Kasus aparat bersenjata bikin onar di tempat hiburan terjadi lagi. Seorang polisi bernama Bripka Cornelius Siahaan menembak empat orang di sebuah kafe di Cengkareng, Jakarta Barat, pukul 4 dini hari tadi (25/2). Pelaku berhasil dicokok Polda Metro Jaya beberapa jam setelah kejadian. Dari keempat korban, tiga orang tewas termasuk seorang anggota TNI berinisial S yang merupakan petugas keamanan di kafe tersebut. Peristiwa ini sempat menimbulkan kekhawatiran ketegangan laten antara anggota TNI dan Polri memanas lagi.
Dalam konferensi pers, Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengaku telah berkoordinasi dengan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dan Pangkostrad untuk menekan dampak kasus ini. Ia juga meminta maaf secara terbuka.
Videos by VICE
“Sebagai Kapolda Metro, atasan tersangka, saya menyampaikan permohonan maaf yang setinggi-tingginya kepada masyarakat, kepada keluarga korban, dan kepala TNI AD. Belasungkawa saya yang mendalam atas kejadian ini,” ujar Fadil, dilansir Kompas. Fadil memastikan pelaku telah jadi tersangka dengan tuduhan melanggar KUHP Pasal 338 tentang pembunuhan, dan akan diproses secara etik maupun pidana.
Menurut Net S. Pane dari Indonesia Police Watch (IPW), insiden tersebut diawali dengan kedatangan Bripka Cornelius Siahaan ke kafe berinisial RM di Cengkareng untuk minum-minum bersama seorang kawannya pada pukul dua pagi. Saat kafe akan tutup, pihak kafe menagih pembayarannya sebagaimana kafe pada umumnya. Namun, tidak seperti konsumen pada umumnya, Cornelius disebut menolak membayar.
“Karena kafe hendak tutup dan pelanggan lain sudah membubarkan diri, lalu pelaku ditagih bill pembayaran minuman sebesar Rp3.350.000. Namun, pelaku tidak mau membayar,” kata Neta dilansir Detik. Setelah ditegur korban berinsial S, pelaku malah murka dan memulai aksi kobor dengan menarget orang-orang dalam kafe.
“Kemudian [setelah menembak] pelaku keluar dari kafe sambil menenteng senjata api di tangan kanannya dan dijemput temannya dengan menggunakan mobil,” tambah Neta. IPW mendesak polisi menjatuhi hukuman mati kepada pelaku dan meminta Kapolres Jakarta Barat dicopot dari jabatannya.
Kasus pembunuhan oleh anggota polisi ini membuat anggota Komisi III DPR RI Santoso menagih janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menerapkan hukum tanpa pandang bulu dan transparan. “Saatnya janji Kapolri dibuktikan bahwa hukum jangan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Begitu pula dengan Panglima TNI, jika anggota TNI juga bersalah, meskipun militer memiliki peradilan sendiri, maka proses peradilannya harus berjalan secara transparan dan berkeadilan,” ujar Santoso.
Masalah polisi yang tak mampu menjaga emosi lalu sedikit-sedikit menarik pelatuk sudah berulang kali terjadi. Juni 2019 silam misalnya, dua anggota TNI ditembak seorang anggota polisi karena alasan remeh lain: adu tatapan di salah satu pasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan (Sumsel).
“Mungkin ada saling lihat, jadi terjadi ketersinggungan. Anggota polisi narik senjata terus ditembak ke bagian tangan anggota TNI, langsung ditarik dan dibawa ke rumah sakit. Tapi, semuanya sudah damai, tersangka dan korban sudah ketemu,” kata Kabid Humas Polda Sumsel Supriadi, kepada Kompas.
Masih di 2019, pada Juni tahun itu gaya petentengan polisi memakan korban sipil di Papua. Korban berinisial YOM tewas ketika Brigadir RK menarik pelatuk senjata apinya dalam keadaan mabuk di sebuah kafe di Kampung Wogekel, Kabupaten Merauke. Kasus lain terjadi pada 15 April, saat Bripda AK berselisih dengan keluarganya, lantas melepaskan tembakan yang melukai tiga warga sipil di Kabupaten Jayapura.
Pada 2019, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Asep Adi Saputra pernah menerangkan enam tahap kepemilikan senjata api oleh polisi. Pertama, melihat apakah tugas anggota tersebut memerlukan senjata api atau tidak. Kedua, mendapatkan rekomendasi pimpinan terkait kelayakan aparat tersebut. Ketiga, lulus uji tes psikologi. Keempat, lulus uji kesehatan. Kelima, lulus uji kemahiran menembak. Terakhir, melihat rekam jejak.