Artikel ini pertama kali tayang di VICE Magazine edisi Means of Production, yang berusaha membayangkan tata dunia baru sesudah Covid-19 mereda.
Sejak pandemi corona memburuk Maret 2020 di seluruh dunia, penghidupan banyak musisi independen jatuh ke keadaan yang mengkhawatirkan. Seiring COVID-19 menyebar secara global, band punk rock Mannequin Pussy dari Philadelphia, Amerika Serikat, terpaksa membatalkan jadwal tur mereka, yang sebetulnya menjadi sumber pendapatan utama banyak musisi independen. “Kami hancur bukan hanya secara finansial, tapi secara emosional juga,” ujar juru bicara band lewat akun Instagram mereka.
Videos by VICE
“Manggung dan bermain musik adalah hidup kami dan tiba-tiba semua ini diambil dari kami, dan kami kesulitan memproses semuanya.” Mereka tentu hanyalah satu dari banyak sekali musisi yang berada dalam posisi yang sama. Banyak musisi yang bukan hanya kehilangan penghasilan dari manggung dan menjual merchandise ketika tur, tapi juga dari pekerjaan sampingan mengingat restoran dan bar semuanya tutup.
Dalam hitungan hari setelah Covid-19 menyebar parah dan memaksa warga mengurangi aktivitas luar rumah, platform streaming musik Bandcamp—platform utama bagi penjualan musik independen online—mengunggah status di situs mereka pada 17 Maret bahwa untuk satu hari penuh, mereka akan mengabaikan jatah profit mereka (biasanya sekitar 10 hingga 15 persen per penjualan di situs) guna mendukung penghidupan musisi. Salah satu cara terbaik untuk mendukung musisi independen, adalah untuk membeli album dan merchandise mereka, terutama ketika para personelnya tidak bisa manggung atau tur.
Di hari H, penggemar musik menghabiskan US$4,3 juta di Bandcamp, 15 kali lebih besar dibanding pemasukan di hari Jumat lainnya. Pendiri Bandcamp, Ethan Diamond menulis dalam sebuah pengumuman sebelumnya, “Bagi banyak musisi, penjualan tinggi dalam sehari bisa menjadi penentu apakah mereka bisa membayar uang sewa rumah mereka atau tidak.”
Kadang kita harus menyaksikan sebuah sistem hancur lebur untuk menyadari bahwa sistem itu sudah cacat dari awal. Itulah yang telah dilakukan virus corona. Musisi dan para penggemar lagi-lagi dipaksa untuk menghadapi kesenjangan finansial yang ada dalam industri musik. Musisi independen memang dari dulu selalu pas-pasan dalam perihal pendapatan, tapi di era streaming, ketika sumber pendapatan lain (seperti merch dan manggung) hilang, mereka sama sekali tidak berkutik.
Sebuah pandemi internasional tentu bukan yang pertama menjadi penanda bahaya, tapi seiring kita menyaksikan bagaimana komunitas musik independen kelabakan menghadapi situasi ekonomi yang buruk, sebuah pertanyaan penting kembali harus ditanyakan: Ketika band-band yang kita sukai bahkan kesulitan untuk bertahan hidup, siapa yang sebetulnya bertanggung jawab?
Awal tahun ini, The Creative Independent, sebuah publikasi online milik Kickstarter, merilis hasil sebuah survei yang mereka adakan pada 2019 ke 298 musisi dan petinggi-petinggi industri musik perihal situasi industri musik saat ini. Hasilnya menunjukan berbagai perspektif perihal keberlangsungan industri musik, mulai dari yang penuh harapan hingga yang sudah putus asa.
Masalahnya, ketika peserta ditanya sektor industri musik apa yang memiliki kekuasaan terbesar untuk melakukan perubahan, 37 persen musisi dan 61 persen profesional industri menyebut platform streaming sebagai sumber nomor satu kefrustrasian mereka. “Banyak responden mengusulkan agar semua pihak bersama-sama menekan jasa streaming seperti Spotify membayar musisi secara lebih adil, dan berinvestasi dalam model distribusi musik yang lebih kooperatif,” tulis laporan tersebut.
