Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merilis pedoman teknis penangangan kasus pelanggaran UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk para polisi di lapangan. Pedoman tersebut dituangkan dalam Surat Edaran Kapolri bertanggal 19 Februari dengan nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Mengatur cara meredam potensi pasal karet UU ITE karena luasnya ruang tafsir polisi, pedoman ini menjadi aksi lanjutan usai Presiden Joko Widodo meminta pasal karet dalam UU ITE dipangkas, pekan lalu. Berikut rangkuman VICE atas surat edaran tersebut.
Videos by VICE
- Polisi diminta enggak kudet terhadap perkembangan diskusi di ruang digital. Pasalnya, diskusi kerap memicu ketersinggungan hingga berujung pelaporan.
- Polisi diminta memahami masalah di ruang digital serta efek yang ditimbulkannya.
- Polisi virtual akan patroli daring mengawasi dan memperingatkan pengguna yang berpotensi bikin konflik.
- Polisi diminta belajar membedakan antara kritik/masukan/hoaks/pencemaran nama baik.
- Segala kasus yang masuk harus mengutamakan ruang mediasi agar tercipta solusi damai.
- Penyidik daerah diminta selalu melibatkan Bareskrim (Badan Reserse dan Kriminal) Polri dalam gelar perkara (bisa via Zoom)
- Polisi diminta mengusahakan proses pidana jadi opsi terakhir.
- Pendekatan cinta damai tidak berlaku bagi kasus yang “memecah belah”, SARA, radikalisme, dan separatisme.
- Polisi tidak perlu menahan tersangka UU ITE yang sudah minta maaf.
- Apabila kasus sampai di tingkat penuntutan, polisi kudu terus ngasih saran ke para pihak untuk mengutamakan mediasi.
- Polisi mengawasi segala proses penyidikan perkara.
Langkah terbaru Polri ini bisa dibilang solusi sementara. Sebab, saat ini pemerintah telah membentuk tim khusus pimpinan Sugeng Purnomo dari Kemenko Polhukam untuk merespons permintaan revisi dari Presiden. Tim tersebut berisi kolaborasi Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dibentuk oleh Keputusan Menko Polhukam No. 22/2021 pada Senin (22/2) kemarin.
“Ssaya menyampaikan bahwa tiga kementerian, tentunya melibatkan kementerian dan lembaga pendukung, hari ini secara resmi mengumumkan follow-up arahan Presiden kepada Kapolri dan kepada lembaga-lembaga perumus dan penegak hukum […] dalam Rapimnas TNI-Polri, di mana Presiden mengarahkan untuk dilakukan kajian-kajian terhadap UU ITE,” kata Mahfud, dikutip Detik.
Di bawah tim tersebut, dibentuk lagi dua sub-tim. Sub-tim I akan menjadi penyusun interpretasi teknis atas implementasi pasal-pasal UU ITE yang dianggap karet. Amat cocok dengan tugasnya, sub-tim I dipimpin Staf Ahli Bidang Hukum Kominfo Henri Subiakto, salah satu sosok yang terlibat membuat UU ITE dan sejak pekan lalu ngotot menyatakan UU ITE tak perlu direvisi karena masalahnya ada di tafsir lapangan. Sementara itu, sub-tim II bertugas mengkaji apakah revisi UU ITE emang diperlukan. Pemimpinnya Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana.
Tim ini diberi waktu dua sampai tiga bulan untuk bekerja. Proses menunggu inilah yang diisi dengan menikmati surat edaran Kapolri di atas. “Nah, sembari menunggu yang dua atau tiga bulan itu, nanti Polri dan Kejagung supaya betul-betul tidak multi-interpreter, tidak multitafsir—ini benar ini, tidak hanya berlaku pada si A, tapi berlaku pada B karena semua unsur itu terpenuhi di situ,” tambah Mahfud.
Kebijakan bikin interpretasi sendiri tak lepas dari kritik. Dari kalangan politisi, Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, menyampaikan interpretasi bukan jawaban atas keluhan Jokowi.
“Beliau [Jokowi] bilang hulu permasalahannya ada di undang-undangnya. Lalu, kalau begitu kenapa malah ingin buat pedoman interpretasi? Lagi pula pedoman semacam ini tidak bridging-nya dengan UU ITE karena tidak diamanatkan. Jadi, jajaran di bawah Presiden tidak perlu menafsirkan secara berbeda pernyataan Presiden,” kata Sukamta dilansir Detik. Politisi lain, Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin dari Fraksi Golkar juga merasa revisi lebih perlu dilakukan.
Persoalan tafsir memang jadi problem akut UU ITE, sampai-sampai permintaan Presiden Jokowi agar UU ITE direvisi pun ditafsir dengan bikin interpretasi resmi dulu. Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) mencatat, pihak yang paling sering memanfaatkan pasal karet UU ITE adalah pejabat pemerintah, pengusaha, dan polisi. Dari data 2016-2020, mayoritas kasus berkaitan Pasal 27, 28, dan 29 dengan tingkat penghukuman 96,8 persen (744 perkara) dan tingkat pemenjaraan 88 persen (676 perkara).
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai, kualitas demokrasi dan daya tahan demokrasi di era Presiden Jokowi melemah karena UU ITE. Pangi mengutip Freedom House sebagai parameter pemenuhan kebebasan hak sipil dan demokrasi, menyebut Indonesia sedang dalam “persimpangan jalan” karena kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan mengadakan perkumpulan sedang tersumbat.
“Kita sangat berharap wacana presiden merevisi UU ITE tidak hanya sekedar basa-basi politik semata, bisa segera presiden intervensi, ditindaklanjuti partai politik,” kata Pangi dilansir Bisnis. “Betapa pentingnya negara menghormati hak rakyat untuk menyatakan pandangan, pikiran, dan kata-katanya pada ruang ekspresi media online maupun media offline.”
Menarik sebetulnya mengamati bagaimana wacana revisi UU ITE ini bergulir. Yang paling bikin penasaran tentu gimana cara kerja polisi virtual nanti. Apakah kelak akan ada banyak akun polisi yang mendadak komen di status kita dengan kalimat, “Hey anak muda, sunting kalimat ini sekarang sebelum ada yang tersinggung! —Admin”?
Mari kita tunggu perkembangannya sampai ada informasi lebih detail.