Konten Viral

Menerka Penyebab Tren Hijab Kucing Kini Marak di Tanah Air

Di satu sisi, kucing rumahan yang cosplay jadi “ukhty kitty" imut banget. Di sisi lain, pakar mengingatkan mendandani hewan peliharaan bisa memicu kekerasan tak disengaja.
Jual produk Hijab Kucing Sedang Marak di marketplace Indonesia
Kolase screenshot hijab kucing oleh VICE.

Manusia berdandan seperti kucing, kucing didandani seperti manusia. Tanda-tanda dunia terbalik memang semakin nyata. Ketika manusia membeli bando hingga lingerie ala kucing, hasrat mendandani kucing layaknya manusia juga difasilitasi pasar.

Mulai dari rompi motif Doraemonseragam SDkostum dinosaurus, hingga hijab serta baju koko lengkap dengan sarungnya tersedia. Juga jangan khawatir jika tidak cocok dengan satu model jilbab, masih ada model lain seperti jilbab ala ibu-ibu atau model kerudung khas anak aliyah.

Iklan

Kami menghubungi Fredi Lugina P. (39), pemilik pemilik toko online khusus aksesori hewan Usingcloath Pets Wear di Bogor yang dagangannya diskrinsut jadi twit viral tersebut. Rupanya ia sendiri tidak tahu kostum buatannya sedang jadi pembicaraan di media sosial. Ia mengaku ide membuat kostum hijab kucing itu datang tak sengaja. 

“Awal Ramadan kemarin saya coba buat. Memang sebelumnya saya punya karakter ‘Pak Haji’. Lalu banyak yang komen di medsos, ‘Buat buk hajinya dong, karakter ‘ukhti’.” Begitu dibuat, kostum ini jadi salah satu favorit pelanggan Fredi walau penjualan terbanyak masih dipegang kostum Superman.

Toko lain yang menyediakan kostum kucing bernuansa keagamaan adalah BukiID dari Bojonegoro. Menurut Asep Ruswandi (21), sang juragan, kostum baju koko untuk kucing yang tokonya buat untuk edisi Ramadan lalu menjadi bestseller-nya selama ini. Di satu marketplace_ saja sudah 143 potong baju koko kucing terjual. Setelah itu Asep pernah mendapat rikues dari pembeli untuk membuat kostum hijab kucing, namun ia belum menyanggupinya.

Dari obrolan dengan keduanya, kostum kucing unik termasuk karakter ukhti tadi bisa muncul karena penjual selalu mengikuti momen. Fredi sendiri biasa mengambil inspirasi dari apa yang sedang trending atau banyak dibicarakan media.

Hal itu langsung terlihat dari etalase Instagramnya yang menampilkan bermacam kostum dengan eksplorasi yang “liar”: mulai dari busana ala tukang sate, kasir Indomaret, Aladin, John Mayer di video klip “New Light”, anak Hypebeast, Thor, samurai, kurir ekspedisi, ibu-ibu dasteran, sampai pocong. Sementara Asep, meski tak terpaku budaya pop, turut mengadaptasi hal populer pula. Untuk Lebaran tahun depan, ia sudah berencana merilis kostum kucing bertema pakaian adat Nusantara. 

Iklan

Manusia berdandan seperti kucing agar terlihat imut, unik, atau menarik secara seksual. Tapi, mengapa juga muncul obsesi mendandani kucing seperti manusia? Menurut Devi (23), ia bersedia membeli kostum imut untuk kucing-kucingnya agar foto-foto mereka lebih menarik. “Soalnya imut,” katanya kepada VICE.

Manusia berdandan seperti kucing agar terlihat imut, unik, atau menarik secara seksual. Tapi, mengapa juga muncul obsesi mendandani kucing seperti manusia? Menurut penelitian psikolog Universitas Harvard Adam Waytz, antropomorfisme adalah jawabannya.