René Kladzyk, seorang musisi, penulis, sekaligus pendiri Future Music Industry List, adalah salah satu penulis laporan tersebut. “Sikap mayoritas responden sangat kuat, melebihi semua porsi pertanyaan pilihan ganda,” ujarnya. “Aku sangat tergerak oleh jawaban-jawaban terbuka responden, karena banyak sekali yang mengatakan hal yang serupa. Berulang kali, kata ‘tidak adil’ digunakan—bahwa struktur pembayaran jasa streaming tidak adil dan tidak menghargai karya mereka dengan pantas. Aku rasa ada persetujuan yang nyata perihal itu.”
Seiring jasa streaming musik online menjadi metode paling lazim mendengarkan musik pada 2020, pendengar kini memiliki banyak sekali pilihan platform untuk dipilih: Apple Music, YouTube Music, Amazon Music, Google Music, TIDAL, Joox, namun tidak ada yang sekuat dan sebesar Spotify, yang meraup angka pelanggan tertinggi dari seluruh dunia pada 2019. Sama seperti perusahaan startup teknologi lainnya, jasa yang ditawarkan Spotify tidak lagi bisa dihindari para pendengar musik.
“Spotify merupakan jasa berlangganan streaming audio global paling populer dengan 271 juta pengguna, 124 juga pelanggan di 79 negara berbeda,” demikian keterangan di situs resmi Spotify. Dalam sebuah poll informal yang aku ambil dari sekitar 130 teman-teman sendiri di Instagram, lebih dari 82 persen menggunakan Spotify sebagai platform utama mendengarkan musik. Di Facebook, dalam survei 55 orang, persentase pengguna Spotify adalah 65 persen.
Tahun lalu, pendapatan dari platform streaming meningkat menjadi US$8,8 miliar, atau sekitar 79,5 persen dari total pendapatan musik rekaman, menurut laporan akhir tahun dari Recording Industry Association of America. Spotify dengan bangga mengklaim bahwa mereka adalah “pendorong terbesar dari pendapatan bisnis musik saat ini.” Tapi apa yang pendengar musik awam mungkin tidak tahu adalah bahwa sistem yang mereka bawa justru menyakiti banyak musisi itu sendiri. Spotify beroperasi menggunakan model pro-rata, di mana uang yang didapat Spotify dari biaya berlangganan dikumpulkan, kemudian didistribusikan secara proporsional ke artis dengan lagu terpopuler pada bulan itu.
Artinya, musisi pop dengan angka stream tinggi, seperti Post Malone atau Cardi B, akan selalu memborong sebagian besar uang yang dibayar pelanggan. “Ketika aku melihat debat antara Taylor Swift atau Justin Bieber dan label mereka dengan Spotify perihal tarif streaming, proses hitung-hitungan mereka sama sekali tidak berdampak pada komunitas musik independen,” ujar Mat Dryhurst, seorang musisi sekaligus pengajar musik di Clive Davis Institute of Recorded Music di NYU. “Jadi secara enggak langsung, musisi-musisi seperti kami cuma jadi tumbal bagi musisi-musisi yang lebih besar.”
Masalahnya bukan sekedar bagi hasil profit yang tidak adil saja. Pada sebuah eksperimen yang dilakukan pada 2018, jurnalis dan kritikus Liz Pelly membedah ketimpangan representasi gender dalam playlist-playlist terpopuler Spotify. Setelah menciptakan akun baru, agar tidak diganggu oleh algoritma, Pelly mendengarkan semua playlist terpopuler yang direkomendasikan dan dikurasi oleh Spotify, seperti Today’s Top Hits dan RapCaviar, dan menemukan bahwa representasi gender artisnya condong berat ke lelaki.
Hasil menyebalkan lainnya muncul di playlist Discover Weekly miliknya: Ketika Pelly secara eksklusif mendengarkan playlist hasil kurasi Spotify, rekomendasi yang dihasilkan algoritma untuknya juga berat ke artis lelaki. Sudah banyak yang menulis tentang bagaimana algoritma memiliki kecenderungan bersifat seksis, rasis, dan penuh prasangka. Spotify—demi meraih angka pendengar tertinggi, dengan angka statistik terhebat dan playlist “terkurasi”—semakin memperparah kecenderungan ini.
Aku menemukan hal yang serupa tahun lalu, ketika sedang secara santai melihat fitur “Related Artists” Spotify. Aku menemukan bahwa apabila kamu mendengarkan sebuah band berisikan musisi lelaki cis, rekomendasi related artisnya hampir selalu musisi lelaki cis lainnya. Sementara ketika aku mendengarkan musik dari musisi yang mengindetifikasi diri sebagai perempuan, hasil rekomendasinya masih banyak dihuni musisi lelaki cis.
