Premier League Adalah Liga Sepakbola Paling Bikin Bete di Dunia

Para penggemar klub premier league adalah pemburu trofi

“Membosankan” adalah sebuah kata kotor dalam dunia sepakbola modern. Kata itu bahkan sangat dihindari di Premier League. Bagi mereka yang menggemari iklan judi bola dan membuang-buang waktu membahas trivia seputar klub-klub Inggris, Premier League adalah surga yang sepenuhnya disponsori Calsberg. Adapun bagi penonton sepakbola biasa, Premier League adalah kompetisi sepakbola yang dari sononya dirancang agar bikin kita capek. Pihak liga dan pengiklan terus menerus menghajar penggemarnya dengan berbagai macam update yang sangat intrusif.

Premier League tak pernah berhenti, apalagi tidur. Apabila diandaikan sebagai seorang pekerja, Premier League adalah seorang pekerja maniak lembur yang bekerja di kantor kecil—biasanya dibuat dari bekas peti kemas—di dekat Canning Town. Yang dia kerjakan cuma satu: mereka menyebar gosip transfer palsu murah untuk dibaca para penggemar sepakbola lewat ponsel setelah kita bangun dari tidur. Tujuannya agar kita ketagihan asupan dopamine dari Premier League—dan semakin terperangkap di dalamnya.

Videos by VICE

Contohnya? Banyak kok. Ini beberapa di antaranya yang beredar pagi ini saat naskah ini diturunkan. Laurent Koscielny dikabarkan akan pindah ke Aston Villa. Sementara, seperti yang diberitakan dalam artikel ini, Ravel Morrison bakal berlaga untuk satu kesebelasan di kawasan Lingkaran Arktik.

Kita harus ingat Jamal Lascelles baru saja menandatangani kontrak baru dengan Newcastle setelah makan sepotong pizza dengan pemilik The Magpies dan berpikir bahwa calon bosnya “orang yang asik,” jauh dari kesan seorang pengusaha yang senang mengeksploitasi buruh di perusahaannya. Noise atau berita-berita tak penting seperti ini kan yang wara-wiri di otakmu tiap hari? Akui saja. Tak usah malu. Toh dalam hal ini kita senasib sepenanggungan. Premier League dalam hidup para penggemar sepakbola itu mirip sampah plastik, banyak dan berserakan di mana-mana.

Tapi kita juga tak boleh sepenuhnya pesimis dan nyinyir akan hal ini. Berita-berita ini pada akhirnya jadi bensin yang memastikan pergelaran besar bernama Premier League tetap berjalan. Gosip-gosip inilah yang menyulut kegilaan para penggemar sepakbola dan menjadikan Premier League salah satu kompetisi sepakbola paling ramai di dunia.

Meski begitu, di tengah berlimpahnya gosip-gosip seperti ini, ada satu kelangkaan yang mendasari semua yang kita cintai dari Sepakbola, sebuah kebenaran kuno yang selama ini kita yakini. Kelangkaan inilah yang minggu ini tampak dalam wajah pelatih Tottenham Hotspur, Maurico Pochettino dan menjadi bahan bahasan perdebatan panas—tapi kocak—antara Gary Neville dan Jamie Carragher setelah Spurs dikalahkan The Citizen minggu malam kemarin. Perdebatan tersebut melebar kemana-mana hingga menyentuh hal-hal yang jauh di luar Inggris, sebuah silang pendapat yang agak filosofis tentang definisi kesuksesan sebuah klub Premier League yang membuat Neville dan Carragher terdengar seperti sepasang kucing kampung yang sedang bertengkar. Lucunya, di satu titik, mereka seperti kebingungan.


Tonton dokumenter VICE menyorot para penggemar fanatik sepakbola dari Kota Milan:


Tak jelas apa yang mulanya mereka ributkan. Tapi, sekali menyimak rekamannya, kalian niscaya tahu apa dasar pertikaian malam itu. Intinya, malam itu Neville dan Carragher memperdebatkan satu kebenaran kuno yang hakiki: bahwa dalam sepakbola—bahkan dalam kompetisi seramai dan bercorak kapitalisme lanjut—hanya akan ada satu pemenang.

Di masa ketika sepakbola menjadi salah satu cabang olahraga paling besar sejagat, sebuah klub bisa mengejar segala macam kesuksesan. Dalam hal inilah, Premier League bisa dilihat sebagai kompetisi paling mengecewakan di muka bumi, sebuah liga yang benar-benar dirancang untuk bikin jutaan orang keki. Bayangkan, dalam sejarah Premier League maksimal cuma ada enam tim yang tiap musimnya dijagokan jadi kampiun.

