Populernya Minuman Fermentasi: Siasat Kreatif Anak Muda Merespons Regulasi Alkohol

Mencicipi minuman Sari Pondoh khas Yogyakarta

Dapur itu tak lebih besar dari ukuran bak truk engkel, tapi Anais* memaksakan diri meracik minuman fermentasi beralkohol dalam ruangan sempit belakang rumahnya itu. Selusin jeriken ukuran 50 liter berisi bermacam minuman fermentasi berjejer rapi di sudut dapur.

Di pojok belakang, sebuah kompor gas menyala terus-terusan, memanaskan baskom berisi air mentah. Di atas meja kerja tergeletak buku catatan berisi resep dan eksperimen. Deretan buku lusuh karena dipegang tangan berkeringat tersusun rapi di rak di atas meja. Sebuah emblem bertuliskan “I Read Banned Books” tertempel di sampingnya. Enam tahun belakangan Anais dan asistennya, Joko, mengakrabi dapur tersebut demi membuat arak dan tuak.

Videos by VICE

Saat VICE datang, mereka berdua sibuk menanak beras ketan yang dicampur perasan daun pandan. Anais telaten mengaduk campuran beras dan pandan tersebut sambil sesekali mengecek rebusan air gula. Beras yang sudah tanak lantas dicampur air gula dan ragi, setelahnya didiamkan selama satu bulan atau satu tahun, tergantung kebutuhan.

1549438794876-Dapur-pembuatan-sake-Hakunamatata
Suasana dapur pembuatan minuman fermentasi.

“Yang penting semua peralatan harus steril,” kata Anais sambil mengaduk beras. “Air juga harus bersih. Dan yang terpenting, kepala juga harus fokus. Kalau enggak fokus, enggak bakal jadi minumannya.”

Meracik minuman alkohol tradisional sendiri adalah repons Anais terhadap kebijakan pemerintah. Anais, yang mengaku hobi minum alkohol sejak remaja, merasakan dampak meroketnya cukai alkohol pada 2010. Harga alkohol kala itu melonjak drastis hingga 300 persen. Pemerintah kemudian bergerak lagi dengan melarang peredaran minuman alkohol di minimarket pada 2015 di sejumlah daerah, tak terkecuali Yogyakarta.

Anais yang dulu berprofesi sebagai penjahit lantas memutar otak. Ide meracik minuman sendiri muncul ketika iseng mengobrol dengan seorang tetangga, yang pernah mencoba membuat fermentasi alkohol. Anais lantas bereksperimen memakai beras, ubi, sorgum, millet, hingga rosella.

Eksperimennya berulang kali gagal. Perlahan Anais mulai menyempurnakan resepnya. Ia kini punya perbandingan yang pas. Setiap 10 kilogram beras, ia menggunakan gula 10 kilogram dan ragi 5 kilogram. Produk pertamanya yang berhasil adalah makgeolli, sejenis tuak langgam Korea yang terbuat dari beras, dengan kisaran alkohol 5-8 persen. Makgeolli mudah dibuat. Cuma butuh 3-4 hari disimpan. Jika disimpan lebih lama, makgeolli tersebut berubah jadi sejenis sake yang memiliki kadar alkohol 15 persen.

“Membuat fermentasi ini juga jadi terapi [mental] buatku,” kata Anais yang menderita gangguan bipolar sejak satu dekade belakangan. “Biar selalu ada yang dikerjakan. Jadi aku enggak terlalu melihatnya dari sisi bisnis. Yang penting balik modal dan ada sedikit buat makan.”


Tonton dokumenter VICE yang mendatangi tradisi balapan naik kuda sambil mabuk di Guatemala:


Dalam satu bulan, Anais bisa memproduksi bermacam varian fermentasi sebanyak 40 liter. Produk tersebut tidak dijual bebas. Pemasarannya mengandalkan dua orang distributor dari luar kota. Sesekali jika ada konser musik dan pasar kaget, Anais datang menjajakan produknya.

“Kadang kita minum tanpa tahu dari apa minuman itu dibuat,” kata Anais. “Aku ingin konsumen sekarang tahu apa yang mereka minum. Ada knowledge juga di situ.”

Di Yogya sendiri, saat ini bermunculan varian fermentasi alkohol, mulai dari buah jeruk, markisa, hingga salak. Selain produk buatan Anais, minuman lain yang cukup populer adalah fermentasi salak pondoh. Meski didistribusikan secara underground, Pondoh jadi salah satu minuman paling populer di beberapa scene Yogyakarta. Banyak orang mengklaim Pondoh sebagai miras paling murah di pasaran. Per satu liternya, Pondoh dibanderol Rp60-65 ribu.

