping hukum. Saran yang masih terpusat pada inisiatif korban ini membuktikan lemahnya hukum Indonesia menghadapi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.