Fakta ini saja sudah mengundang banyak perdebatan. Jikapun kita bisa mengesampingkan pertimbangan lain, kita semua—termasuk fans, Neville, Carragher dan Pochettino serta semua orang tugasnya mendefinisikan dan mencapai kesuksesan di Premier Legue—lekas sadar keenam klub ini tak bisa jadi kampiun bersama-sama. Harus ada pemenang tunggal. Lantas, bagaimana kita mengukur kemenangan dalam lanskap sepakbola modern?

“Rasanya aneh bicara tentang pertandingan-pertandingan berat yang dijalani Tottenham, mengingat ini adalah awal musim terbaik mereka dalam sejarah Premier League,” ujar David Jones, pembawa acara televisi Monday Night Football, salah satu host paling moncer saat ini di Stasiun Televisi Sky.

Ya memang aneh jika membicarakan hal lain selain optimisme The Magpies akhir-akhir ini. Namun, Carragher menyanggahnya, “ya start Totenham bagus tapi tim lain memulai musim dengan lebih baik.” Di luar lapangan Spurs memang sedang menuai kritik. Sejumlah orang beranggapan bahwa dana segar yang dialirkan ke Spurs untuk membangun stadion baru bakal lebih bermanfaat jika dibelanjakan untuk membeli midfielder baru ketika Mousa Dembélé dan Victor Wanyama mulai melempem. Muncul juga tuduhan bahwa peruntungan Spur tengah melandai setelah sempat terus menanjak dan bertengger di zona Champion League selama tiga tahun berturut-turut dengan hanya bermodal nilai bersih transfer sebanyak £29 million.

Jadi lupakan segala argumen tentang kemunduran spurs. Susah dipungkiri bahwa Pochettino adalah salah satu pelatih paling moncer dalam Premier League saat ini. Cuma jika ukuran kesuksesannya harus disamakan—klub kaya dengan koleksi gelar segaban itu, prestasi Pochettino belum apa-apa. Di saat yang sama, muncul pertanyaan: apa yang bisa dilakukan Pochettino lakukan bila punya budget sebesar pelatih Los Blancos misalnya?

Mungkin siapapun yang berusaha mendefinisikan apa itu kesuksesan dalam sepakbola modern harus mengalihkan pandangannya dari Spurs atau Real Madrid, dan mulai memelajari klub yang sebelumnya menyewa jasa pelatih asal Argentina tersebut, Southampton. Ada masanya ketika The Saints jadi anak kesayangan Barclays, bahkan setelah ditinggalkan Pochettino. Southampton pernah jadi klub yang sepertinya paham betul takdirnya. The Saints membeli pemain murah dan menjualnya kembali dengan harga selangit.

Konsekuensinya, St. Mary’s jadi tempat berlabuhnya para debutan yang menempa kemampuannya sambil menikmati udara pesisir dan makan daging anjing laut. Sayang, dalam perjalanannya, Southampton kehilangan arah dan membusuk di papan bawah Premier League atau bahkan terlempar dari divisi utama. The Saints seperti kehilangan jati dirinya. Entah kapan Southampton bakal jadi klub ecek-ecek seperti ini.

Jika menengok kisah Southampton, kita bisa melihat bahwa klub sepakbola baru dibilang sukses di zaman modern apabila siapapun yang terlibat dapat membuat perencanaan yang matang dan mampu melaksanakannya dengan baik. Mereka harus bisa meredakan tingkat kecemasan para suporternya di seluruh dunia dengan menjamin apa yang ingin dicapai dan bagaimana mewujudkannya. Tentunya ini menjadi sumber drama yang terjadi dalam dunia sepakbola di Inggris; pertarungan tanpa henti antara ide-ide yang bersaing, para miliarder yang bersaing satu sama lain dan menciptakan malapetaka, jajaran pemimpin mingguan, serta orang-orang yang gagal dan sukses.

Tottenham dan Pochettino punya caranya sendiri mengukur kesuksesan. Langkah klub ini cukup bagus dalam mewujudkan semua target tersebut. Para pecinta sepakbola, termasuk fans berat Spurs, harus bersedia membiarkan para atlet dan manajemen melanjutkan semua rencana tersebut di tenah kebisingan Liga Primer yang mendewakan uang, uang, uang, trofi, dan baru keseruan permainan di urutan kesekian.

@hydallcodeen / @Dan_Draws

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.