Korupsi

Ternyata Hukum Indonesia Tak Bisa Mempidanakan Pejabat yang Tajirnya Kurang Wajar

Banyak menteri gajinya tak sebesar direksi swasta, tapi aset di LHKPN melonjak drastis selama menjabat. Di konvensi PBB, hal itu harusnya bisa disidik. Sayang, hukum buatan DPR malah lembek.
Problem UU Tipikor pejabat dengan kekayaan tidak wajar belum bisa dipidanakan
Penyidik KPK memeriksa beberapa mobil mewah sitaan milik pejabat yang tersangkut korupsi di Banten pada 2014. Foto oleh ROMEO GACAD/AFP 

Johan Budi, mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menulis opini di harian Kompas tentang harta kekayaan penyelenggara negara dan lemahnya mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Indonesia.

Iklan

Sebagai respons terhadap tulisan tersebut, melalui tulisan ini, saya akan membahas lebih lanjut mengenai penyebab masalah ketidakwajaran harta kekayaan pejabat negara.

Perlu dicatat, bahwa Indonesia belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment). Padahal, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi ( United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) sudah mengatur soal kriminalisasi illicit enrichment ini.

Karena ketiadaan pengaturan ini, maka seolah-olah boleh saja pejabat berharta banyak walau sumbernya patut dicurigai, sepanjang tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana.

Sehingga, Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu segera direvisi dengan mempidana peningkatan kekayaan pejabat yang tidak sah ini.

UU Tipikor dan UNCAC

Meski berkali-kali Indonesia memperingati Hari Anti-korupsi setiap 9 Desember, pada hakikatnya, ketentuan pidana yang diatur dalam UU Tipikor masih belum sejalan dengan pengaturan yang ada di UNCAC.

Hal ini tidak mengejutkan, sebab UU Tipikor terakhir kali direvisi pada 2001, sedangkan UNCAC baru selesai dibuat pada 2003. Perbedaan substansi antara UNCAC dan UU Tipikor sudah banyak dibahas di berbagai tulisan.

Iklan

Yang justru mengejutkan ialah minimnya kemauan politik, baik dari pemerintah maupun DPR, untuk mengubah UU Tipikor agar sejalan dengan UNCAC; padahal Indonesia sudah meratifikasi UNCAC pada 2006.

Ketiadaan political will ini tergambar dari RUU Tipikor yang tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021, maupun Prolegnas tahun 2022. Dapat kita simpulkan bahwa tidak akan ada perubahan secara fundamental dalam pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia, setidak-tidaknya dalam waktu dekat.

Menghukum kekayaan tidak wajar

Sebagai bentuk komitmen untuk memberantas korupsi yang sejalan dengan UNCAC, sudah sepatutnya Indonesia juga mengatur mengenai pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah.

Memang, dalam UNCAC tidak ada kewajiban untuk mengatur illicit enrichment mengingat sifatnya yang fakultatif dan ketentuan tersebut merupakan non-mandatory offences), namun bukan berarti negara tidak perlu atau tidak bisa mengatur tindak pidana ini.

Sebaliknya, justru negara sangat perlu untuk segera mengatur pemidanaan terhadap pelaku illicit enrichment. Ketiadaan pengaturan ini justru dijadikan ‘tameng’ bagi para pejabat berharta banyak yang sumbernya tidak jelas.

Iklan

Tanpa kriminalisasi illicit enrichment, sia-sialah segala upaya pelaporan harta kekayaan - bahkan jika terdapat peningkatan harta penyelenggara negara yang tidak wajar sekalipun. Sudah banyak negara di dunia yang mengatur mengenai illicit enrichment ini. Sebuah penelitian baru menemukan bahwa setidak-tidaknya terdapat 98 pengaturan mengenai illicit enrichment yang telah diterapkan di berbagai negara, seperti Afghanistan, Brunei Darussalam, Cina, dan Meksiko. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk.

Stagnasi (atau bahkan regresi) dalam pemberantasan korupsi di Indonesia (sebagaimana tercermin dalam Indeks Persepsi Korupsi yang merosot) tidak hanya merupakan kesalahan penegak hukum yang gagal untuk menindak korupsi secara konsisten.

Ini bukan pula semata-mata kesalahan penyelenggara negara yang enggan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Kegagalan ini justru secara sistemik berawal dari ketidaksiapan aturan anti-korupsi di Indonesia.

Tentu saja bukan merupakan tugas KPK (atau penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan) untuk membuat UU yang baik guna terciptanya sistem pemberantasan korupsi yang ajeg. Karena DPR memiliki fungsi legislasi, maka DPR-lah yang sepatutnya dipersalahkan karena gagal membuat UU Tipikor yang sejalan dengan standar pemberantasan korupsi global.

Iklan

Rekomendasi untuk Johan Budi

Sebagai anggota DPR, Johan Budi sudah dengan sangat baik dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap kinerja KPK. Namun, seorang anggota DPR juga harus menjalankan fungsi legislasi dan penganggaran.

Oleh karena itu, setidak-tidaknya ada tiga rekomendasi yang perlu segera dilakukan oleh para anggota DPR, dan rekomendasi ini bisa diinisiasi oleh Johan Budi sebagai mantan pegawai KPK (yang tentunya memiliki pemahaman mendalam di bidang anti-korupsi) dan sebagai anggota komisi III DPR (yang memiliki beban tanggung jawab mengurusi bidang penegakan hukum).

Pertama, DPR perlu segera mengajukan revisi UU Tipikor. Revisi yang dibuat juga harus sejalan dengan pengaturan UNCAC, mengingat UNCAC sendiri sudah diratifikasi ke dalam hukum nasional. Jika RUU yang dibuat tidak sejalan dengan UNCAC, maka permasalahan peningkatan harta PN yang tidak wajar tidak akan dapat dibenahi.

Kedua, dalam rancangan UU tersebut, DPR (khususnya anggota komisi III) perlu memastikan adanya aturan pemidanaan terhadap illicit enrichment. Jika tidak, maka penegak hukum akan mendapat beban tambahan untuk pembuktian asal-usul harta kekayaan tersebut.

Kewajiban untuk memastikan bahwa seorang pejabat penyelenggara negara memiliki harta yang sesuai dengan pendapatannya seharusnya dibebankan pada insan pejabat itu sendiri, bukan justru dibebankan hanya pada satu institusi penegak hukum untuk mengawasi semua pejabat dari Sabang sampai Merauke.

Iklan

Terakhir, DPR perlu menjamin bahwa tidak ada upaya pelemahan KPK melalui kebijakan anggaran. Jika kita membuka besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari 2019 hingga 2021, kita dapat melihat bahwa anggaran KPK meningkat secara konsisten tiap tahun.

Kita perlu mengapresiasi kinerja DPR yang memberikan keleluasaan anggaran bagi KPK. Jika pada suatu hari DPR meminta KPK untuk meningkatkan kinerjanya agar mampu mendalami asal-usul peningkatan harta pejabat yang tidak wajar, maka peningkatan biaya untuk penegakan hukum juga perlu ditambah.

Jika tiada langkah konkret dari DPR untuk melaksanakan setiap rekomendasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka kita selaku rakyat Indonesia tidak perlu heran jika ada pegawai negeri, polisi, atau tentara yang punya aset senilai ratusan miliar dan memiliki ‘rekening gendut’ yang sumbernya tidak jelas; sebab itu merupakan keniscayaan.


Andreas Nathaniel Marbun adalah Peneliti Kebijakan Pidana, di Yayasan Indonesia Judicial Research Society. Andreas Nathaniel Marbun tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini.

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.