1549439088516-Makoli-dan-sake-rosela
Makoli dan sake rosella yang sudah siap diedarkan.

Pondoh hampir bisa dipastikan selalu menyempil di pojok kulkas atau digilir dari tangan ke tangan di tengah lantai dansa jantung kebudayaan Jawa ini. Pondoh punya rasa salak pekat dengan sedikit kecut yang nendang, sebelum akhirnya meluncur licin di tenggorokan. Setelah ditenggak, minuman ini meninggalkan aftertaste yang halus namun pelan-pelan membuat kepala makin ringan. Untuk ukuran social drinker, Pondoh tergolong minuman beralkohol yang ramah.

Tempat produksi Pondoh berada di sebuah gang kecil di tengah-tengah kebun salak. Jejeran daun berduri yang rimbun mengapit pagar ‘pabrik’ yang dikelola dua orang laki-laki yang berproduksi sejak 2013. “Selain dekat dengan bahan baku, di sini suhunya enak dan air tanah bersih,” ujar Randu* salah seorang pemilik menjelaskan pemilihan lokasi mereka yang tersembunyi tersebut. Dalam radius 100 meter memang tak ada rumah lain, sehingga air tanah di rumah itu tak tercemar limbah rumah tangga. “Raginya bisa mati kalau airnya enggak jernih,” tambahnya.

Sekali produksi, Randu dan timnya butuh satu kuintal salak pondoh kupas. Tiap musim panen mereka bisa menghasilkan sekitar 150 liter minuman. Kebutuhan bahan baku disuplai petani salak sekitar ‘pabrik’. Mereka juga mempekerjakan ibu-ibu sekitar untuk mengupas dan memilah buah sebelum diolah. Para pekerja lepasan itu pula yang membantu menutup informasi soal bisnis ini agar tak bocor ke aparat.

“Hitung-hitung bantuin petani salak sekitar sini karena kalau panen sering overproduksi dan kalau udah gitu harga di pasar anjlok, bahkan kalau lagi panen raya ibu-ibu suka nyuruh kami ambil sendiri semaunya,” kata Randu. Mereka biasanya menampung buah-buah yang tidak lolos seleksi untuk dijual ke pasar atau swalayan. “Kalau kami [ukuran buah] gede kecil tidak ada urusan, yang penting matangnya pas.”

Randu percaya bisnisnya tidak akan mendatangkan masalah serius. “Kami berani menyeriusi ini karena kami sadar prosesnya aman. Maksudnya kami enggak bikin [miras] oplosan, jadi prosesnya bener-bener fermentasi,” kata Randu menjelaskan sambil menuntun kami ke ruang produksinya. Lantaran memakai ragi biasa, mereka menjamin kadar alkohol di Pondoh tak lebih dari angka belasan. “Lebih aman malah daripada oplosan, kalau salah beli alkohol methanol bisa mati yang minum,” tambahnya sambil membuka pintu.

Proses fermentasi Pondoh butuh waktu minimal tiga bulan. Karena siklusnya sudah terbentuk, saat ini mereka bisa panen dua kali dalam seminggu. Selain Pondoh biasa dan kualitas premium, mereka juga membuat liquor bertitel Moonshine Pondoh hasil destilasi yang lebih ganas, mencapai 40 persen kadar alkoholnya. Alat produksi mereka beragam, mulai dari destilator yang dibeli dari Rusia, hingga mesin cuci yang digunakan menyaring ampas salak ketika produksi. “Habis lebih murah beli mesin cuci daripada beli alat penyaringnya,” Randu terkekeh.

1549438292488-Alat-destilasi-yang-diimor-dari-Rusia
Alat destilasi impor dari Rusia yang dimiliki Randu.

Kultur Do-It-Yourself dan memanfaatkan apa yang ada, menurut para peracik mempengaruhi lahirnya banyak varian fermentasi di Yogyakarta. Eksperimen Randu sendiri mengacu pada Youtube, referensi tekstual, maupun info dari teman.

“Awalnya kami bikin ini karena miras mahal. Dulu miras kan terjangkau, kayak Kolesom, Anggur Merah itu dari Rp7.500 sampai Rp30 ribuan per liter. Sekarang udah Rp70 ribu. Dulu kuli-kuli itu habis bayaran Sabtu bisa patungan minum pada happy, sekarang walaupun hari Sabtu habis bayaran, tetep aja mrengut enggak bisa minum, makanya kami buat [sendiri],” kelakar Randu sambil menuangkan Pondoh andalannya ke gelas.

