Artikel ini pertama kali tayang di Broadly
Jika mengacu mitologi Yunani kuno, Bangsa Amazon—yang dikisahkan seluruh penduduknya adalah perempuan tangguh itu—terkesan cuma takhayul. Sumber cerita tentang Amazon mayoritas dari legenda pahlawan-pahlawan mitologi Yunani. Bangsa Amazon terkesan hanyalah alegori untuk ambisi lelaki “menjinakkan” perempuan yang punya pendirian.
Videos by VICE
Dalam kisah-kisah Yunani Kuno, perempuan Amazon adalah target para pahlawan lelaki itu untuk dilawan, ditiduri, atau paling baik jadi pembantu sepanjang perjalanan si lelaki menaklukkan musuh. Makanya, Ratu Amazon bernama Antiope dalam cerita klasik Yunani diculik Raja Theseus lalu dipaksa jadi istrinya. Hilang sudah semua sifat tangguhnya sebagai perempuan Amazon.
Komik dan selanjutnya adaptasi film Wonder Woman semakin menabalkan citra perempuan Amazon hanyalah hasil imajinasi manusia. Tafsirannya makin progresif sih, tapi tetap saja, bangsa seluruh penghuninya perempuan yang egalitarian, maju, dan tangguh hanya ada di khayalan. Tak heran bila banyak sejarawan menyimpulkan kisah Amazon adalah cara Bangsa Yunani menafsirkan dunia. Mirip epos Mahabarata atau Ramayana bagi Bangsa India.
Rupanya, kesimpulan itu terlalu prematur. Setidaknya jika kita melihat artefak seni Bangsa Yunani kuno. Kalau merujuk karya-karya seni tersebut, suku perempuan kuat itu beneran ada. Ternyata emang iya dong. Sebagian pakar arkeologi kini menduga Bangsa Amazon yang menginspirasi seniman Yunani masa lalu dalam menyusun mitologi adalah orang-orang Scythian. Itu julukan untuk suku nomaden di dataran Stepa dekat Pegunungan Kaukasus. Peradaban Scythian diduga kuat paling berkembang selama kurun Tahun 900 hingga 200 Sebelum Masehi.
Sosok perempuan Scythian yang tangguh dan diduga kuat jadi inspirasi cerita soal Amazon, kini menjadi topik pameran British Museum. Pameran barang-barang antik itu diberi tajuk Scythians: warriors of ancient Siberia.
Bangsa Scythian sudah biasa berpindah-pindah dari Benua Eropa ke Asia. Lokasi pekuburan bangsa nomaden ini dapat ditemukan di Pegunungan dekat Siberia, Laut Hitam, Turki, sampai Cina modern. Selama ini, arkeolog mengira yang dikuburkan adalah laki-laki Scythian, karena kerangka itu dikeliling senjat macam pedang, panah, tameng, perisai, atau cambuk. Di era itu, sangat tidak lazim bila perempuan dikuburkan dengan alat perang.
Analisis DNA yang lebih maju beberapa tahun terakhir mengungkap betapa kelirunya asumsi arkeolog dulu. Setelah diteliti, ternyata sebagian tulang belulang dipastikan berjenis kelamin perempuan. Lebih spesifik lagi, sepertiga tulang perempuan Scythian yang ditemukan di berbagai kuburan kuno itu memiliki luka-luka akibat kekerasan, hampir pasti dampak dari pertempuran. Dari sanalah para pakar semakin yakin, pasukan tempur Bangsa Scythian juga terdiri atas personel perempuan.
“Sebenarnya dari dulu ilmuwan juga sudah menduga kalau mitologi Amazon itu didasarkan pada prajurit perempuan tangguh yang benar-benar ada di dunia, setidaknya sezaman dengan peradaban Yunani kuno,” kata Adrienne Mayor, pakar peradaban kuno dari Universitas Stamford kepada Broadly. “Penemuan tulang belulang yang memiliki luka peperangan itu membuktikan kalau sosok perempuan tangguh di masa lalu bukan khayalan.”
Namun, benarkah perempuan Scythian seperti gambaran mitologi Bangsa Amazon? Jika merujuk pada artefak yang tersisa, misalnya yang ditemukan pakar di Kazakhstan, maka cukup sulit membuat spekulasi apapun. Soalnya, bangsa nomaden ini belum mengenal peradaban tulis, walaupun sudah pasti punya bahasa tutur. Pakar hanya bisa berharap deskripsi Yunani Kuno sebagian menggambarkan kenyataan perempuan Scythia.