Algoritma Spotify menyebabkan apabila kamu cenderung mendengarkan musisi lelaki, Spotify akan terus menyuguhkanmu musik lelaki, dan apabila kamu mendengarkan musisi perempuan, rekomendasinya tetap banyak diisi musisi lelaki. Ini mendorong marginalisasi artis perempuan di industri musik yang sudah berat di laki-laki. (Spotify menolak berkomentar untuk artikel ini, justru mengarahkan VICE ke sebuah pernyataan tertulis, perihal keseimbangan gender yang pernah mereka berikan ke Billboard, serta tautan penelitian tentang kekurangan dari sistem streaming yang sentrik pengguna oleh mantan direktur finansial Spotify yang tayang ketika dia masih bekerja di sana.)
Kalaupun kamu tipe seseorang yang membuka Spotify demi mencari album oleh musisi yang underrated, Spotify tidak akan memudahkan proses pencarianmu. Berusaha menempatkan diri mereka sebagai kompetisi langsung radio (yang masih menjadi format nomor satu pilihan pengguna untuk mendengarkan musik), Spotify mulai mendorong mendengarkan musik secara pasif (passive listening) besar-besaran.
“Satu cara Spotify bisa bersaing dengan radio adalah dengan cara menciptakan pengalaman yang lebih mulus, entah lewat editorial atau playlist algoritma,” ujar Cherie Hu, penulis dan podcaster di balik Water & Music, sebuah situs Patreon yang didedikasikan untuk menganalisa inovasi dalam industri musik.
“Kalau kamu melihat bagaimana Spotify mengkomunikasikan jasa mereka ke brand dan pengiklan, mereka menggunakan istilah ‘menyajikan musik sempurna untuk setiap momen.’ Masalahnya, mereka enggak mungkin menawarkan jasa platform mereka ke artis dengan cara yang sama. Siapa juga musisi yang sudah capek-capek menghabiskan hidupnya menciptakan album mau karyanya dijadikan sekedar bagian dari playlist random?”
Hu pernah menulis panjang lebar tentang isu ini, bagaimana pendengar menjadi lebih loyal terhadap jasa streamingnya dibanding artisnya sendiri. “Kalau kamu ditawari konten baru setiap saat, kamu hanya bisa punya hubungan yang kuat dengan sedikit musisi,” ujar Hu. “Spotify tidak tertarik dengan apakah kamu punya hubungan yang kuat dengan musisi favoritmu. Mereka bertujuan agar kamu terus streaming.”
“Tanggung jawab sekarang ada di kita sebagai pendengar, untuk mencari alternatif Spotify, sekaligus mendukung karya musisi independen yang tidak didukung major label atau dipromosikan dan dimasukkan dalam playlist jasa streaming.”
Dengan segala keluhan dan kritik yang ditujukan ke Spotify (dan bisnis streaming secara umum), aku tidak lagi melihat Spotify sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kalau aku ingin menjadi konsumer musik yang etis—seseorang yang mendukung karya musisi yang aku sukai, dan juga seseorang yang gemar mencari musik underrated yang tidak diberikan algoritma—aku merasa tidak bisa lagi mempercayai jasa yang ditawarkan Spotify.
Sama seperti pilihan untuk menjadi konsumen makanan yang etis, yang ingin mempelajari asal muasal bahan makanan mereka, aku ingin melawan kenyamananku sendiri. Selama ini aku hanya mengkonsumsi musik yang disajikan ke telinga, tapi enggak pernah memikirkannya secara kritis.
Dalam survei yang kukirim ke teman-teman tentang kebiasaan mereka mendengarkan musik, sebuah respons anonim berhasil mewakili perasaanku. “Aku menyadari bahwa aku menjadi konsumer musik pasif semenjak menggunakan Spotify. Karena mereka menciptakan playlist untukku, aku tinggal memainkan musik berdasarkan mood, dan kadang aku bahkan tidak tahu nama artis yang sedang kudengarkan lagunya.”
“Aku dulu jauh lebih aktif mencari musik baru lewat blog, tapi kebiasaanku ini sudah hampir hilang sama sekali,” ujar respons tersebut. “Baru-baru ini, aku kembali berpaling ke rilisan fisik demi menjadi pendengar musik yang lebih aktif; Aku kembali mencari-cari rilisan fisik di toko, memilih sebuah artis yang menarik, dan mendengarkan album mereka secara penuh. Ini membantuku kembali mengapresiasi musik seperti dulu sebelum era streaming dimulai.”
