Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan pendapat sedikit berbeda terkait sengketa yang sedang terjadi antara Indonesia dan Tiongkok di perairan Natuna. Kehadiran kapal coast guard yang mengawal kapal penangkap ikan Tiongkok di kawasan tersebut, ditanggapi politikus Gerindra itu dengan pendekatan nirkekerasan ala Mahatma Gandhi: Meski dizalimi, kita harus tetap chill, Bro.
“Kita cool [tenang] saja. Kita santai kok ya. Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat,” ungkap Prabowo dikutip Detik. Mantan Danjen Kopassus itu merasa tidak ada pihak yang terganggu, meski kapal asing terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia. Belum jelas apa respons nelayan Natuna atas pendapat menhan, setelah pendapatan mereka berkurang 75 persen selama dua bulan terakhir akibat pencurian ikan.
Videos by VICE
Cara damai dipilih Prabowo agar tidak mencederai persahabatan kedua negara. Pendakatan pasifis ini berbeda dari retorikanya dua bulan lalu, tepatnya pada November 2019, saat sang menhan yang belum lama menjabat itu meminta supaya anggaran belanja alat utama sistem pertahanan (alutsista) ditambah.
Alasan Prabowo demi menjamin kedaulatan dan mengamankan kekayaan negara. “Kami tidak akan pernah mengancam siapa pun, tetapi kami juga tidak akan membiarkan Indonesia diganggu atau diancam oleh negara lain,” kata Prabowo, pada 30 November 2019. “Indonesia ingin menegakkan kemerdekaan kita dan tentu saja kita ingin melindungi kepentingan nasional kita. Prioritas kami adalah melindungi integritas dan kedaulatan negara.”
Permohonan menhan dikabulkan. DPR resmi memberi Kementerian Pertahanan kenaikan alokasi anggaran menjadi Rp131 triliun, untuk Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) 2020.
Retorika Menhan menggunakan alutsista sebagai penjaga kedaulatan menguap begitu saja di tengah potensi konflik yang kini mencuat dari Natuna. Selain Prabowo, respons untuk meredakan ketegangan juga datang dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut Luhut, isu di Natuna tidak perlu dieskalasi. Ia cenderung menyalahkan kekurangan kemampuan dan jumlah kapal Indonesia dengan fungsi pengawasan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna. “Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah. Kalau soal kehadiran kapal [asing] itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli,” ujarnya
Pernyataan Luhut kali ini berbeda dari sikapnya pada 2016 lalu, yang memastikan bahwa keinginan peningkatan kerja sama ekonomi Indonesia-Tiongkok berarti kapal dari Negeri Tirai Bambu bebas mengeksplorasi ZEE Natuna. “Kami mengimbau kapal-kapal Tiongkok tidak memasuki area Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia agar tidak mengganggu keadaan atau situasi di sana,” kata Luhut di Jakarta, pada 24 Maret 2016.
Sikap Luhut soal manuver kapal Tiongkok di Natuna juga berbeda dari saat dia marah-marah pada Uni Eropa karena menghambat ekspor produk industri sawit. “Apapun akan kita lakukan untuk mempertahankan kedaulatan kita, karena 18 juta orang bergantung pada industri sawit ini,” kata Menko Maritim, yang sangat mendukung industri sawit ini.
Menuru laporan per 5 Januari 2020, nelayan-nelayan Tiongkok belum juga beranjak dari kawasan Laut Natuna dan ditemani kapal penjaga asal negaranya. Laksamana Madya Yudo Margono menginfokan, TNI sudah mengirimkan dua Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) untuk mengusir kapal asing tersebut.
“Mereka didampingi dua kapal penjaga pantai dan satu kapal pengawas perikanan China. Kami gencar berkomunikasi secara aktif dengan kapal penjaga pantai China agar dengan sendirinya segera meninggalkan peran tersebut,” kata Yudo dikutip Detik.
Selain melanggar ZEE, kapal Tiongkok juga terbukti menggunakan pukat harimau untuk menjarah sumber daya laut Natuna. Pukat harimau sudah dilarang pemakaiannya oleh pemerintah Indonesia melalui peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/2015. Dobel-dobel dosanya.
Berbagai tokoh politik, bahkan sampai Presiden Jokowi merespons manuver kapal Tiongkok dengan kecaman. Mulai dari Mahfud MD yang ogah melakukan perundingan dengan Tiongkok dan menginginkan usir paksa, Plt. Gubernur Kepulauan Riau Isdianto (dan para pengamat) yang merindukan kelanjutan kebijakan penenggelaman kapal asing, TNI yang sudah menyiapkan operasi Siaga Tempur, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mengecam pelanggaran atas United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982, perjanjian hukum laut internasional PBB) untuk saling menghormati batas wilayah ZEE, sampai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang bikin thread Twitter buat berpendapat tentang ini.
Perbedaan pendapat antara Prabowo x Luhut dengan jajaran lain menimbulkan kecurigaan baru yang lebih fundamental: Apakah mereka tidak tergabung dalam grup WhatsApp kementerian jadi ketinggalan briefing?