Masalahnya, banyak detail soal perempuan tangguh Amazon dipastikan lebay atau dilebih-lebihkan. Misalnya gambaran kalau para prajurit perempuan itu membangun peradaban mandiri tanpa lelaki, dengan cara bersetubuh dengan orang asing, lalu hanya merawat perempuan. Cerita itu dipastikan cuma fantasi paranoid lelaki. Begitu pula anekdot perempuan Amazon memotong satu payudaranya agar bisa lebih akurat memanah, sudah pasti ini khayalan semata. Sebab, perempuan modern membuktikan bisa memanah sama presisinya seperti lelaki walau punya dua payudara yang utuh.
Cerita-cerita lebay itu kemungkinan berasal dari tafsir penulis Yunani kuno bernama Hellanikos. Dia bilang, kata Mazon dalam bahasa kuno artinya adalah buah dada. Sehingga Amazon artinya “hanya punya satu buah dada.” Berdasarkan penelusuran pakar masa sekarang, keterangan Hellanikos keliru. Sumber kisah Amazon justru didasarkan pada seorang prajurit perempuan gagah berani bernama Ratu Amezan.
Salah satu keterangan penulis Yunani yang bisa dipercaya, pada akhirnya, adalah deskripsi kalau prajurit perempuan Scythian memanah dari atas kuda di belakang barisan tempur lelaki. Mayor, yang mendalami berbagai kitab klasik seputar Amazon, menyatakan taktik perang macam itu sangat masuk akal dan banyak dipakai di masa tersebut. Di kebudayaan bangsa-bangsa nomaden lainnya, kemampuan menunggang kuda dianggap lebih penting dari jenis kelamin. Selain itu, sudah banyak ditemukan pula indikasi bahwa di berbagai kebudayaan nomaden, lelaki menjadi bagian dari infanteri penggempur sementara perempuan akan bertugas memanah untuk menyerang musuh dari jauh.
Temuan arkeologis lain mengindikasikan kalau semua perempuan Scythia bertempur, tak peduli mereka sudah atau belum menikah. Hal ini didasarkan pada tulang belulang prajurit Scythia yang terkubur bersama anak-anaknya.
Berbagai asumsi keliru soal perempuan di peradaban klasik kemungkinan besar muncul akibat pemahaman modern kita tentang peran gender. Seakan-akan, kesetaraan sosial antara lelaki-perempuan baru terjadi paling cepat dua abad lalu. Padahal tidak selamanya perempuan di peradaban kuno ada di bawah lelaki. Mereka sudah diposisikan setara.
Contohnya adalah keberadaan klan prajurit perempuan Raja Macha Mong Ruadh di Irlandia, atau para prajurit Viking perempuan Skandinavia. Ketika bukti arkeologis mengindikasikan kalau sebagian budaya tidak terlalu patriarkis, manusia modern jadi terkejut. Dengan demikian, sebaiknya kita sekarang harus lebih kritis saat membaca cerita dari naskah-naskah kuno yang menggambarkan perempuan kuat dan independen. Sangat mungkin, perempuan yang tangguh macam itu memang ada dan perannya justru penting dalam masyarakat tempat mereka hidup.
“Intinya sih, manusia modern tidak bisa lagi menganggap Bangsa Amazon hanya khalayan semata,” kata Mayor. “Bisa dibilang, cerita Amazon tidak sepenuhnya akurat, tapi ada sosok dari dunia nyata yang menginspirasi penulis-penulis Yunani saat menggambarkan mereka dalam karya sastra maupun seni rupa.”
Menurut Mayor, alih-alih menyudutkan, sebetulnya para penulis lelaki Yunani kuno kagum melihat ketangguhan prajurit perempuan Scythia. “Mitologi Amazon bukan cerita tentang penaklukkan lelaki terhadap perempuan mandiri,” ujarnya. “Kita sekarang perlu memandangnya sebagai bukti bahwa di masa prasejarah, sudah ada masyarakat egalitarian yang tinggal di stepa-stepa walaupun buta huruf. Gaya hidup dan ketangguhan mereka membuat kagum orang-orang Yunani, sebagaimana kita pun yang hidup di era modern dibuat kagum olehnya.”