Di era streaming, seringkali pertarungan terjadi antara jasa streaming dan musisi. Tapi kita tidak pernah memperhitungkan di mana posisi pendengar dalam formula semua ini. Apakah memang sudah pasti kita akan selalu berpaling ke pilihan yang paling mudah dan murah?
“Hidup di bawah kapitalisme, suara politik terkuat kita adalah penggunaan uang kita,” ujar Kladzyk, penulis laporan industri musik. “Ada konsekuensi yang sangat nyata bagi banyak orang tergantung bagaimana kamu menggunakan uangmu dalam membeli rilisan musik.’
“Bagaimana kita menetapkan harga untuk sebuah karya seni?” tanya Joseph Edward Keyes, direktur editorial Bandcamp kepadaku lewat telepon Februari lalu. Aku terus memikirkan pertanyaan dari Joseph beberapa minggu setelahnya, seiring makin banyaknya musisi independen yang kehilangan penghidupan mereka ketika virus corona merebak.
Lebih dari seminggu setelah Bandcamp mengumumkan donasi pendapatan mereka, dan dua hari setelah mereka mengumumkan angka US$4,3 juta yang digelontorkan penggemar musik, Spotify menyadari mereka juga harus melakukan sesuatu. Mereka kemudian mengumumkan akan memberikan donasi $10 juta ke MusiCares, PRS Foundation, dan Help Musicians. Semenjak itu, mereka juga memberikan artis kesempatan untuk melakukan penggalangan dana di halaman mereka masing-masing.
Yang lebih menarik adalah paruh kedua pengumuman ini. “Kami juga tengah bekerja keras untuk meluncurkan fitur yang akan membiarkan artis melakukan penggalangan dana secara langsung dari penggemarnya di masa yang sulit ini,” merujuk keterangan tertulis dari Spotify.
“Ini akan memberikan artis di Spotify kemampuan untuk mencantumkan tautan ke laman penggalangan dana yang terverifikasi untuk diri mereka sendiri, musisi lain yang sedang kesulitan, atau inisiatif terpisah lainnya.” Tidak bersedia mengubah sistem yang menyakiti pendapatan musisi, Spotify justru membebankan ke artisnya sendiri untuk menggalang dana untuk kelangsungan hidup mereka.
Apa yang terjadi ketika Bandcamp melepas potongan profit mereka merupakan insiden yang langka. (Biarpun, setelah kesuksesan hari bebas potongan di bulan Maret, Bandcamp kembali melakukan hal yang sama pada 1 Mei dan mengumumkan akan melakukannya lagi pada 5 Juni dan 3 Juli). Lantas pertanyaannya adalah, kenapa sih enggak ada cara yang lebih baik untuk mendukung karier musisi favorit kita?
“Fitus gratis Spotify sangat luar biasa bagi orang-orang yang tidak mampu membayar dan menginginkan platform musik yang lengkap dan mudah,” ujar Hu. “Namun tidak ada sesuatu untuk penggemar musik yang lebih loyal, yang ingin menunjukkan apresiasi mereka bagi artis. Tidak mungkin untuk melakukan itu dalam dunia Spotify.”
Lewat Twitter tahun lalu, musisi Ionna Gika menyarankan sebuah opsi: “Aku menyarankan sebuah aplikasi seperti sebuah daftar lengkap dari nama musisi dan jasa streaming pilihan mereka. Ingin mendengar @ZOLAJESUS. Ketik namanya di app, kamu akan dibawa ke sebuah situs streaming spesifik pilihan beliau,” tulisnya, melanjutkan, “Apabila semua musisi bisa dicari lewat app ini, ide ini akan memaksa jasa streaming untuk memberi lebih banyak insentif ke artis karena mereka akan menyadari bahwa artis akan HANYA menggunakan situs yang memperlakukan mereka secara adil.”
Berhubung app seperti itu belum ada, tanggung jawab ada di kita sebagai pendengar untuk mencari alternatif dari Spotify dan mendukung karya musisi independen yang tidak didukung major label atau dipromosikan dan dimasukkan dalam playlist jasa streaming. Kladzyk dan Dryhurst mengatakan bahwa tidak ada satu solusi yang cocok untuk semuanya, dan seharusnya memang tidak begitu. “Spotify menampilkan diri mereka sebagai raksasa yang baik ke setiap artis di setiap level. Tapi itu tidak mungkin,” ujar Kladzyk. “Yang akan lebih baik bagi industri adalah untuk memiliki banyak opsi, alih-alih sebuah jasa streaming yang memonopoli semuanya.”
