Selamat datang di ‘Fashionating’, sebuah kolom tentang fesyen yang mungkin terasa sedikit kejam dari pengamat gaya dan busana.
Setiap hari, aku melihat perempuan dewasa masih mempertahankan poni, seolah-olah itu potongan rambut layak untuk mereka yang sudah memiliki pekerjaan atau karir mapan. Padahal, poni lebih tepat dianggap sebagai lambang ketidakstabilan psikis dan kesemrawutan hidupmu. Aku juga pernah mempunyai poni beberapa tahun lalu. Aku juga pernah punya mullet. Serta rambut panjang yang diikat ekor kuda.
Videos by VICE
Ketiga gaya rambut ini pasti sempat dimiliki banyak perempuan sewaktu mereka remaja atau masih bocah. Nah, seperti beberapa gaya lainnya, harusnya kita bisa move on. Kalau kamu sudah dewasa, enggak ada alasan tetap mempertahankan gaya poni.
Lucunya, walau pernah memelihara poni, aku sejak kecil lebih nyaman kalau rambutku panjang dengan belahan tengah. Karena aku memahami keunggulan hidup tanpa poni. Lagipula, rambut yang panjang dan bebas poni itu sama seperti rambutnya penyihir; rambutnya Galadriel; Severus Snape; Clarice Starling; atau karakter Dana Scully dari serial The X-Files.
Pas aku sudah dewasa, aku sempat memotong poniku lagi—kali ini demi menyembunyikan dahi yang sangat menonjol karena pengaruh hormon masa remaja. Pada saat itu, poniku merupakan strategi bertahan hidup. Dahiku yang lebar bikin aku enggak pede—bahkan lebih enggak pede daripada poni. Aku sampai melakoni operasi rekonstruksi dahi, dan memanjangkan poniku kembali. Proses itu butuh waktu bertahun-tahun.
Kalau kalian baca artikel ini dari awal, kesannya aku benci banget sama poni ya. Emang salahnya poni apa sih? Poni secara estetik mengesankan rambut tersebut lebih pendek ketimbang sisa rambut di kepalamu dan membingkai wajahmu kayak foto di dinding.
Poni merupakan jawaban anak umur delapan tahun ketika ditanya rambutnya ingin dipotong seperti apa. Memotong poni itu sama dengan memotong lubang di gorden ketika kamu membutuh lebih banyak cahaya. Tapi kalau kamu memang suka wajahmu terlihat mirip tokoh Angelica dari kartun Rugrats, terserah kamu aja deh.
Bukan berarti poni enggak bisa tampak chic. Ada aktris Zooey Deschanel, yang namanya identik dengan poni. Brigitte Bardot cakep banget berkat poninya. Selain itu, jangan sampai lupa, poni panjang Naomi Campbell enggak mungkin dikritik para polisi fashion. Tapi mereka semua pengecualian. Orang biasa jarang terlihat bagus dengan poni. Dan poni enggak pernah sebagus rambut panjang dengan belahan tengah bagi banyak perempuan yang rambutnya lurus.
Tak perlu heran jika satu pertanyaan ini masih menghantui kita-kita yang masih memikirkan gaya rambut di usia sekarang: Aku cocok enggak kalau potong poni? Walaupun jawabannya selalu tidak, masih ada saja yang memotong rambut di atas mata dan langsung nyesel.
Aku kenal banyak orang yang berulang kali membuat kesalahan sejenis karena mencoba potong poni di usia setelah SMA. Menurutku, keinginan punya poni bagi perempuan dewasa mencerminkan masalah pribadi yang serius. Kamu tidak akan menyesal karena nekat potong poni, andai kamu dari awal bisa menerima fakta bahwa poni bukan gaya rambut yang layak dipilih manusia dewasa. Biar begitu, bukan berarti poni enggak layak dipakai. Kalau pengin merasa punya poni, ada cara lebih mudah dilakukan daripada potong beneran pakai model begitu.
Beli aja poni palsu. Para selebritis sudah akrab dengan solusi ini. Aku sendiri cukup akrab. Aku baru-baru ini membeli beberapa jepitan poni palsu dari The Hair Shop, sebuah toko di LA dan New York yang menjual berbagai macam rambut palsu yang bisa dijepit di kepala.
Aku memakai poni palsu ke kantor, ke pesta, di pesawat, dan di beberapa provinsi. Setiap kali aku memakainya, topi poni itu—eh, maksudnya poni palsu—memberiku pengalaman mempunyai poni tanpa komitmen.
Tak lama setelah memasang poni palsu di kepala, aku merasa sudah menemukan solusi untuk masalah yang bikin manusia kesel selama ini: Poni itu aksesoris, bukan gaya hidup. Enggak pantes juga jadi pilihan gaya rambut. Jadi tolong dicamkan ya.
Diana Tourjee adalah pengamat fashion yang menulis untuk Broadly
Artikel ini pertama kali tayang di Broadly—situs bagian dari VICE.com membahas berbagai isu seputar perempuan