Slogan ‘Presisi’ Kepolisian Republik Indonesia—dicanangkan sejak era kepemimpinan Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo—relatif belum berhasil menyulut persepsi positif dari publik terhadap aparat; kecuali untuk penyidikan kasus pornografi. Bila urusannya melacak pembuat video mesum yang viral, netizen mengakui kerja polisi senantiasa satset.
Asumsi masyarakat tersebut kembali terbukti, setelah polisi cekatan menguak pembuat video pornografi viral berdurasi 16 menit yang direkam di Kota Surabaya, Jawa Timur. Video lucah itu ramai diperbincangkan media sosial sejak awal November 2022, dengan julukan populer ‘Kebaya Merah’.
Videos by VICE
Pasalnya, dalam video tersebut ada adegan seks perempuan berkebaya merah dan laki-laki berhanduk putih. Video ini awalnya ditengarai dibuat di Bali (merujuk karakter kebaya si perempuan), ternyata diproduksi di salah satu Hotel di Jalan Sumatera, Gubeng, Kota Surabaya.
Tidak perlu waktu lama sejak viral, Polda Jawa Timur sukses menemukan lokasi perekeman, serta akhirnya menangkap kedua pemeran ini pada Minggu (6/11) malam. Direskrimsus Polda Jatim, Kombes Farman, mengungkapkan pemeran laki-laki dalam video Kebaya Merah berinisial ACS, warga Surabaya. Sedangkan pemeran perempuan berinisial AH, warga Kota Malang. Salah satu cara aparat mengungkap kasus ini dengan mencocokkan tato mahkota yang ada di tangan kiri pemeran laki-laki.
“Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui motif kedua tersangka melakukan perekaman dan penyebaran konten Kebaya Merah tersebut,” kata Farman seperti dilansir CNN Indonesia.
Apabila merujuk kasus yang sudah-sudah, tersangka berpotensi terjerat Pasal 27 ayat 1 UU ITE Nomor 19 tahun 2016. Jerat hukum kedua pembuat video itu juga mencakup Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi. Indonesia memiliki hukum yang cukup ketat terkait produksi materi pornografi, sekalipun tujuannya untuk pribadi ataupun untuk dijual ke platform mancanegara.
Pengamat hukum menganggap kegesitan aparat menguak kasus-kasus pornografi di Tanah Air bukan indikasi kinerja yang layak dibanggakan. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menganggap kegercepan polisi mendalami pornografi lantaran metode penyidikannya lebih mudah dibanding kasus kejahatan siber lainnya. Ambil contoh, penyelidiki kasus pembocoran data publik oleh Bjorka yang sampai sekarang tak jelas juntrungannya.
“[Pornografi] lebih mudah mengusutnya, kalau hacking gitu-gitu susah. Dan yang salah aturannya, bukan soal mengatur gimana akses pornografi yang aman,” ujar Maidina saat dihubungi VICE.
Lewat akun Twitter pribadinya, Maidinia juga mengkritik ketentuan hukum seputar pornografi yang membuat aparat hukum disibukkan perkara yang bobot kepentingan publiknya lebih besar. “Gimana bisa tangani kasus yang ribet kalau sehari-hari kasusnya gini-gini aja,” tulis Maidina.
Dari sekian banyak kasus pornografi, sepertinya pemeran yang menggunakan seragam atau baju dengan identitas tertentu lebih mudah viral. Selain kebaya yang merupakan pakaian adat beberapa daerah, kasus video pornografi yang sebelumnya viral pemerannya menggunakan seragam PNS sampai ojol.
Salah satu kasus video porno dengan seragam PNS berlogo Pemprov Jabar terjadi pada 2019. Perempuan yang mengenakan seragam PNS tidak tahu apabila kegiatan asusilanya direkam dan disebar.
Sementara video asusila yang ada unsur ojol salah satunya terjadi di Bali tahun ini. Driver ojol dijebak saat mengantarkan pesanan. Dia disambut dengan pakaian seksi si perempuan. Akhirnya si ojol diajak threesome oleh pasutri yang menjebaknya. Perekaman video ini untuk konten media sosial berbayar.
VICE sebelumnya sempat mewawancarai Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH-J) Shaleh Al Ghiffari, yang menilai kerja cepat polisi menguak kasus pembuatan video pornografi cenderung masuk kategori pemborosan anggaran publik. Apalagi kalau motif pembuatan pornografi itu adalah swadaya, suka sama suka untuk dokumentasi pribadi, atau mencari keuntungan.
“Penyebaran konten intim harusnya hanya dilarang apabila tidak ada persetujuan, melibatkan anak, dan lain-lain. Ngomongin konten terlarang di internet, harusnya ada mekanisme tepat guna untuk menyaring [konten yang dilarang], bukan dengan hukum pidana menindak semua yang bertentangan. Itu berlebihan dan pemborosan anggaran publik,” imbuh pengacara akrab disapa Gifar ini.