Biarpun Bandcamp berupaya membuat industri musik menjadi lebih baik, mereka bukanlah satu-satunya yang berusaha melawan platform besar seperti Spotify dan Apple Music. Salah satu bentuk alternatif yang paling umum adalah model kooperatif, di mana artis dan pendengar sama-sama memiliki jasa platform musiknya, dan karenanya bisa mengatur bentuk operasinya. Resonate, sebuah situs yang dikembangkan pada 2015, menggunakan model stream-hingga-memiliki, di mana pendengar membayar setiap kali mendengarkan lagu, namun setelah sembilan kali, pengguna akan memiliki lagu tersebut.
Awal Juni 2020, sebuah situs bernama Ampled memberi penggemar musik se sebuah alternatif lain. Pendengar bisa mendonasikan US$3 (setara Rp42 ribu) sebagai bayaran minimum bulanan ke musisi pilihan mereka, dan sebagai gantinya, mendapatkan akses ke materi musik yang belum pernah dirilis, demo bahkan merch.
“Banyak pendengar ingin bisa mendukung artis secara langsung, bahkan sudah seperti berzakat saking merasa bersalahnya mereka karena menggunakan Spotify,” kata Austin Robey, salah satu pendiri koperasi tersebut. Biarpun Ampled terdengar mirip dengan Patreon, Robey mengatakan bahwa alasan banyak musisi tidak menyukai Patreon adalah “karena platform tersebut tidak sinonim dengan musik (lebih diperuntukkan YouTuber dan podcaster) atau sifatnya yang transaksional dan seakan menjadi tanda kamu musisi gagal.”
Ampled, justru bermaksud menjadi “platform perlindungan secara langsung” di mana apabila kamu menyukai sebuah band, kamu membayar mereka langsung. Tidak kurang, tidak lebih.
Satu-satunya cara sistem-sistem alternatif ini bisa berhasil adalah bagi kita semua untuk menggunakannya. Sama seperti hari bebas potongan yang dilakukan Bandcamp, gairah untuk mendukung musisi independen jelas ada, kita hanya harus mengaksesnya lebih dalam. Salah satu bentuk kebiasaan mendengar musik yang kuadopsi sekarang adalah menggunakan Spotify untuk mendengarkan artis besar seperti Ariana Grande, tapi pindah ke Bandcamp ketika mendukung musisi lainnya. Ketika notifikasi muncul di Bandcamp yang mengingatkanku untuk membeli album yang sudah kudengarkan (biasanya setelah beberapa kali streaming album secara penuh), kalau aku punya uang, akan kubeli.
Kalaupun kamu sedang tidak bisa membayar musik, menggunakan jasa alternatif seperti Bandcamp, Resonate, atau Ampled tetap membantu. Sama halnya dengan segala bentuk investasi di sumber daya yang menantang sifat homogen industri musik dalam era streaming, seperti daftar Future Music Industry, upaya Pelly dengan The Baffler, Water & Music, dan newsletter Penny Fractions. Satu orang mengubah cara mereka mengonsumsi musik mungkin tidak akan membuat perbedaan, tapi sekelompok penggemar membayar musik, streaming menggunakan platform alternatif, dan mendukung artis secara langsung lewat situs seperti Ampled bisa menjadi ombak yang diperlukan untuk mendukung musisi-musisi kesayangan.
Kladzyk tentunya berharap begitu. “Bagi pendengar yang peduli, kalian memiliki kewajiban etik untuk mendukung musisi lewat caramu mengonsumsi musik,” ujarnya. “Kalau kamu menghargai musik, coba pikir apakah kamu menghargainya secara layak mengingat seberapa banyak upaya kreatif yang dilakukan dalam pembuatan lagunya.”
Sebuah anjuran dari Kladzyk adalah agar orang berpikir dua kali sebelum streaming lagu artis alih-alih membelinya. “Menurutku menggunakan istilah ‘upaya kreatif’ (creative labor) sangat kuat ketika membicarakan musik, karena seringkali konsumer berpikir menciptakan musik adalah proses yang menyenangkan dan tidak terasa seperti bekerja.”
Penciptaan musik itu sama seperti kerja-kerja lain, ujar Kladzyk. Karenanya, layak dihargai dengan pantas.
Follow Dayna Evans di Twitter