Kesehatan Mental

Merawat Kesehatan Mental Pelajar di Indonesia Butuh Lebih dari Sekadar Guru BK

Kita harus menganggap serius masalah ini, setelah data menunjukkan 4,75 persen dari sampel remaja usia 13-18 tahun di seluruh Indonesia pernah berpikiran bunuh diri.
Merawat Kesehatan Mental Pelajar di Indonesia Butuh Lebih dari Sekadar Guru BK
Ilustrasi pelajar SMA di Indonesia. Foto oleh Romeo Gacad/AFP

Komunitas pendidikan di Indonesia baru-baru ini berduka atas meninggalnya seorang siswi SMP 147 Jakarta Timur setelah melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Kasus tragis tersebut menambah daftar panjang pelajar di Indonesia yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dari yang depresi akibat disfungsi keluarga hingga hubungan asmara.

Data mengenai bunuh diri remaja di Indonesia cukup minim, namun sebuah studi dari Universitas Udayana menemukan bahwa 4,75 persen dari sampel remaja usia 13-18 tahun di seluruh Indonesia pernah berpikiran bunuh diri setidaknya sekali dalam setahun terakhir.

Iklan

Dari angka tersebut, lebih dari setengahnya kemudian lanjut melakukan percobaan bunuh diri sungguhan. Namun, statistik di atas sekadar menggambarkan niatan bunuh diri remaja. Angka kematian yang sesungguhnya, bisa jadi menggambarkan kondisi yang lebih pahit.

Novi Poespita Candra, seorang dosen psikologi pendidikan di Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa ini adalah indikasi bahwa kesehatan mental belum menjadi fokus dari sekolah-sekolah di Indonesia.

Data terbaru dari Survei Kehidupan Berkeluarga Indonesia (IFLS-5) menunjukkan bahwa prevalensi gejala depresi tertinggi di Indonesia ada pada remaja perempuan, sebesar 32 persen. Depresi pada remaja laki-laki tidak jauh di bawahnya, sebesar 26,6 persen.

"Macam-macam penyebabnya. Bisa stres tuntutan akademik, orang tua, tekanan mental karena bullying [perundungan], dan seterusnya. Ini tidak bisa diatasi dengan iklim pendidikan yang orientasinya sepenuhnya akademik," kata Novi.

"Sekolah itu harus jadi rumah kedua, tempat pulang anak-anak. Fokus utamanya harus diubah menjadi wellbeing [kesejahteraan]."

Novi berpendapat sekolah dapat melakukan ini melalui tiga hal kunci - mendayagunakan unit bimbingan konseling (BK) untuk menciptakan ruang aman bagi siswa meluapkan emosi, melibatkan orang tua dalam edukasi kesehatan mental, hingga melakukan kolaborasi dengan universitas dan penyedia layanan kesehatan.

Novi mengatakan bahwa unit BK di sekolah selama ini belum berperan maksimal. Menurutnya, guru BK juga harus proaktif menciptakan iklim sekolah yang positif sebagai langkah preventif dalam merawat kesehatan mental siswa.

Iklan

"Karena wellbeing [kesejahteraan] tidak menjadi satu prioritas, guru BK fungsinya seolah hanya mengurusi anak bermasalah," katanya. "Padahal tugas guru BK selain memberikan konseling paska masalah, juga menciptakan lingkungan sekolah yang aman untuk psikologi kesehatan mental dengan mendesain aktivitas sebagai penyalur emosi. Kegiatan seperti ini harus diciptakan sebelum ada problem."

Ia mencontohkan beberapa contoh pendekatan dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), inisiatif dalam menciptakan ekosistem sekolah yang lebih ramah anak yang digagasnya. GSM selama ini menggandeng berbagai sekolah di seluruh Indonesia dalam menciptakan ekosistem tersebut.

Misalnya, beberapa sekolah mitra menerapkan apa yang disebut circle time, suatu sesi terpandu yang dialokasikan tiap periode tertentu di mana sekelompok siswa berkumpul untuk membicarakan topik apapun dan menyampaikan perasaan mereka dengan terbuka.

Alternatif lain ditawarkan peneliti Oxford University, Inggris melalui proyek percobaannya. Dalam proyek tersebut, mereka berupaya untuk mendayagunakan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), atau sepenuhnya membentuk tim khusus berisi siswa pilihan, untuk melakukan peer counseling [konseling sejawat] dan menumbuhkan iklim anti perundungan.

Novi mengatakan bahwa guru BK dapat mengadaptasi model-model serupa di sekolah mereka. Misalnya, memimpin sesi lingkar kecil untuk berbagi membahas keluarga, stres akibat tekanan akademik, atau bahkan hal-hal sepele seperti hubungan asmara.