Kami ngobrol sambil menyesap tipis-tipis minuman ini. “Tantangan jualan minuman kayak gini kan gimana biar enggak habis diminum sendiri, nanti setorannya seret,” kata Randu. Meski omset kotor bisa mencapai Rp20-Rp30 juta perbulan, Randu dan timnya tak bisa menyebut bisnis Pondoh ini menguntungkan. “Kalau profit, bisa survive untuk produksi terus aja udah bagus. Soalnya kami underground juga sih, ilegal, jadi secara bisnis enggak bisa dibesarkan,” keluhnya.

Selain kultur DIY yang membuat praktik fermentasi subur, Pondoh diuntungkan adanya jejaring pertemanan yang berkutat di lingkaran seni dan musik yang dinamis. “Kami banyak didukung karena semangat kolektif, aku pikir kalau ini pabrikan dengan pemilik modal besar pasti beda [dukungan publiknya].” Agen Pondoh di Yogya, maupun di kota lain seperti Jakarta dan Bandung, selalu dimulai dari pertemanan. Dengan begitu, keamanan bisnis mereka terjamin dari endusan aparat. Meski telah diterima publik, mereka tetap was-was mengingat hukum Indonesia tak memihak bisnis miras lokal macam ini.

Di Indonesia, payung hukum soal minuman keras adalah Perpres no. 74 tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol. Hukum di tingkat pusat sebetulnya relatif longgar, namun peraturan ketat di tingkat daerah jadi biang masalah baru. Ketika miras dilarang total, yang muncul justru meningkatnya minuman oplosan dibuat serampangan. Alhasil konsumsi alkohol jadi memakan banyak korban. Di seluruh wilayah Indonesia, sebanyak 487 orang tewas karena keracunan alkohol sepanjang kurun 2013 dan 2016. Artinya terdapat kenaikan 226 persen korban tewas akibat alkohol, dibandingkan data 2008-2012.

Laporan dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan keberadaan toko yang menjual alkohol dari pasar gelap meningkat sebanyak 75 persen sejak 2010—masa terakhir alkohol macam bir masih mudah didapatkan di minimarket. Lebih dari 58 persen penduduk Indonesia yang mengkonsumsi miras oplosan, dalam penelitian CIPS tersebut, mengaku nekat memilih minuman berbahaya karena murah dan gampang ditemui.

1549439443544-Pondoh-difoto-di-tengah-kebun-salak-yang-mudah-dijumpai-di-sekitar-lokasi-pembuatannya
Kebun ini yang memasok bahan baku untuk minuman fermentasi salak.

Perpres no. 74 tahun 2013 sebenarnya mengakomodir soal miras tradisional. Beberapa daerah lain di Indonesia mulai membuat regulasi resmi, menginduk ke beleid nasional. Contohnya produksi Bekonang di Solo, Arak di Bali, atau Cap Tikus di Manado.

“Tapi kayaknya kalau di daerah yang mayoritas muslim [sepenuhnya melegalkan fermentasi] susah ya,” ujar Randu. Ia dan beberapa produsen minuman fermentasi di Yogyakarta memendam hasrat membuat kampanye positif soal minuman beralkohol.

Randu ingin publik tahu, bahwa kultur minum alkohol di Indonesia sudah ada sejak lama, dipengaruhi surplus produksi pertanian. “Agak utopis kalau mau melarang orang minum alkohol. Minuman alkohol jadi bagian tradisi nenek moyang kita, di Yogya aja misalnya ada Lapen kan? Maka siapa yang bisa menghentikan?”

Sebagai rencana jangka panjang, Randu ingin mengusahakan perubahan regulasi pemerintah Yogyakarta terhadap minuman fermentasi semacam Pondoh. Jika dari payung hukum sudah aman, bukan tidak mungkin Pondoh bisa menjadi produk oleh-oleh khas mengingat kawasan utara Yogya dikenal sebagai sentra salak.

Regulasi yang adil dan edukasi yang jernih soal minuman beralkohol, menurut Randu, berpotensi mengurangi korban-korban miras oplosan yang marak sekali terjadi di Indonesia.

“Selama ini orang hitam-putih aja soal alkohol, sayang banget itu,” pungkas Randu. Tak terasa botol Pondoh di depan kami tinggal separuh isinya.

*Nama narasumber disamarkan untuk menjaga privasi mereka