Hasrat untuk “memanusiakan” objek non-manusia ini membuat para pemilik kucing memproyeksikan sifat-sifat manusia pada hewan peliharaan. Indikasinya, para pemelihara turut mempertimbangkan perasaan kucing, sangat sedih saat ditinggal mati hewan peliharaan, juga berusaha membuat mereka menirukan gerak-gerik manusia, seperti dengan berdandan dengan kostum ala manusia.

Kesepian, lanjut Waytz, menjadi pendorong manusia melakukan antropomorfisme. “Kita punya kebutuhan untuk dimiliki dan diterima,” kata Waytz kepada Livescience. “Ketika seseorang kurang terhubung dengan manusia lain, mereka akan membuat hubungan baru dengan objek non-manusia lewat antropomorfisme ini.”

Lewat penelitiannya bersama tim, Waytz juga menemukan fakta kebalikannya. Orang yang merasa sangat terhubung dengan manusia lain justru kerap mengabaikan sesama mereka. Indikasinya tampak dari tindakan menempelkan sifat-sifat hewan seperti “hama” ke manusia lain.

Iklan

Sambil memandang altar penyembahan kucing di rumah saya—meja khusus tempat menaruh obat kutu, obat cacing, obat antimuntah, vitamin, suplemen, buku kontrol dokter, sisir kutu, sisir bulu, bola beraneka ukuran, lonceng-lonceng kecil, tongkat bulu mainan, tali jalan-jalan, dan roll pembersih bulu untuk majikan bulu saya—saya berpikir antropomorfisme yang tecermin dari hobi memberi baju pada kucing adalah hal positif.

Tapi ketika melihat wig singa yang tercampak di dekat tumpukan dua vacuum cleaner, kardus yang penuh berisi makanan basah, tenda kucing, dua jenis bantal tidur, serta macam-macam perlengkapan toiletries empat kucing saya itu, ada pertanyaan yang menyembul: apakah para kucing nyaman dengan perhatian berlebih manusia?

Respons kucing maupun hewan peliharaan lain akan berbeda, namun pemilik harus lebih peduli pada respons mereka. Apakah mereka menerima? Apakah mereka kesal?

“Buat banyak orang, memposting foto kucing atau anjingmu yang diberi baju atau makeup adalah hal yang lucu atau imut,” kata staf Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals dari Inggris, Bronwyn Orr, kepada ABC Australia. “Tapi berbuat seperti itu artinya melawan martabat hewan serta kebutuhan dan insting alami mereka.”

Menurut Orr, “kekerasan” pada hewan ini sering dilakukan karena banyak orang kesulitan membaca bahasa tubuh hewan. “Kita harus ingat… anjing adalah anjing, kucing adalah kucing, kita harus menghormatinya.” Seruan ini bisa jadi pegangan kepada pemilik hewan yang sudah membeli jilbab kucing atau kostum dinosaurus untuk lebih peduli pada respons hewan mereka. Jangan paksakan pakaian lucu itu jika kucing tidak nyaman.

“Kita tak boleh membahayakan hewan atau membuat mereka tak nyaman hanya demi foto yang imut atau bikin ketawa,” kata Lektor Kepala Jurusan Psikologi dan Konseling Universitas La Trobe, masih kepada ABC Australia.

Saya jadi teringat wig singa yang tercampak tadi. Dari keempat kucing saya, tak seekor pun sudi dipakaikan aksesori seharga Rp100 ribu itu. Demikian juga nasib bola-bola plastik yang ternyata tak semenarik kumbang, cecak, dan kecoak, serta nasib bantal bulu empuk yang rupanya masih kalah nyaman dari serokan sampah.

Yah, antropomorfisme itu baik di sebagian hal, tapi kucing adalah kucing, anjing adalah anjing. Hal yang sama berlaku untuk hasrat memelihara hewan liar yang dipaksa tangkap, dijual, dan dipelihara hanya karena “lucu”.