Iklan

Keterbukaan ini kemudian bisa menumbuhkan kepercayaan antara siswa dengan unit BK. Harapannya, dengan inisiatif-inisiatif di atas siswa bisa memiliki saluran alternatif untuk membagi perasaannya sebelum terlanjur menjadi parah dan mengganggu kesehatan mental.

"Kebanyakan kasus-kasus di lapangan yang sudah fatal terjadi karena anak-anak ini sudah tidak disediakan layanan konseling kesehatan mental dari sekolah, tidak juga punya kanal untuk meluapkan kegelisahan ketika merasa tidak nyaman," kata Novi.

Sandersan Onie, seorang peneliti di lembaga riset kesehatan mental Black Dog Institute, berpendapat bahwa faktor lain yang menyebabkan lemahnya perhatian terhadap kesehatan mental adalah suatu kultur yang tidak terbuka terhadap berbagi masalah.

"Kita tidak suka berbagi masalah karena takut kelihatan lemah. Pada akhirnya kita tidak mengajari anak bagaimana menangani emosi negatif dan stres," katanya.

Ia mengatakan bahwa salah satu unit yang berperan besar melanggengkan kultur ini adalah keluarga. "Masalahnya orang tua dari generasi di atas kita ketika anak mengekspresikan emosi, mereka anggap kita melawan kemudian ‘main tangan’. Akhirnya anak diajarkan untuk memendam perasaan. Orang tua kadang memang clueless [bingung] dan tidak tahu caranya," katanya.

"Kalau di sekolah diajarin kesehatan mental tapi anaknya tumbuh di keluarga yang toxic [tidak sehat] sama saja. Artinya kita harus mulai mendidik unit keluarga untuk juga mengajarkan kesehatan mental."

Iklan

Sandy mengatakan bahwa ini bisa dilakukan oleh sekolah terhadap para wali murid. Ia menyarankan sekolah untuk mengadakan kelas khusus supaya orang tua dapat melakukan intervensi yang tepat di rumah.

Misalnya, terdapat suatu studi tahun 2013 dari Boston University yang meneliti sumber daya layanan kesehatan mental pada sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Studi tersebut menunjukkan 63 persen dari sekolah sampel memiliki program pelatihan kesehatan mental kepada orang tua.

Pelatihan memuat berbagai topik mulai dari mengenali gejala depresi, praktek komunikasi dengan anak, hingga jalur yang bisa diambil untuk mendapatkan layanan profesional. "Menyasar orang tua mungkin sesuatu yang radikal, tapi kita harus mencoba berbagai hal baru. Saya sering lihat kondisi mental anak bisa pulih karena relasi dengan orang tua membaik," ungkap Sandy.

Hal lain yang menurut Sandy adalah kunci sukses upaya penanganan kesehatan mental dan intervensi bunuh diri di lingkungan sekolah, adalah riset yang kuat. "Susahnya adalah, di Indonesia ada kekurangan riset untuk memahami faktor pendorong bunuh diri pada remaja," katanya.

"Secara jangka pendek kita bisa misalnya meningkatkan kapasitas guru BK melalui pelatihan. Tapi jangka panjangnya, perlu ada kontribusi dari universitas dan lembaga riset." Lembaga penelitiannya, misalnya, saat ini sedang melakukan studi yang meneliti 20.000 siswa kelas 8 di Australia dari 2019 hingga 2024.

Iklan

Data yang didapat dari studi semacam ini dapat digunakan untuk merancang langkah-langkah yang mencegah aksi bunuh diri di level sekolah yang lebih efektif ke depannya.

Contoh lain, tim peneliti dari Universitas Indonesia dan Monash University, Australia telah merancang kuesioner deteksi depresi berbahasa Indonesia yang dapat digunakan guru BK di berbagai SMA di Jakarta.

Kuesioner tersebut diterjemahkan dari Skala CESD-R (Center for Epidemiologic Studies Depression) dan Kessler Psychological Distress Scale 10 item (K10) yang banyak digunakan di negara lain untuk mendeteksi gejala awal depresi dan kecemasan pada remaja. Novi juga menyerukan kerjasama antara sekolah dan lembaga penyedia kesehatan. "Di daerah seperti Yogyakarta dan Bandung sudah ada psikolog di Puskesmas yang cakupannya di daerah rural. Mereka bisa dilibatkan bersama guru BK dan kepala sekolah untuk bantu mengembangkan program," katanya.

"Jadi siapa yang harus turun tangan? Siapapun yang bisa. Sekolah, orang tua, pemerintah, lembaga riset, jangan saling tuding jari. Kita harus mulai kerjasama," tambah Sandy.

The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, adalah Associate Editor The Conversation. Wawancara dilakukan dengan Novi Poespita Candra, dosen psikologi Universitas Gadjah Mada serta Sandersan Onie, peneliti posdoktoral dari Black Dog Institute.

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.